Sebagian besar dari kita pastilah mengenal Jean-Michel Basquiat dan karya-karyanya yang khas itu. Namun, mungkin sebagian besar dari kita tidak mengenal gaya atau aliran yang diusung oleh sang seniman ikonik tersebut. Tapi kalau disebut dengan neo-ekspresionisme, setidaknya pastilah pernah mendengarnya.
Lantas, apa sih neo-ekspresionisme itu?
Neo-ekpresionisme merupakan sebuah aliran seni lukis dan pahat dari modernis akhir dan awal postmodern yang mulai muncul di akhir 1970-an. Terkadang ia disebut juga denga Neue Wilden atau New Wild Ones. Aliran ini dikenal dengan subjektivitas yang intens dan penanganan secara kasar akan materinya.
Sejarah Singkat
Neo-ekspresionisme bermula di Jerman dengan sebuah kontroversi, saat Georg Baselitz membuka sebuah pameran di Berlib Barat pada tahun 1984. Mengapa kontroversial? Karena dianggap menampilkan ketidaksenonohan sehingga langsung disita oleh Jaksa Wilayah. Misalnya, ada sebuah lukisan yang menampilkan sosok yang tengah masturbasi atau gambar seorang pria dengan penis yang tengah ereksi. Pameran berikutnya tidak lagi menimbulkan tanggapan yang ekstrim, tapi segera saja penggunaan figur ekspresionistik dari karya-karyanya segera mendapat perhatian lebih.
‘Adieu’ (1982), salah satu karya Georg Baselitz, yang dianggap karya penting dalam gerakan Neo-ekspresionisme. Sumber gambar: essl.museum
Di akhir 1970-an, Baselitz merupakan pimpinan sebuah kelompok bebas seniman Jerman yang bernama Neue Wilden (New Fauves). Beberapa seniman yang tergabung di dalamnya adalah Anselm Kiefer, Markus Lupertz, Eugen Schonebeck, dan A.R. Penck. Inspirasi karya mereka datang dari para seniman awal dari aliran Ekspresionisme, seperti George Grosz, Ernst Ludwig Kirchner, dan Edvard Munch, serta lukisan aksi dari Willem de Kooning, dan lukisan figuratif semi-abstrak dari Pablo Picasso.
Gerakan ini berkembang di Amerika Serikat pula. Saat itu Neo-ekspresionisme dianggap membebaskan dalam mengkreasikan seni, memadukan antara abstrak dan bentuk-bentuk figuratif. Sosok penting gerakan awal aliran ini di Amerika adalah Phillip Guston, yang awalnya merupakan seorang pemeluk aliran Abstrak Ekspresionisme. Nama lain yang penting disebut adalah Leon Golub, dimana ia menampilkan gejolak sosial-politis di Amerika pada saat itu dengan gaya yang emosional dan kasar.
Tidak butuh waktu lama, gerakan ini kemudian menyebar secara global dan menarik minat banyak seniman dari berbagai negara untuk menggelutinya. Dari Indonesia kita bisa menyebut seniman asal Bali, Nyoman Masriadi, sebagai bagiannnya.
Konsep Dan Gaya
Semenjak kedatangan Abstrak Ekspresionisme, gaya lukisan menjadi tidak begitu fokus lagi pada isi dan lebih konsern pada bentuk. Pop-art telah mengenalkan kembali penekanan pada isi yang spesifik, tapi Neo-ekspresionisme telah meresmikan kembalinya perhatian kepada subjek romantisme. Beberapa seniman mengambil sejarah dan mitos sebagai ide dan tema, sementara seniman lain menekankan pada primitivisme dan gambar-gambar alami.
Penggunaan terminologo Neo-ekspresionisme memang tidak terdokumentasi, namun di tahun 1982 merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan seni baru dari Jerman dan Italia, serta menandakan berakhirnya dominasi Amerika Serikat di dunia seni pasca-perang.
Neo-Ekspresionisme Jerman
Karya A.R. Penck, ‘Wechseln-Verwechseln’. Sumber gambar: c4gallery.com
Baselitz dan juga rekannya dari Jerman Timur, A.R. Penck, mengeksplorasi aspek “bagaimana” dari sebuah lukisan, ketimbang “mengapa” dalam metode gambarnya alih-alih isi. Pada tahun 1967, Baselitz mulai menggambarkan lukisannya secara terbalik, memberi penekanan bagaimana lukisannya dikerjakan ketimbang apa artinya. Seniman Neo-ekspresionisme Jerman lain memanfaatkan karya mereka untk menelaah Jerman dan berbagai permasalahannya, terutama yang berhubungan dengan sejarah mereka. Umumnya mereka mencoba untuk memintas karya-karya warisan Nazi, setidaknya dalam aspek tertentu. Jerman yang terpecah menjadi dua saat itu pun kerap menjadi tema.
