If you ever wander at Singapore’s hype joints of Haji Lane and Bali Lane, you might walk yourself to the cute, vintagey Arab Street which hussled with Middle Eastern fabric and carpet shops. Close to the end of the road, nestled between a lamp shop and Turkish café, stand this renovated old 5-storey building; an eye-catchy small café at the first floor and a hostel upstairs. Shophouse the Social Hostel was opened in December 2012 by two young men, Mustaffa and Calvin – both 29 – who happen to love traveling and doing new stuffs. Decided to end their corporate careers, they built everything from scratches; if you have stayed at their hostel before, you might have passed them by in the hostel, counting at the cashier or with hands full with hostel’s laundries. The hostel was listed as one of the top few hostels in Singapore on many online hostel booking sites.
In September 2013, they decided to open their own café downstairs. The name (Working Title) came out when they had no more idea to call the café, which was going to open just in a few days after. Without knowing anything about a café business, they do stuffs by their own; learning about coffee, cooking, handling things, they even made their own café furniture from industrial leftovers by following instructions on online sites like Youtube and Tumblr. They also cooperate with some new local companies such as Dutch Colony Coffee Co, online pastry shops, hiring the youngsters, and even sometimes selling some homemade sweets by Calvin’s mom. They choose specialty coffee and craft beers as their top menus. Only in two weeks after their opening, they gained over 2000 likes on the Facebook Page and the café shortly became one of the hippest place in Singapore.
Kopi Keliling interfered one of the friendly owners Mustaffa, who was busy flipping burgers and making some latte art at the kitchen. We did some chats over coffees at the cozy (Working Title) café and also over the sea by email.
What did you do before you open a hostel?
I was working in the Fire Department for 3 years (about 1 year training, 1 year as a commander on the ground and 1 year doing strategic planning).
Why did you guys decide to open a hostel and then a café?
Life became predictable and mundane in a corporate environment. I wanted to do something I had passion in; travelling and meeting people. The café came unexpectedly actually; when we realized that the café operating at the first floor of the hostel didn’t synergise well with the hostel, we decided to end the lease of the tenant and run it on our own!
How did you set up the concept of the café and all?
Well, we didn’t have much finance to begin with, so it was a matter of putting together existing resources and things we could pick up for free or for cheap. A lot of the furniture was hand-made with love. We got most of our design inspiration online.
Why did you choose specialty coffee and craft beers as the main ‘attractions’?
The coffee culture in Singapore is developing nicely towards the scene that you get in cities like Melbourne and Vienna. More specialty coffee places are popping up and coffee lovers are preferring to get their caffeine fix at these cafes as opposed to mainstream coffee houses. And because we co-exist with the hostel (a social hostel at that), we thought it would be a great idea to incorporate beer into the menu. We kind of stumbled upon craft beers, a relatively new phenomenon in Singapore (3-4 years) and experimented with 4 types of beers, and have since expanded our range to over 30 now.
How did you learn about coffee and all the stuffs? What’s the best thing you get about it?
Given the short notice to set up the café and our minimal knowledge on coffee, we had to work doubly hard to understand the coffee industry, learn to make good coffee (and latte art to boot). We spent our days setting up the café, the evenings practicing on the coffee machine and the nights watching video tutorials and reading articles. It took a lot out of us, but it was all the more worth, it’s a whole new world to explore.
Why did you choose Dutch Colony Coffee Co, and that 50% Brazilian 30% Colombian 20% Ethiopian coffee blend in particular?
We met a few roasters and suppliers and settled for Dutch Colony for a few reasons. We really liked the Dutch Colony house blend because it has the right balance of taste, and eventually ended up with a similar blend. But more importantly they were a new company like us and we felt that we were headed towards the same direction and could grow together. The owners were young and like-minded so we got along very quickly, which I feel is a very important aspect in business relations.
How did you set up the food? What’s your personal favorite meal?
We don’t have culinary or even F&B background and on top of that we don’t have a full kitchen set up, so we had to work around these constraints to come up with a menu that is simple yet attractive enough for consumers. We also had to ensure the menu and the prices will be profitable for the company.
