Monic adalah seniman yang besar dari keluarga akuntan yang konvensional. Keluarga Monica tidak tahu bahwa seni bisa dijadikan lahan profesi. Ketika Monica diterima di FSRD ITB, ibunya sangat tidak setuju. Sampai sekarang juga orang tuanya masih sedih dengan apa yang dilakukannya, mereka ingin Monica bekerja kantoran yang jelas seperti ketiga kakaknya yang menjadi akuntan dan pegawai negeri. Keresahan merupakan emosi yang menginspirasi Monica dalam berkarya. Rasa resah itu muncul melalui dirinya dan juga interaksinya dengan orang–orang di sekitar dan segala benturan di dalamnya. Rasa resah adalah bensin yang membuat Monica terus berkarya.
“Kalo suatu saat saya udah tenang, ada kemungkinan saya gak mau bikin karya lagi,” jelas Monica.
Volume 4
Karya Monic bercerita tentang common sense yang tertukar di dalam industri kopi Indonesia. Objek utamanya adalah petani kopi Sumatera dan paparan Kopi Indonesia, khususnya kopi Sumatra secara global. Banyak pertanian kopi di Sumatera yang lahannya disewakan ataupun hasilnya dijual putus ke pihak industri kopi luar Indonesia akibat fenomena perdagangan bebas. Berdasarkan peneletian Monic, banyak lahan kopi memang disewakan para petani dengan harga yang murah atau tidak memakai sistem profit sharing namun hasilnya dijual mahal ke luar negeri. Berdasarkan riset, kita hampir tidak bisa menemukan kopi lokal terbaik di Indonesia. Jika mau kopi Indonesia terbaik, malah harus pergi dulu ke luar negeri. Kopi Indonesia terkenal mahal di seluruh dunia tapi petani kopi lokal hanya menjadi tukang dan tidak mendapat keuntungan seharusnya dari hasil penjualan global tersebut. Banyak investor lokal yang tidak mau susah dan langsung mencari keuntungan cepat dengan menjual putus ke ‘merek’ luar dibanding bersusah payah membuat sistem sendiri. Apakah memang selamanya kebanyakan kepribadian orang Indonesia adalah menjadi ‘tukang’ semata dibanding menjadi ‘master mind‘ ? Karya ini menggunakan benang, jarum jahit, dan kain.
Bagi Monica ilustrasi berperan untuk komunikasi. Tergantung konteks-nya dalam berkomunikasi melalui ilustrasi.
“Kalo lagi jadi tukang, saya mengkomunikasikan pesannya klien saya. Tapi kalo lagi jadi diri sendiri, saya pasti mengkomunikasikan keresahan saya,” ujar Monica.
Dia berpendapat kalau sekedar mengomunikasikan gambar yang indah secara estetis itu sama saja sepeti melihat orang cantik tidak berisi. Sebuah karya yang baik setidaknya punya misi membuat orang lain peduli dengan masalah yang seharunya dipikirkan bersama.
Dalam proses kerja ini dibiasakan untuk memikiran konsep matang–matang sebelum membuat karya agar memiliki “lapisan” dalam bercerita.
“Hal pertama yang diajarkan dosen saya: Jangan langsung puas sama ide pertama. Karena ide pertama yang muncul itu biasanya ide umum,” katanya.
Tidak ada hubungannya antara spontanitas dan kejujuran berkonsep menurut Monica.
Salah satu proyek ilustrasi yang berkesan baginya adalah waktu pertama kali bikin ilustrasi buat edisi tahunan majalah remaja. Monica tidak bisa photoshop tapi dia memberanikan diri untuk menyelesaikan proyek tersebut. Ternyata majalah tersebut memenangkan best design and illustration magazine sebanyak 50.000 eksemplar di tahun 2007.