Neo-ekspresionisme Italia
‘Water Bearer’ (1981), karya Sandro Chia. Sumber gambar: tate.org.uk
Neo-ekpresionisme versi Italia kerap direferensikan kepada konsep Trans-Avantgarde, sebuah terminologi yang ditemukan di tahun 1979 oleh kritikus Italia, Achille Bonito Olivia. Ideanya adalah untuk melarikan diri dari kekurangan dari gerakan Arte Povera di Italia. Ada unsur parodi yang kuat, yang dapat diilihat dari karya-karya Sandro Chia misalnya, yang mengolok-olok sifat heroik. Seniman lain, seperti Francesco Clemente, menyerap pengaruh gaya spesifik dari India dan New York, daerah dimana ia banyak menghabiskan waktunya. Yang paling tradisional di antara mereka dan paling dekat dengan gaya Jerman adalah Enzo Cucchi. Sedang karya-karya Mimmo Paladino digambarkan sebagai lebih individualistik dan lebih Italia, dengan karya-karya yang menyindir secara tak langsung sumber-sumber kuno Italia.
Neo-ekspresionisme Amerika
‘Portrait of Azzedine’ (1983) karya Julian Schnabel. Sumber gambar: julianschnabel.com
Seniman Amerika memeluk Neo-ekpresionisme di awal 1980an, dengan kumpulan seniman asal New York yang kerap diasosiasikan dengan gerakan ini. Sebagai contoh seperti Eric Fischl yang menekankan pada aspek psikologis manusia dan Julian Schnabel (yang sekarang juga dikenal sebagai sutradara, yang film pertamanya adalah ‘Basquiat’ (1996), serta ‘Before Night Falls’ (2000) dan ‘The Diving Bell and The Butterfly’ (2007)), yang membangkitkan gambar-gambar bersejarah untuk mengkreasikan karya-karya yang bersifat personal. Yang kadang juga diasosiasikan dengan Neo-ekspresionisme adalah seni grafiti, yang khususnya di New York, dimana Jean-Michel Basquiat adalah sosok pentingnya dan dikenal berkat karya-karya dengan sapuan kuas yang agresifnya, cat yang terserak luas dan subjek yang kental dengan sisi emosional. Basquiat, bersama Schnabel, menjadi poster child untuk gerakan Neo-ekspresionisme di dekade 80-an. Dekade ini juga dikenal dengan menggiatnya konsumerisme. Alih-alih menolaknya, Basquiat dan Schnabel malah memeluknya dan menjadikan sebagai inspirasi dalam karya mereka.
Perkembangan Terakhir
Neo-ekspresionisme mendominasi pasar seni Amerika dan Eropa hingga pertengahan 1980-an. Namun kemudian muncul wacana apakah perkembangan terakhir dari Neo-ekspresionisme justru mempermainkan diri mereka sendiri atau tidak serius dalam mengembangkan perspektifnya. Beberapa mengasumsikan jika karya-karya dari Schnabel, Francesco Clemente dan banyak lagi, menjadi sinomin dengan trend yang lebih konservatif di kancah seni 1980-an ketimbang menjadi sebuah avant-garde.
Meskipun banyak seniman memasukkan unsur-unsur politis dan budaya dalam karya mereka, namun hanya sedikit yang tertarik dengan politik sayap kiri yang saat itu diasosiasikan dengan tren seni kontemporer. Mereka dianggap tidak merasa wajib untuk “menggelapkan realitas”, namun lebih memilih untuk berkarya dengan menggambarkan dunia sebagaimana adanya. Hal ini mengarahkan pada diskusi yang penuh semangat akan nilai dan tujuan lukisan, yang mana Neo-ekspresionisme sering disebut sebagai contoh apa yang salah dengan medium ini.
Meskipun begitu, bukan kritikan tajam ini yang memberi kontribusi utama pada penurunan gerakan Neo-ekpresionisme, melainkan over-produksi karya serta kolapsnya pasar di akhir 1980-an. Seniman, kritikus dan pasar seni, semua hanya berniat untuk mencari uang atau reputasi. Apalagi belum ada gerakan yang definitif untuk menggantikan Neo-ekspresionisme dalam narasi sejarah seni. Beberapa melihat jika gerakan Neo-ekspresionisme sebagai manifestasi akhir dari modernisme, sedang yang lain justru melihatnya sebagai akhir dari modernisme. Ada juga yang menyebutkan jika Neo-ekpresionisme sebagai bagian dari postmodernisme, sedang yang lain lagi menyebut jika Neo-ekspresionisme hanya memberi peran untuk berkembangnya postmodernisme.
Apapun itu, antusiasme untuk Neo-ekspresionisme secara terus-menerus tetap mendapat perhatian dan dianggap menjadi catatan penting dalam sejarah seni dunia dengan warisan karya yang cemerlang dan ikonik.
Penulis: Haris Fadli Pasaribu