Dalam hitungan minggu acara Catalyst Art Market 6 akan diadakan, tepatnya di tanggal 30 April – 1 Mei 2016! Sebelum sampai hari H, Kopling mau mengajak kamu semua untuk kenalan dulu satu per satu dengan artist/ilustrator/brand kreatif yang berpartisipasi. Yuk!
1. Resatio Adi Putra
Kalau menyebut nama Resatio pasti langsung teringat dengan karya-karya kolasenya yang sudah menempuh perjalanan jauh ke berbagai belahan dunia. Pria asal Bandung yang mengawali karirnya sebagai freelance designer di salah satu brand clothing line lokal di Bandung ini mengaku mulai bermain-main dengan kolase saat ia bekerja di Jakarta tahun 2011. “Saat itu saya sedang bekerja menjadi graphic designer di Free! Magazine (RIP), dan pekerjaan saya adalah membuat desain yang berkaitan dengan majalah tersebut. Dari situ saya mulai bermain-main dengan kolase. Kolase saya digunakan untuk editorial illustration dan fashion illustration di majalah tersebut,” katanya.
Selama di Jakarta, Resatio rajin mengikutsertakan karya kolasenya di berbagai pameran seni dan ilustrasi. Ia mengaku Pameran Kopi Keliling Volume 5 adalah salah satu pameran awal yang berpengaruh untuk dirinya. “Saat di Jakarta saya juga berkesempatan membuat dan menjual merchandise dari karya-karya kolase saya, salah satunya di acara art market yang diadakan Kopi Keliling di Tokove, Kemang,” tambahnya.
Pada tahun 2013, Resatio memutuskan untuk kembali ke Bandung dan fokus menjadi personal dan commercial artist, meskipun terkadang ia juga mengerjakan desain grafis karena itu merupakan awal mulanya bergerak di dunia visual. “Inspirasi saya datang dari mimpi, mitos, folklore, supranatural, dan lainnya,” ujar Resatio. Tapi ia juga nggak menutup mata dengan keadaan di sekeliling. “Kita hanya harus melihat,” katanya.
Bisa dibilang, Resatio adalah salah satu artist yang cukup konsisten memproduksi merchandise. “Saya berkarya agar lebih hidup, dan membuat merchandise agar para audiensi dapat mengapresiasi karya saya dalam bentuk lain yang lebih affordable,” jelasnya. Merchandise yang ia buat cukup beragam, mulai dari zine, art book, prints on paper, prints on wood, tote bag, kaos, hingga kalendar. Ia bahkan sempat disebut sebagai “seniman merchandise” oleh salah seorang rekannya. “Nggak apa-apa kan, pada dasarnya karya juga untuk dijual. Tapi jangan sampai tujuan utama membuat karya adalah agar laku dulu. Laku atau nggak sebenarnya nomor ke sekian. Yang penting bikin karya dengan jujur. Kalau karyanya bagus dan jujur, orang pasti suka dan mengapresiasi dengan cara apapun. Interpretasi jujur bagi setiap orang pasti beda, jadi silakan dipikirkan sendiri. Kita butuh uang, tapi jangan sampai uang menjadi Tuhan kita,” papar Resatio menutup pembicaraan.
2. Wickana Laksmi Dewi
Berbicara soal karya Wickana pasti akan mengingatkanmu dengan karakter-karakter di dalam karya Mark Ryden, hanya saja ada kesan yang lebih dark di dalamnya. Penggemar Mark Ryden ini mengaku memang suka menggambar sejak kecil dan semakin mantap ketika ia membuat sebuah buku cerita bergambar untuk tugas akhirnya di FSRD ITB jurusan DKV Desain Grafis. “Sejak itu saya mulai terus membuat ilustrasi baik untuk pribadi atau komersil sambil perlahan-lahan menemukan style saya sendiri,” kata Wickana.
