Mayumi Haryoto pernahmengambil D1 Desain Grafis di Digital Studio College (yang sekarang berganti nama menjadi International Design School) dan lulus dengan predikat best student, namun ia nggak berminat untuk melanjutkan ke jenjang S1. Perkenalannya dengan seni diawali sewaktu Mayumi menekuni dunia musik saat kecil. Ilustrator dan desainer kelahiran Mei 1983 ini mulai memasuki dunia kerja di umur 18 tahun. Ia pernah bekerja di industri game, graphic house, advertising, production house, post production, records label, dan lainnya. Beragam pengalaman tersebut memperluas jejaring dan pengetahuan Mayumi tentang bagaimana setiap industri tersebut saling terhubung satu sama lain. Ia juga jadi mengetahui posisi dirinya di dalam industri dan bisa memilah-milah pekerjaan mana yang ingin diambil dan ditolak. “It is important, because you can’t say yes to everything,” katanya.
Mayumi merasa jalannya menekuni dunia visual art adalah sebuah panggilan. Tidak peduli mau seperti apa ia berusaha menjauh dari dunia itu, akhirnya ia akan ditarik kembali. Orang tuanya juga selalu berpesan agar ia bersungguh-sungguh dengan apapun jalan yang dipilihnya.
Mengenai karyanya, Mayumi seringkali terinspirasi dari hal-hal vintage, khususnya yang ada di Asia. Meskipun begitu, ia merasa inspirasi bisa datang dari apa saja, karena setiap karya mempunyai kasusnya sendiri-sendiri. Ia juga nggak pernah pusing melabelkan style karyanya karena kebanyakan seniman pada awalnya pasti akan meniru hingga akhirnya menemukan suaranya sendiri. Ia mengaku kalau ia pun masih sedang dalam proses untuk itu. Ada beberapa seniman yang menginspirasi Mayumi, di antaranya Grant Snider, Dana Tanamachi, Bobby Chiu, dan masih banyak lagi. Buat Mayumi, semua bidang bisa menjadi sumber inspirasinya, seperti musik, game, film, komik, arsitektur, desain grafis, tipografi, penulis, sains, sejarah, apapun. Melalui karya-karyanya, Ia ingin membagi rasa dan emosi yang ada serta menggambarkan sebuah suasana dengan cara penyampaian yang sangat halus.
Karya Mayumi sudah pernah dipamerkan di beberapa galeri seperti Vivi Yip Gallery, Ruang Rupa, dan Padi Gallery di Bandung. Tapi Mayumi sendiri nggak pernah memfokuskan diri untuk mengeksplorasi dunia galeri, karena ia lebih suka dan nyaman dengan sisi industri seni, terutama karena melihat banyak sekali inovasi dan peluang yang bisa dikembangkan seiring dengan perkembangan teknologi saat ini. Ia belum mencoba menelaah dunia galeri lebih jauh karena merasa dunia galeri lokal masih lebih tertarik dengan seni tradisional.
Mayumi mengakui pengetahuannya akan kopi belum begitu banyak. Seperti halnya membedakan jenis-jenis wine atau Coca Cola biasa dan Diet Coke, ia belum memiliki keahlian untuk membedakan jenis-jenis kopi dan kopi mana yang lebih baik. Yang penting baginya adalah kopi itu hitam, pahit, dan pekat. Saat ini, ia menghargai kopi bukan sebagai minuman, tapi lebih ke budaya. “When I want to talk about life where I often discover no answer, it’s always better over a cup of coffee than a glass of beer,” kata Mayumi tegas.
Lihat karya-karya Mayumi lainnya di sini: Mayumiharyoto.com