Pencarian Mbah To: Bagaikan Kopi Pahit Tanpa Gula

Seperti biasanya, aku berdiskusi ngalor-ngidul di warung kopi saat malam tiba. Oleh seorang kawan, aku disodorkan smartphone dengan sebuah berita tentang kakek yang hidup di jalanan Kota Jogja. Berita ini sedang menjadi topik bahasan di sebuah group media sosialnya. Jari tanganku tak terbiasa menggerakkan layar sentuh namun rasa ingin tahu membuatku berusaha mengendalikannya. Berita ini tentang seorang Mbah To yang bekerja dari sampah jalanan bersama sepeda buntutnya. Ia tidak mau mengemis karena merasa masih mampu bekerja meskipun untuk jalan kaki pun susah. Ketika mengalami kelelahan Ia harus berhenti sejenak karena tak berdaya dan pandangannya kabur. Sungguh kasihan, Ia harus hidup di jalanan dan bertahan hidup disana. Ia ingin segera pulang ke kampung halaman untuk bertemu istrinya yang sedang sakit tapi apa daya Ia tak memiliki cukup uang untuk pulang.

Gambaran tetang Mbah To itu diceritakan secara gamblang di sebuah berita online dan banyak pula netizen yang membagikan berita ini pada akun twitternya. Beberapa waktu yang lalu banyak pula netizen yang membagikan berita di twitter tentang kehidupan seorang nenek yang tinggal di gubug reyot bersama seekor anjing di lereng Merapi. Berita sejenis kerap kali mewarnai twitland melalui akun twitter komunitas-komunitas sosial yang memiliki banyak pengikut. Berita yang menggugah hati kita untuk bersyukur dengan materi yang telah kita miliki karena lebih beruntung dari mereka.

Aku pun dengan mata kepalaku sendiri pernah menjumpai orang-orang seperti mereka. Tak lama setelah erupsi Merapi 2010 aku bertemu seorang ibu berpakaian lusuh yang menggendong anaknya di sebuah pom bensin di Magelang. Tubuhnya yang lemah ia sandarkan pada dinding merah putih didekat mushala sambil meninabobokan anaknya. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu kepadaku namun ragu-ragu, mulutnya yang sempat terbuka, tertutup kembali. Aku pun melemparkan senyum lalu berbasa-basi bertanya kepadanya “Nembe ngaso bu…?” Tiba-tiba matanya berkaca-kaca lalu berkata “Mas saya pingin pulang ke Temanggung tapi sudah tidak punya uang sama sekali…” Kini giliran aku yang tak mampu mengeluarkan satu kata pun tetapi lantas ibu tersebut bercerita banyak tentang suaminya yang pergi meninggalkannya. Katanya si suami pergi di daerah Tempel makanya Ia berusaha mencari disana dan berharap menemukannya tetapi justru Ia kehabisan uang, Ia pun terpaksa pulang jalan kaki sampai Temanggung. Dengan sangat iba aku pun mencegatkan bus jurusan temanggung di Jalan Magelang, uang di sakuku yang semakin menipis pun aku sisihkan untuk ibu tersebut. Panen raya tembakau di Temanggung memang kerap diwarnai dengan banyaknya perceraian, mereka menunggu memiliki uang hasil panen yang digunakan untuk mengurus sidang perceraian dan tetek bengeknya.

Beberapa bulan belakangan sebelum penertiban kota digencarkan, setiap jumat malam aku menemui seorang ibu yang tidur di emperan sebuah minimarket di pusat kota Jogja. Melalui sebungkus nasi, aku memulai obrolan yang selalu sama setiap minggunya. Ia dari sebuah desa di Kulonprogo, punya suami yang tadinya berjualan di Malioboro sekarang entah kemana, anaknya selalu bermain game online di sekitar tugu. Ia selalu bilang ingin pulang, aku menawarkan diri untuk mengantarkan pulang tetapi justru ia menyebutkan ongkos naik bus sampai ke rumahnya. Entah ia bekerja apa, bekerja di mana, karena ketika aku bertanya tentang pekerjaannya ia mengeluh sering terjadi penertiban, ia tak pernah bisa menjelaskan tentang pekerjaanya. Aku menjadi ragu dengannya meskipun setiap minggu ia menikmati nasi bungkus yang kusalurkan dari seorang donatur. Terakhir bertemu dengannya ia mengeluh sakit kepala lalu aku belikan obat sakit kepala di minimarket tempat ia biasa menyandarkan diri, sekarang entah ke mana.

