Semua kota biasanya punya sedikitnya sebuah “lambang” atau bangunan yang mewakili kota itu. Paris punya Menara Eiffel, Roma punya Colosseum, New York punya Patung Menara Liberty,Yogyakarta/Magelang punya Candi Borobodur, Jakarta punya Monas. Kalo ke Jakarta belum pernah foto di Monas atau di Bundaran HI serasa belum ke Jakarta. Kurang lebih begitu. Dan yang dijual di kartu-kartu pos juga lambang dari kota-kota tersebut.
Tapi sebenernya, yang menghubungkan hubungan kita dengan sebuah kota adalah hal-hal kecil yang sederhana, seperti misalnya kartu MRT ketika kita di Singapura. Tanpa kartu MRT kita bisa tekor naik taksi terus di kota Singa itu. Ya kan?
Pemikiran inilah yang jadi konsep sebuah pameran seni yang sedang diadakan di Manhattan, New York, dan akan berlangsung sampai bulan September yang akan datang. Pameran seni yang berjudul “Masterpieces of Everyday New York: Objects as Story” ini awalnya terinspirasi oleh sebuah serial radio di Inggris “A History of the World in 100 Objects”. Kurator dalam pameran ini adalah Radhika Subramaniam dan Margot Bouman, yang mengundang New School untuk menyumbangkan barang-barang mereka untuk dipamerkan.
Apakah barang-barang yang dipamerin itu semua adalah karya-karya seni? Ternyata nggak. Ada kancing dari Metropolitan Museum of Art, terus ada hand sanitizer, dan lain sebagainya. Selain itu juga foto-foto dari lukisan-lukisan Shadowman dari Village pada awal tahun 1980. Kalo hand sanitizer adalah “budaya baru”, beberapa benda itu bersifat abadi, seperti misalnya payung yang patah. Atau kasur bekas yang diberi judul “Homeless Homes”, atau rumah-rumah para gelandangan.
Menurut Subramaniam, “Kota ini terbentuk dari berbagai cerita, dan cerita-cerita itu terbentuk dari para manusia dan hubungan mereka dengan tempat ini. Kesemuanya itu menjalin sebuah biografi tentang kota ini. Sebuah lampu yang berdiri di pinggir jalan bisa jadi menyimpan ribuan cerita-cerita bisu di sana.”
“Silakan mengintepretasi benda-benda ini seluas mungkin. Yang dilihat oleh mata belum tentu adalah arti sesesungguhnya dari benda tersebut. Sebagai contoh, gelas kopi yang kita dapat dari membeli kopi setiap hari. Bukan gelasnya yang punya cerita, sebenarnya – tapi percakapan yang terjadi ketika kita memilih gelas itu. Itu pengalaman dan cerita yang ingin diangkat dalam pameran ini.” Hmm… Mungkin sama seperti kenangan-kenangan yang terbentuk saat kita menghabiskan waktu di sebuah restoran atau kedai kopi. Nggak akan pernah sama.
“Payung yang patah adalah kejutan yang manis, tergantung bagaimana cara kita memandangnya. Pemandangan di Empire State Building adalah hal yang menyenangkan, tapi yang lebih menyenangkan bukan bangunannya, melainkan cara kita memandang bangunan itu,” lanjutnya.
Yang diharapkan dari pameran ini adalah para pengunjung pameran belajar untuk mengapresiasi hal-hal yang terlihat biasa. Saya sudah lama tertarik dan sering memperhatikan bagaimana seseorang melihat sesuatu untuk pertama kalinya dalam hidup mereka. Meskipun Anda mungkin seorang turis yang datang ke kota ini, yang terpenting bukanlah hal-hal yang luar biasa yang terlihat oleh mata, tapi hal-hal yang luar biasa yang terjadi setiap hari. Bahkan dalam bencana sebesar 9/11 sekalipun, yang besar bukanlah bencana itu tapi bagaimana kita menemukan jalan kita untuk pulang setelah bencana itu terjadi. Di situlah tempat kehidupan kita yang sebenarnya hidup.”
Filosofis sekali ya? Tapi mungkin hidup memang akan lebih penuh arti kalo kita mau melihat atau memikirkannya lebih dalam dari biasanya…
Sumber gambar: newschool.edu