Yang kaya makin kaya
Yang miskin makin miskin
Masih banyak orang hidup dalam kemiskinan
Sementara ada yang hidupnya berlebihan
– Rhoma Irama, “Indonesia”
Lirik di atas adalah penggalan dari lagu “Indonesia” karya Rhoma Irama, yang saat ini menjadikan dirinya calon presiden. Tapi yang akan kita bahas di artikel ini tentunya bukan masalah politik dong ya, dan masalah kaya miskin itu nggak cuma terjadi di Indonesia.
Tentang perbedaan antara kaya dan miskin ini juga ada di dalam sebuah buku yang saat ini sedang ramai dibicarakan orang: “Capital in the Twenty-First Century”, yang ditulis oleh Thomas Pilketty, seorang ekonom asal Perancis.
Dalam buku yang tebalnya 685 halaman ini, Thomas mengatakan bahwa orang kaya akan semakin kaya karena adanya kapitalisme pasar bebas. Dan hanya orang kaya yang mampu untuk membeli karya seni yang mahal sebagai investasi, dan ini membuat mereka semakin menjadi kaya. Orang-orang kaya jaman sekarang nggak akan ragu-ragu untuk memasang harga $100 juta pada acara-acara lelang, sementara tingkat kemakmuran orang-orang yang hidup dengan keuangan yang standar akan tetap berada di sana saja, atau bahkan menurun. Menurut Thomas, orang terkaya di dunia saat ini memiliki 1% dari seluruh kekayaan planet bumi. Luar biasa ya?
Hal ini dibenarkan oleh Ivor Barka, serang makelar benda seni dari London. Menurut Ivor, semakin lama, orang semakin liar dalam membelanjakan uangnya untuk benda-benda seni, dan mereka semakin banyak yang memamerkan kekayaannya di depan umum tanpa sungkan.
Sebenarnya, sudah sejak dulu orang-orang kaya membelanjakan uangnya untuk seni. Tepat seratus tahun yang lalu, seorang czar dari Rusia, Nicholas II, membeli lukisan “Benois Madonna” karya Leonardo da Vinci seharga $1.5 juta dalam sebuah transaksi tertutup. Bayangkan betapa banyaknya jumlah uang itu seabad yang lalu! Dan ketika dijual lagi, lukisan itu harganya kemudian menjadi naik 3 kali lipat. Jadi memang investasi dalam bidang seni itu amat sangat menguntungkan, sebenarnya.
Ada perubahan yang menarik yang terjadi sejak tahun 1990 hingga hari ini. Dulu, kebanyakan pembeli benda seni adalah para pengacara dan dokter, tapi lalu mereka menjualnya kembali dengan harga gila-gilaan, dan yang hanya mampu membeli akhirnya hanyalah para bankir yang ingin berinvestasi.
Pada tahun 2010, yang pembeli yang mendominasi pasar seni kebanyakan adalah para perempuan yang mendapat warisan dari mantan suaminya, entah karena kematian atau karena perceraian. Sebagai contoh, Elaine P. Wynn, mantan istri “juragan” kasino Stephen A. Wynn, membeli lukisan “Three Studies of Lucian Freud” yang dibuat oleh Francis Bacon di tahun 1969, seharga $142.4 juta.
Seorang penasehat seni dari London, Tania Buckrell Pos, mengatakan bahwa orang kaya memang mempunyai banyak uang berlebih, dan ketika mereka membeli sebuah karya seni, mereka membayarnya dengan uang tunai. Pasar benda seni itu nggak terbatas pada satu tempat saja, dan rata-rata para pemburu benda seni yang kaya raya itu mencari barang-barang yang sama. Jadi, kalau ada benda seni yang sedang dilelang di Timur Tengah, misalnya, mereka juga akan berbondong-bondong pergi ke sana.
Tapi apakah memang orang-orang yang kaya itu mempunyai selera yang baik? “Belum tentu,” tukas Ivor, “tapi itulah kapitalisme. Orang bisa membeli apa saja yang mereka mau.” Seperti yang dikatakan oleh Thomas dalam kesimpulan di bukunya, “Orang yang kaya akan selalu punya alasan untuk membeli.”
Semua orang memang sudah mempunyai rejekinya masing-masing. Mereka yang hari ini kaya, mungkin dulunya juga bukan siapa-siapa. Kalau kita juga ingin kaya, ya kita memang harus bekerja keras untuk itu. Dan masih ingin bertambah kaya setelahnya? Jadilah kolektor benda seni.
Sumber gambar: Christie’s, dan beberapa sumber lainnya