Hari Sabtu kemarin, Kopling sempat membaca tulisan di sebuah koran nasional berjudul: “Pemerintah Hanya Gencar Berpromosi”. Isinya kurang lebih menyayangkan warisan kebudayaan Indonesia (yang dalam artikel ini adalah seni topeng dari Indramayu) yang bisa dibilang hampir punah. Pemerintah gencar melakukan promosi ke luar negeri sementara upaya pelestarian yang dilakukan sangat minim. Akibatnya, semakin sedikit orang yang mau mempelajari kesenian ini karena dinilai tidak ada manfaatnya bagi mereka. Ibaratnya seorang pelukis, tentu dia nggak mau hanya melukis dan menyimpan semua karyanya di kamar. Nggak hanya mereka yang berkecimpung di dunia seni, semua orang juga pasti membutuhkan ruang untuk berekspresi dan memamerkan hasil ekspresinya.
Di artikel ini dibahas sebuah kesenian tradisional tari topeng dari Indramayu yang meskipun sudah sampai tampil di Art Science Museum Singapura, tetap saja penanganan dari pemerintah Indonesia sangat minim. Bahkan, Wangi Indriya, seorang penari topeng Indramayu mengatakan bahwa ia rutin mengadakan pentas setiap bulan di sebuah sanggar tari topeng Indramayu bernama Mulya Bakti, yang didirikan oleh ayahnya, dengan dana sendiri untuk mengapresiasi murid-murid yang belajar di sanggar.
Selain Wangi, ada seorang maestro tari topeng Cirebon dari Indramayu yang tariannya menjadi inspirasi banyak orang hingga ke mancanegara. Mimi Rasinah, namanya. Beliau sudah belajar menari sejak umur 5 tahun dan pernah berhenti menari selama 20 tahun karena musibah saat G30S/PKI dan semakin sepinya tari topeng akibat banjirnya hiburan lain seperti pentas tarling, dangdut, dan sandiwara. Namun, begitu tariannya ditemukan lagi oleh Endo Suanda dan Toto Amsar di tahun 1994, Mimi Rasinah seakan kembali bersinar.
Kecintaannya akan tari topeng membuat semua orang terpesona dan ia bahkan sudah berkeliling Indonesia dan luar negeri untuk menari. Seorang sutradara asal Amerika Serikat, Rhoda Grauer, juga terpukau oleh tarian Mimi Rasinah dan membuat film berjudul “Rasinah: The Enchanted Mask“. Sebelum akhirnya meninggal di tahun 2010, Mimi Rasinah sempat terkena penyakit stroke yang membuatnya sulit untuk beraktivitas. Melalui tulisan Toni Wahid pun bisa dilihat bahwa kondisinya sebagai seorang penari profesional yang sudah melanglang buana dan meraih berbagai penghargaan tidak selaras dengan keadaan rumah sekaligus sanggar tarinya. Sangat sederhana. Bahkan di kala sakit, bantuan pengobatan sempat terhenti dan mereka hampir menjual topeng-topeng Cirebonnya untuk biaya pengobatan.
Ini ada video dokumenter kecil via Youtube tentang Mimi Rasinah:
Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa seni tradisional di Bali bisa tetap bertahan? Jawabannya adalah karena di Bali seni sudah menjadi bagian dari ritual keseharian mereka dan pemerintah daerahnya pun sangat mendorong regenerasi seni tradisional sebagai upaya untuk menarik wisatawan asing. Bali adalah salah satu daerah yang tetap menjaga budaya tradisionalnya meskipun banyak sekali didatangi pengaruh dari luar. Menurut Wangi, pemerintah Indramayu kurang responsif untuk mengemas tari topeng sebagai bagian dari pariwisata Indramayu, padahal mungkin sekali daerah ini bisa menjadi Bali yang kedua jika dipelihara dengan baik.
Tari topeng Indramayu dipentaskan di Art Science Museum Singapura dalam rangka “The Majestic Mask: Indonesian Mask Festival” tanggal 18-21 Oktober 2012 kemarin. Di acara ini tidak hanya tari topeng Indramayu yang dipentaskan, namun juga ada beragam topeng nusantara seperti tarian dari Solo dan tari topeng Jawa. Mungkin ada teman-teman di Singapura yang sempat menonton pentas ini?
Memang, di era yang serba modern sekarang ini terkadang kita seperti lupa diri dan merasa kalau kebudayaan tradisional nggak memiliki peran penting dalam kehidupan kita. Tapi apalah artinya kita tanpa sejarah? Yang membuat sebuah bangsa memiliki ciri khas adalah karena mereka nggak melupakan kebudayaan tradisionalnya meskipun dihadapkan pada budaya-budaya asing. Cukup ironis ketika melihat Indonesia dengan ragam kesenian tradisional yang berlimpah nggak dipelihara oleh pemerintahnya, sementara ada negara tetangga yang kekurangan warisan budaya bersusah payah mempercantik negara mereka dengan mengumpulkan beragam kekayaan dunia dalam wujud miniatur.
Yuk, kita coba dari diri kita sendiri dulu untuk pelan-pelan mengenal kembali satu per satu kebudayaan kita sebelum terlambat. Jangan sampai terjadi seperti sebuah pepatah yang mengatakan, “You don’t know what you have until it’s gone.”