Karya-karya Wickana kebanyakan bercerita tentang pengalaman pribadi dan sebagian besar terinspirasi dari folklore dan old photography. Sejak berpartisipasi di acara art market yang diadakan Kopi Keliling di Tokove tahun 2012, ia mulai berpikir untuk rutin mengaplikasikan karyanya ke dalam berbagai merchandise yang bisa ia produksi secara mandiri. “Saya merasa daya tarik ilustrasi saya ada pada karakternya. Akhirnya saya memutuskan membuat merchandise berupa Paperdoll yang bisa dirakit sendiri oleh pembeli,” ujarnya soal merchandising.
Mengingat banyak dari karyanya yang mengusung konsep dark dan bergambar tengkorak, Wickana nggak heran ketika sebagian pengunjung mengaku takut, tapi penasaran dengan ilustrasi yang ia buat. Ketika ditanya soal pengalamannya dengan pengunjung, ia cerita, “Yang membuat saya senang adalah ketika ada pengunjung yang melihat karya saya lalu merespon, “Waduh, ini aku banget”, atau “Wah, aku lagi ngerasa kayak gini nih…”. Walaupun mungkin yang mereka tangkap dalam ilustrasi saya berbeda dengan yang saya maksud, tapi saya senang karya saya bisa menyentuh emosi orang lain.”
Selama ini Wickana menjual karyanya sebagian besar melalui acara sejenis art market. “Apabila ada yang membeli secara online biasanya karena orang itu kebetulan melihat karya saya di media sosial,” katanya. Karena itu, sekarang ia sedang berencana membuat satu wadah sendiri untuk merchandise-nya agar orang dapat dengan mudah melihat karya apa saja yang sedang ia buat. Ia juga sedang mencoba bereksperimen dengan media-media lain di luar ilustrasi dua dimensi.
3. Torisaru
Berawal dari project iseng semasa menekuni kuliah di jurusan ilustrasi character design di Tokyo, Torisaru menjadi sebuah brand yang mendapatkan respon sangat baik dari konsumen. “Tahun 2012 saya datang ke acara art event Tokyo Design Fiesta, di mana orang awam bebas memamerkan dan menjual berbagai artwork atau karya handmade mereka. Dari situ saya terinspirasi untuk ikut menciptakan sesuatu dengan gambar saya,” cerita Triska Sarwono yang kemudian mendirikan Torisaru di tahun 2013 dan membuat produk pertamanya yaitu canvas tote bag.
Sejak awal berdiri hingga sekarang, Triska sudah membuat berbagai jenis produk, mulai dari tote bag, kaos, hingga greeting cards. Ia ingin membuat produk dari gambarnya sendiri dengan ditambahkan kata-kata unik atau quirky yang membuat pembeli merasa relate dengan produk tersebut.
Karena saat awal Torisaru berdiri Triska berdomisili di Jepang, ia pun mengikutsertakan Torisaru saat Tokyo Design Fiesta 2013. “Saya cukup kesulitan karena tote bag saya berbahasa Inggris dan bergambar tokoh-tokoh barat seperti Andy Warhol dan Sid Vicious. Orang Jepang kurang familiar dengan bahasa Inggris dan artis barat sehingga saya harus menerjemahkan artinya dan menjelaskan satu per satu siapa tokoh tersebut ke setiap pengunjung, baru mereka ngeh dan mau membeli,” kenang Triska. Nama Torisaru pun sebenarnya ia ambil dari singkatan namanya setelah dieja dalam bahasa Jepang. “Kalau dalam bahasa Jepang, penyebutan nama saja menjadi Torisuka Saruwono. Jadi saya singkat menjadi Torisaru supaya mudah dibaca oleh customer di Jepang,” jelasnya.
Berjualan di Indonesia, Triska mengaku prosesnya lebih mudah karena anak-anak muda di sini lebih mengikuti tren luar negeri. Ia bahkan sempat menemui konsumen yang reaksinya cukup histeris karena melihat film kesukaannya atau tertawa terbahak-bahak karena melihat quotes t-shirt yang lucu. Ke depannya, Triska sudah berencana untuk menambah produk lain di kategori home and living, seperti kitchen goods dan framed art prints.