Kopi pahit tanpa gula yang dihidangkan kepadaku terasa sangat nikmat. Aku suka kopi di warung ini walaupun kata Pak Bondan menyajikan minuman sampai penuh itu tidak sopan, di warung ini kopi yang disajikan didalam cangkir sampai tumpah ke cawan. Bagi orang lain kopi tanpa gula itu tidak enak karena rasa pahit identik dengan tidak enak. Ini mengingatkanku pada kehidupan di jalanan yang selalu kita anggap tidak sejahtera. Mungkin memang demikian karena tiap orang yang hidup di jalan pasti memiliki alasan yang berbeda-beda. Bagiku tingkat kesejahteraan yang diukur menggunakan indikator kesejahteran tertentu, misalnya menggunakan besar pendapatan yang dimiliki seseorang setiap harinya, ini seperti menambahkan gula ke dalam kopi, kita tidak bisa menikmati enaknya pahit di dalam kopi. Tuhan menciptakan lidah untuk bisa mengecap berbagai macam rasa, salah satunya pahit, untuk apalagi kalau tidak dinikmati?

Banyak orang hidup di jalanan menemukan sebuah kebahagiaan yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya sendiri. Itulah mengapa banyak dari mereka kembali lagi ke jalanan setelah berkali-kali ditertibkan oleh aparat. Namun orang seperti Mbah To ingin pulang kampung untuk bertemu keluarganya. Toh tidak semua orang yang hidup di jalanan meminta-minta kepada orang lain, banyak orang seperti Mbah To bekerja dengan mengumpulkan barang-barang tak terpakai untuk dijual. Mereka bekerja untuk bertahan hidup di tengah gemerlap kota Jogja. Maka kopi terakhir yang kita nikmati mengantarkan sebuah ungkapan “Ayo kita cari Mbah To…”

Keesokan harinya, aku belum sempat membuat kopi ketika sebuah sms membangunkanku. Setelah semalam kita berembug untuk membantu Mbah To pulang kampung, seorang kawan nampaknya telah mengunggah informasi tentang pencarian Mbah To di sebuah group Facebook. Banyak umpan balik dari unggahan tersebut, salah satunya ada seorang netizen yang melihat Mbah To di Jalan Batikan atau kali mambu. Info inilah yang diteruskan kepadaku melalui sms, lantas aku bergegas menuju k esana. Hasilnya nihil, aku telah bertanya kepada satpam, penjaga toko, pengumpul barang bekas, dan orang-orang di sepanjang jalan itu, tak lupa aku sebutkan ciri-cirinya Mbah To tapi mereka tak tahu keberadaanya. Ketika hendak beranjak meninggalkan kali mambu kami melihat seorang kakek yang persis seperti Mbah To, setelah aku datangi dan bertanya kepadanya ternyata ia bukan Mbah To.

Kami seperti mencari suatu tempat tetapi tak tahu jalan menuju tempat tersebut, banyak orang yang menunjukkan arah tetapi hampir setiap orang punya petunjuk sendiri-sendiri. Ada netizen yang bilang sering lihat Mbah To di angkringan di dekat sebuah kampus swasta, ada yang bilang di sebuah petigaan, ada pula yang bilang Ia berada di bawah jembatan. Jika kamu melihat Mbah To di jalan memang akan sangat sulit melakukam tindakan untuk menolongnya. Yang hanya bisa dilakukan adalah memberitahu temanku yang telah memberikan informasi di grup Facebook tersebut. Alhasil banyak informan yang memberitahu keberadaan Mbah To tanpa memastikan apakah Ia benar Mbah To atau bukan, kebanyakan mereka hanya melihat dari kejauhan tanpa berinteraksi langsung. Aku pun sampai meminta bantuan petugas di halte Trans Jogja agar memberitahu jika melihat Mbah To. Terlepas dari permasalahan tersebut sesungguhnya aku menemukan sisi positif dari media sosial dari kejadian ini, yakni para netizen melakukan aksi nyata mencari Mbah To meskipun mereka hanya kenal di dunia maya. Peristiwa ini aku dapatkan setelah beberapa bulan aku memutuskan untuk meninggalkan media sosial karena menurutku banyak sisi negatifnya.

