Kalau menurut Merriam-Webster, arti kata kematian atau death adalah “a permanent cessation of all vital functions : the end of life”. Dimana cessation sendiri mempunyai arti penghentian atau interupsi. Sesuatu yang dihentikan atau diinterupsi kan biasanya tiba-tiba ya. Jadi, ibarat seorang novelis yang sedang asyik menuliskan bukunya, mendadak disuruh berhenti sama sang penerbit. Entah sudah sampai halaman berapa ceritanya saat interupsi itu datang. Bisa baru halaman 20, bisa 100, bahkan bisa baru mulai nulis kata pengantar.
Di malam pembukaan pameran amal ACT tanggal 28 Juli lalu, beragam cerita terangkat dari 25 karya seniman partisipan. Masing-masing orang menanggapi kematian secara berbeda-beda. Franciska Angelina lewat karyanya “Death is A Graduation” misalnya, berusaha melihat kematian dari sisi yang “fun” dimana Franciska mempunyai harapan bahwa akan ada petualangan baru setelah ajal tiba. Berbeda dengan karya Annisa Aprianinda yang melihat kasus-kasus aborsi. Annisa lewat karyanya yang berjudul “Bear & Blossom” ingin mengajak (khususnya) kaum perempuan untuk lebih menyadari bahwa setiap mereka dapat memberikan kesempatan jiwa lain untuk merasakan indahnya dunia.
(Kiri) “Death is A Graduation” – Franciska Angelina. (Kanan) “Bear & Blossom” – Annisa Aprianinda.
Ada pula yang menanggapi kematian seperti halnya proses membuat karya seni. Rukmunal Hakim melihat penciptaan ide adalah proses kelahiran. Setelah proses pengerjaan karya selesai, dan kemudian si seniman beralih ke sebuah ide yang baru maka karya tersebut mengalami fase kematian. Namun yang menarik di sini adalah bagaimana gagasan yang terkandung di ide/karya tersebut akan selamanya hidup.
Pendekatan hampir serupa dari karya Arya Mularama yang berjudul “Death and Rebirth”. Bagi Rama kematian tidak ada rasanya, justru yang merasakan adalah orang-orang yang kita tinggalkan. Simbol burung gagak yang mempunyai arti Death di barat dan Rebirth di timur berusaha mengajak kita untuk fokus ke apa yang bisa kita tinggalkan daripada proses meninggalkan jasad manusia kita. Lewat tindakan kita, memori, inspirasi yang kita tinggalkan.
(Kiri) “Untitled” – Rukmunal Hakim. (Kanan) “Death and Rebirth” – Arya Mularama.
Pada kesempatan yang sama malam itu, rekan-rekan dari PEPA, Yayasan Pelita Ilmu (YPI), dan Zainal Abidin atau @jayteroris (sebagai perwakilan dari Dompet Dhuafa), juga ikut menyumbang cerita bagaimana cara mereka, melalui cara-cara dan media yang berbeda berusaha membentuk sebuah cerita yang dapat dijadikan legacy di masa depan.
PEPA, melalui kegemarannya menyulap kertas bekas menjadi buku, mengajak kelompok perempuan ODHA yang berada di bawah naungan Yayasan Pelita Ilmu untuk sama-sama melakukan kegiatan yang tidak hanya berguna bagi diri sendiri tapi juga bagi orang lain: merancang buku sketsa dan buku tulis dengan sepenuh hati. Kamu tentunya udah banyak membaca stigma negatif yang berlebihan mengenai ODHA dan pasti kamu juga tahu kalau seseorang yang menderita HIV/AIDS itu sebenarnya tidak boleh kelelahan. Lelah sedikit saja maka jumlah virus bisa langsung meningkat.
Meskipun begitu, para perempuan yang dibina PEPA ini tetap bersemangat berbuat sesuatu tanpa lelah. Ario Kiswinar Teguh, perwakilan dari PEPA yang datang hari itu, menceritakan kalau mereka semua bersama-sama dengan para perempuan dari YPI mengerjakan buku-buku sketsa untuk acara pameran amal ACT dari pagi sampai sore dengan senang hati. YPI pun menanggapi aksi tersebut dengan sangat positif karena mereka memperoleh pengalaman baru yang berguna di kemudian hari.
Sharing session bersama PEPA dan Yayasan Pelita Ilmu.
@jayteroris (tengah) sedang sharing cerita bersama Dwi Putro dari Dompet Dhuafa (kanan)
Merespon cerita PEPA yang mendirikan wirausaha sosial, Zainal Abidin mengatakan bahwa sekarang ini wirausaha sosial sangat penting. Karena itu juga Zainal dengan bantuan dari Dompet Dhuafa sekarang memfokuskan diri untuk membina warga-warga di berbagai wilayah di Indonesia untuk mengembangkan potensi lokal mereka. Zainal ingin agar semakin banyak orang Indonesia yang membuat usaha sendiri supaya mereka bisa hidup mandiri.
Ada banyak cara untuk meninggalkan hal-hal positif bagi siapapun atau apapun di sekitar kita. Yah, sebenarnya sih tidak perlu menunggu sampai mau mati ya baru kita mikirin mau meninggalkan apa. Justru, proses itu bisa dimulai kapan saja, tidak melulu harus lewat tindakan-tindakan besar, gesture sekecil senyuman pun bisa menjadi legacy tersendiri yang layak ditinggalkan.
Yang terpenting adalah jangan pernah menunda hal apapun yang ingin kamu berikan kepada orang lain, karena perbuatan kecilpun bisa menjadi sesuatu yang besar dan berguna apabila terus tersalurkan dari tangan ke tangan. Pada akhirnya, yang kita tinggalkan di dunia ini bukanlah harta, namun kenangan, semangat, dan inspirasi.
Ini beberapa foto malam pembukaan pameran amal ACT yang lalu:
Video dokumentasi pameran. Big thanks to Jerry Hadiprojo!
Dokumentasi lebih lengkap bisa kamu lihat di sini
Photos by: @toge_chan | http://photokelilink.blogspot.com/