Sebagai orang Indonesia, kita pasti tahu betapa terkenalnya kopi nusantara. Produksi kopi kita termasuk yang terbesar di dunia. Orang Indonesia sudah mengenal budaya ngopi sejak ratusan tahun lamanya. Zaman sekarang, salah satu tempat seru untuk sekadar nongkrong atau bahkan menggelar meeting adalah di kedai kopi lokal yang menyajikan kopi lokal terbaik. Banyak anak muda Jakarta yang kini fasih menjabarkan jenis-jenis kopi yang enak, bahkan mencantumkannya di biodata media sosial. Biji kopi favorit? Aceh dan Jawa Barat! Jenis kopi yang paling enak? Sudah jelas arabika! Betulkah kopi Indonesia paling enak? Bagaimana sebetulnya kita menerapkan standar enak untuk secangkir kopi?
Beberapa waktu lalu saya sempat menghadiri acara “Bincang-Bincang Industri Kopi Sambil Ngopi Cantik” di 5758 Coffee Lab, Bandung. Di acara ini, Adi W. Taroepratjeka selaku Direktur 5758 Coffee Lab dan orang pertama di Asia Tenggara yang menyabet sertifikat instruktur Q Grader dari Coffee Quality Institute mengajak kami semua untuk menggali lebih dalam tentang citarasa kopi Indonesia. Mas Adi mengatakan bahwa orang seringkali terjebak mengatakan enak tanpa membandingkan terlebih dahulu. Dalam acara yang menghadirkan perwakilan Specialty Coffee Association Indonesia (SCAI), petani kopi, dan pelaku bisnis kopi tersebut, Mas Adi membeberkan bahwa pergeseran kualitas dan rasa kopi berkaitan dengan proses yang berlangsung dari hulu ke hilir. Saat ini, peringkat pertama produksi kopi dunia masih dipegang oleh Brazil. Konon Indonesia, yang dulu memegang peringkat ketiga, kini telah lengser ke posisi kelima dikalahkan oleh Ghana. Fakta yang mengejutkan adalah bahwa kini peringkat kedua dipegang oleh Laos, disusul oleh Vietnam. Cina pun mulai menegaskan langkahnya sebagai negara pemroduksi kopi dunia. Lho, kok, bisa? Padahal, kan, kebun kopi komersil pertama di dunia itu ada di Jawa Barat pada zaman Belanda?
Ketika sesi diskusi dibuka, perbincangan bersama para pelaku kopi berlangsung seru. Michael Utama dari Divisi Pelatihan SCAI menjabarkan bahwa produksi kopi di Indonesia saat ini terdiri dari 30% kopi arabika dan 70% robusta. Apakah ini hal yang buruk? Mia Handayani, istri Mas Adi yang adalah seorang pemegang sertifikasi R Grader untuk kopi robusta, segera membantah. Menurut Mbak Mia dan Pak Mike, masa depan kopi robusta Indonesia bisa jadi cerah. Pak Mike sendiri pernah mendapati kualitas mumpuni fine robusta produksi Lampung Selatan dan Jawa Tengah. Lalu mengapa kualitas kopi Indonesia bisa bergeser? Menurut Bapak Yosef, seorang petani kopi di Jawa Barat, ini tidak lepas dari kesejahteraan para petani kopi yang masih memprihatinkan. Petani Indonesia masih mengandalkan hasil alam karena kurangnya perhatian pemerintah dan banyaknya keterbatasan. Contohnya, karena harga yang melambung tinggi, Pak Yosef pernah menemukan pupuk palsu untuk tanaman kopi. Semua proses dilakukan sendiri oleh petani tanpa edukasi yang memadai. Ketidaktahuan dan banyaknya hal yang harus dikerjakan menyebabkan petani kurang fokus dalam menyelesaikan masalah. Ini jelas menghambat produksi kopi yang berkualitas tinggi. Lalu, bagaimanakah yang disebut kopi berkualitas tinggi?
Mas Adi mengingatkan, kualitas kopi kembali ke soal rasa, yang mana akan bergantung secara subyektif pada selera. Di sini mas Adi juga mengajak kami untuk menjajali Basic Cupping Class atau Kelas Uji Citarasa Dasar. Sesi ini dilaksanakan dengan blind tasting, tanpa membuka negara asal biji kopi yang dicoba. Kami diajak untuk melakukan uji citarasa profesional. Tahap pertama adalah mencium. Kami bergantian mengendus aroma dari enam jenis kopi arabika, masing-masing terbagi dalam lima gelas. Tahap ini dilakukan tiga kali, saat dry, wet, dan break – yaitu saat lapisan crema di atas kopi dibuang. Peserta dengan seru berusaha mengenali aroma yang tercium, dari rempah-rempah, gula merah, buah beri, dan lainnya. Kami diminta untuk mengingat aroma mana yang paling disukai. Dalam kriteria SCAI, di tahap ini peserta mencatat skor dari 6-10. Tahap kedua adalah merasa. Peserta mencoba masing-masing kopi dengan menggunakan sendok dengan cara slurping atau menyeruput. Kami tertawa geli setiap kali ada peserta yang melakukan slurping yang memang harus berbunyi. Srrruuuppt! Sama seperti tahap mencium, setelah tahap ini semua peserta diminta mencatat rasa kopi yang paling disuka.
Di akhir sesi, kami semua diajak turun ke kedai dan kembali mencoba masing-masing kopi yang diseduh dengan rasio 8.25g/150ml. Setelah semua selesai mencoba, Mas Adi mengadakan polling kecil tentang kopi yang menjadi favorit hadirin hari itu. “Favorit saya nomer 3. Ini pasti biji kopi Garut!” tandas seorang ibu di sebelah saya yakin. Hasil mengejutkan terungkap saat pihak 5758 Coffee Lab membuka asal-muasal masing-masing kopi. Dari kelompok biji kopi yang diproses dengan alami, Cina menjadi juara. Sedangkan di kelompok biji kopi dengan proses washed, Vietnam tampil sebagai pemenang. Semua peserta termangu. Tidak satupun kopi Sumatera Utara maupun Jawa Barat yang turut diuji hari itu menjadi favorit kami, orang Indonesia (yang katanya) pencinta kopi.
Di penghujung hari, dalam sesi ramah tamah saya bertanya pada Mbak Mia mengenai kopi Vietnam yang kebetulan saya pilih dalam kategori washed. “Betul, dahulu kopi Vietnam itu rasanya sangat dirty. Tapi kini mereka sukses menggalakkan produksi specialty coffee. Bahkan pemerintah sana mengundang ahli dari Indonesia juga, lho, untuk membantu meningkatkan kualitas kopinya,” terang Mbak Mia.
Sambil menikmati segelas kopi Malabar yang diracik dengan apik oleh rekan-rekan dari Bandung Manual Brew Community, saya tertegun melihat berbagai biji kopi lokal yang berjajar rapi di 5758 Coffee Lab. Mungkinkah kualitas kopi Indonesia akan kembali jaya? Atau mungkin akan terus menurun? Semoga saja tidak.
Untuk bincang-bincang, informasi, dan jadwal kelas kunjungi Instagram @5758CoffeeLab.
Ditulis oleh: Nindya Lubis
Foto oleh: Nindya Lubis, Desiyanti Wirabrata