I love meat so I’d have to say my favorite is “The One and Only Burger That We Have” and I will have the Tea Thyme Soda to go with that. A good cup of cappuccino with a slice of any of our delicious cakes will be a good wrap up to the meal.
Can you tell us your opinion about the culture of coffee in Singapore?
The booming café scene is seeing new cafes opening every month. I see this as a good thing as Singaporean coffee lovers are becoming more discerning and know how to appreciate a good cup of coffee, compared to one served at a major café chain. We still get customers coming in expecting to be served a cafe macchiato in a large cup, but it’s our job to share our knowledge on how a good cuppa should taste like.
————-
Kalau kebetulan kamu lagi jalan-jalan di sekitar Haji Lane dan Bali Lane yang nge-trend di Singapura, coba deh melipir ke Arab Street, sebuah jalan berisi toko-toko Timur Tengah unik yang menjual bahan pakaian serta karpet. Tak jauh dari ujung jalan, diapit oleh toko lampu dan kedai Turki, tampak bangunan tua 5 lantai yang sudah direnovasi. Terlihat sebuah café mungil yang menarik di lantai bawah dan sebuah hostel berdiri di lantai-lantai atasnya. Shophouse the Social Hostel dibuka pada Desember 2012 lalu. Para pemiliknya, Mustaffa dan Calvin – keduanya kini berusia 29 tahun – sangat menyukai traveling dan melakukan hal-hal baru. Setelah memutuskan untuk berhenti berkarir di perusahaan, mereka membangun segalanya dari nol. Kalau pernah menginap di hostel ini, mungkin kamu pernah berpapasan dengan salah satu atau keduanya yang sedang sibuk di kasir atau mengurus laundry. Sejak pertama dibuka, hostel mereka ini termasuk salah satu yang top di beberapa situs pemesanan hostel seperti hostelworld.com.
Pada bulan September 2013 lalu, Mustaffa dan Calvin memutuskan untuk membuka café di lantai satu. Nama café-nya, (Working Title) – seperti judul temporer film dalam produksi – muncul karena mereka tidak sempat memikirkan nama lain, sementara jadwal pembukaan café tinggal beberapa hari lagi. Tanpa mengetahui apapun tentang bisnis café, lagi-lagi mereka memulai segala sesuatu dari awal; belajar tentang kopi, memasak, mengurus bisnis, hingga membuat furniture café sendiri dengan belajar dari YouTube dan Tumblr! Mereka juga bekerjasama dengan beberapa perusahaan lokal baru seperti Dutch Colony Coffee Co, toko kue online, mempekerjakan anak-anak muda, sampai menyediakan kue-kue buatan ibunda Calvin. Mereka memilih specialty coffee dan craft beers sebagai menu andalan. Hanya dalam kurun waktu dua minggu setelah pembukaan, (Working Title) mendapat lebih dari 2000 likes di Facebook Page-nya, dan menjadi salah satu tempat nongkrong yang cukup dikenal di kalangan anak muda dan ekspat di Singapura.
Beberapa waktu lalu, Kopi Keliling sempat ‘mengganggu’ salah satu pemiliknya, Mustaffa, yang sedang sibuk memasak burger dan membuat latte art di dapur (Working Title). Kamipun mengobrol sambil minum specialty coffee lezat yang kemudian berlanjut sampai berkirim-kiriman email.
Apa yang kamu lakukan sebelum membuka hostel dan café?
Saya dulu kerja sebagai anggota Pemadam Kebakaran, sekitar 1 tahun training, 1 tahun sebagai komandan, dan 1 tahun di bagian strategic planning.
Kenapa kalian memutuskan membuka hostel dan juga café?
Buat saya, kehidupan di lingkungan perusahaan itu lama-kelamaan membosankan. Saya ingin melakukan hal yang sesuai passion saya, yaitu traveling dan bertemu orang-orang baru. Kalau membuka café itu sebetulnya tidak direncanakan; waktu kami menyadari café yang berjalan di lantai bawah tidak bersinergi dengan baik dengan hostel kami, kami memutuskan untuk mengakhiri sewanya dan membuka café sendiri!
Gimana cara kamu mengatur konsep café dan segala sesuatunya?