Pada hari berikutnya ada beberapa netizen yang melakukan kopi darat dan melakukan pencarian lagi, aku pun turut di dalamnya. Kali ini lebih efektif karena beberapa jalan yang biasa dilalui Mbah To bisa disisir secara bersamaan dengan personil yang lebih banyak. Hingga terik mulai turun Mbah To belum juga ditemukan, aku mengundurkan diri karena harus mengunjungi seorang teman di pinggiran kota Bantul. Dengan stamina yang hampir turun setelah beberapa hari tidak tidur aku sangat butuh kopi, tapi aku tak menemukan kedai kopi, dapatlah warung sate kambing legendaris di sisi utara pabrik gula Madukismo, tak ada kopi tak apalah setidaknya sate dan kopi sama-sama meningkatkan tekanan darah. Akupun menikmati hamparan sawah dihiasi megahnya masjid miniatur Baiturahman Aceh dan ranumnya senja untuk menunggu sate siap dihidangkan. Tiba-tiba handphone berbunyi, ada sms “Mbah To ketemu…” Lega rasanya. Mbah To akan dipulangkan oleh sebuah yayasan yang mengatasi permasalahan kaum dhuafa, di kampung halamannya Ia juga akan didampingi oleh lembaga tersebut.

Di malam yang gerah itu, setelah sore harinya Mbah To ditemukan, kami kembali berdiskusi sambil ngopi di sebuah angkringan yang ada di pasar Kotagede. Diiringi organ tunggal yang dimainkan oleh penjual angkringan tersebut, siapapun boleh bernyanyi di angkringan ini, tapi kami tak terpengaruh oleh suasana ini dan tetap berdiskusi. Kami mengingat kembali siapa yang pertama kali menginformasikan tentang Mbah To. Sebuah laman tanpa alamat redaksi dan para jurnalis yang tidak tercantum didalamnya. Sehingga aku sulit mengkonfirmasi tentang keberadaan Mbah To melalui laman tersebut. Enam hari setelah berita pertama dimuat baru muncul layanan berupa nomor handphone dan e-mail redaksi untuk pencarian Mbah To. Memang melalui berita tersebut banyak netizen yang bergerak mencari Mbah To. Tetapi jika keinginan Mbah To untuk pulang kampung adalah sebuah kesulitan, keadaan ini justru memperlama kesulitan tersebut karena saat pertama kali bertemu Mbah To tidak segera menolongnya. Jika kita mampu menolong orang lain yang sedang kesulitan mengapa tidak segera kita menolongnya? Atau jika kita tak mampu, mengapa tak melaporkan kepada pihak berwenang?

Aku jadi teringat dengan seorang rekan yang dulu pernah menjadi jurnalis di kampus, saat ini ia juga masih menjadi jurnalis di sebuah tv swasta. Saat ia dan seniornya beberapa kali melewati sekretariat mapala dan mendapati banyak sampah di depannya, Ia pun bergumam “Masak sekretariat mapala sampahnya selalu berantakan…” Lantas seniornya menimpali “Masalah sampah kan bukan hanya urusannya mapala saja, ayo kita bereskan…” Harusnya kondisi ini bisa menjadi sebuah berita atau sebuah artikel yang menarik. Tapi tak mereka lakukan, mereka justru menjadi solusi untuk mengatasi masalah tersebut.

 

Penulis: Sanna Sanata
Pejuang Nasi @BerbagiNasi_DIY

Bergerak setiap jumat malam, berkumpul di sisi selatan Kridosono Yogyakarta pukul 21.00 WIB

Salah satu agenda Gerakan Berbagi Nasi adalah membantu “pulang kampung” orang-orang yang bekerja di jalanan, nasi hanyalah perantara untuk berbuat kebaikan.

About author

Mengawinkan Kopi dengan Wine

Matahari terbit di pagi hari. Bulan di malam hari. Kopi kita minum pagi hari. Wine kita minum di malam hari. Matahari nggak akan pernah bersatu ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official