Waktu SD, Ahadi Bintang bercita-cita untuk menjadi arsitek. Namun cita-citanya berubah ketika ia masuk jurusan ilmu sosial di SMA. Ahadi bercerita kalau semasa SMA ia mulai sering menggambar mural di jalan-jalan karena keinginan supaya karyanya bisa dilihat oleh masyarakat yang lebih luas semakin menggebu-gebu. Sejak itu, ia memutuskan untuk mengambil jurusan seni rupa ketika kuliah dan akhirnya pria kelahiran Jakarta ini berpindah ke Yogyakarta untuk mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI).
Ahadi mengaku kalau keluarga dan teman-temannya di Jakarta pada umumnya nggak mengetahui apa yang sebenarnya ia kerjakan di Yogyakarta. Sebagian besar yang mereka ketahui hanya sebatas ia kuliah di jurusan seni. Hanya segelintir orang yang tahu kegiatan dan proses berkesenian yang ia lakukan di sana.
Sampai sekarang, Ahadi nggak pernah mau memilih untuk berada di dalam genre atau style tertentu. Ia mencoba untuk fleksibel karena ia sedang dalam proses untuk membuat genre dan style-nya sendiri. Karya-karya seniman lokal seperti S. Teddy dan Heri Dono, serta seniman luar seperti Christo sangat menginspirasi Ahadi dalam berkarya.
Dalam membuat karya, biasanya Ahadi nggak merencanakan terlebih dahulu apa yang akan ia buat. Biasanya ia membaca atau mengobrol dengan orang lain dan itu bisa menjadi konsep karya yang ia buat. Atau bisa saja tiba-tiba ada ide lewat yang kemudian langsung ia catat. Menurut Ahadi, karya-karyanya belum berbicara tentang suatu hal yang spesifik. Hampir semua karyanya bersifat umum tentang persepsinya sendiri. Tapi, Ahadi menyampaikan kalau saat ini ia sedang memiliki ketertarikan dengan sejarah, khususnya tragedi G30S/PKI. Untuk media berkarya, Ahadi sedang mengeksplorasi bentuk idenya dengan media instalasi.
Ahadi sudah aktif berpameran dan memberikan workshop di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta sejak tahun 2010. Namun pameran yang cukup berkesan baginya adalah ketika ia mengikuti workshop dan pameran Jakarta32 yang diadakan oleh Ruang Rupa di Galeri Nasional bulan September 2012 lalu. Dari beberapa workshop yang diadakan di pameran itu, Ahadi mengikuti workshop “Citizen Tactics” yang diberikan oleh Irwan Ahmett, seorang urban intervetionist. Menurut Ahadi, Irwan Ahmett memiliki pandangan yang nggak mainstream tentang kesenian dan hasil karyanya juga nggak mainstream. Biasanya, Irwan bekerja di tengah-tengah masyarakat, merespon kondisi dan situasi yang terjadi di sana lalu didokumentasikan lagi melalui fotografi atau video. Meskipun karya-karya seperti ini belum diterima di galeri-galeri umum di Indonesia karena mungkin kurang komersil, namun buat Ahadi proses kreatif seperti itu bisa jadi pilihan berkesenian yang lain karena esensinya murni.
Ketika ditanya soal kopi, Ahadi menjawab dengan semangat kalau ia suka minum kopi, terutama kopi hitam. Setiap hari ia biasa meminum 2-3 cangkir kopi. Tapi kalau ada kegiatan tertentu, ia bisa minum 5-7 cangkir kopi per hari. “Hal yang paling saya suka adalah minum kopi dengan gula, bukan minum gula dengan kopi,” katanya.
Lihat karya-karya Ahadi lainnya di sini: ahahihohe.blogspot.com