Kami nggak punya modal banyak, jadi kami sebisa mungkin menggunakan apa yang sudah ada dan apapun yang bisa kami dapatkan dengan gratis atau murah. Banyak furniture di sini dibuat dengan tangan kami sendiri, dengan bahan-bahan yang didapatkan dari sisa industri. Kebanyakan inspirasi desainnya kami dapatkan dari internet.
Kenapa kalian memilih specialty coffee dan craft beers sebagai jualan utama?
Budaya minum kopi di Singapura berkembang dengan baik, mirip dengan yang terjadi di Melbourne atau Vienna. Semakin banyak tempat menyediakan specialty coffee dan semakin banyak juga pencinta kopi yang memilih untuk memenuhi kebutuhan kafein mereka di tempat-tempat seperti ini daripada kedai kopi terkenal. Dan karena café kami berdiri bersama hostel yang menjadi tempat bersosialisasi para traveler, menurut kami bir juga cocok disediakan di tempat kami. Kebetulan kami menemukan fenomena craft beers yang terhitung baru di Singapura – sekitar 3-4 tahun – dan bereksperimen dengan 4 tipe. Kini kami menyediakan lebih dari 30 jenis bir.
Bagaimana caramu belajar tentang kopi pada awalnya? Menurutmu, apa hal terbaik yang kamu dapatkan?
Karena waktu yang sempit untuk mempersiapkan café dan pengetahuan yang minimal tentang kopi, kami harus bekerja ekstra keras untuk mempelajari industri kopi dan cara membuat kopi yang enak dengan latte art sebagai tambahan. Di siang hari kami beres-beres café, lalu berlatih dengan mesin kopi dan menonton video tutorial dan membaca artikel-artikel di malam hari. Melelahkan, tapi semuanya terbayar. Mengeksplor dunia yang sama sekali baru selalu menyenangkan.
Kenapa kalian memilih Dutch Colony Coffee Co sebagai supplier kopi kalian dengan campuran 50% kopi Brazil, 30% Colombia, dan 20% Ethiopian?
Kami bertemu dengan beberapa roaster dan supplier kopi sebelumnya dan memilih Dutch Coffee Colony Co karena beberapa alasan. Kami sangat menyukai house blend dari Dutch Colony karena rasanya yang seimbang, dan akhirnya kami memilih campuran kopi yang sama. Tapi yang terpenting adalah mereka juga perusahaan baru seperti kami, dan kami merasa memiliki visi dan misi yang sama serta dapat berkembang bersama. Para pemiliknya juga anak muda seperti kami dan ‘nyambung’, yang saya kira adalah aspek penting dalam membangun suatu relasi bisnis.
Gimana cara kalian mengatur menu makanan? Apa menu favoritmu?
Kami tidak punya latar belakang kuliner dan F&B sama sekali, dan terutama kami nggak punya kitchen set yang memadai. Jadi dengan segala keterbatasan kami berusaha menyediakan makanan yang simple tapi cukup menarik bagi pengunjung. Kami juga harus memastikan bahwa harganya masuk akal tapi tetap menguntungkan.
Saya pecinta daging, jadi menu favorit saya adalah “The One and Only Burger That We Have” dan saya akan memilih Tea Thyme Soda sebagai pasangannya. Secangkir cappuccino dan sepotong kue akan jadi penutup yang sempurna.
Gimana pendapatmu tentang budaya minum kopi di Singapura saat ini?
Karena memang lagi booming banget, kita bisa menemukan café baru di sini setiap bulan. Menurut saya sih bagus, soalnya pencinta kopi di Singapura jadi lebih mengerti dan menghargai secangkir kopi yang lebih berkualitas dibandingkan dengan yang di perusahaan kopi besar. Masih ada, sih, pelanggan yang minta café macchiato-nya disediakan dalam cangkir besar, tapi itulah tugas kami untuk berbagi pengetahuan tentang bagaimana rasa secangkir kopi yang baik selayaknya.
(Working Title) @ Shophouse the Social Hostel
48 Arab Street, Singapore
http://www.workingtitle.sg
Instagram: workingtitlesg
Article by: Nindya Lubis (@perfectelle)
Photos by: (Working Title) and Nindya Lubis