Art

Tentang Perfeksionisme

perfeksionisme1

Menjadi seorang perupa bukan hanya soal skill atau prestasi, melainkan memiliki sebuah sikap yang merupakan refleksi cara berpikir dan memandang dunia, terutama memandang diri dan kekaryaan kita sendiri. Terlepas dari berbagai teknik dan media yang selalu kita bicarakan, gimana cara kita menyikapi perfeksionisme dengan benar? Apakah kamu juga pernah merasa karyamu selalu gagal dan gagal, padahal deadline-nya sudah dekat, atau bahkan besok? Saya pernah. Lama banget, malah.

Perfeksionisme telah membawa banyak orang melakukan pencapaian yang gilang-gemilang. Yang nggak banyak orang tahu, perfeksionisme yang sama telah mengubur mimpi orang dalam jumlah yang jauh lebih banyak lagi. Yang hancur karena perfeksionisme itu banyak, lho. Yang nggak berbuat apa-apa karena perfeksionisme juga banyak. Untuk “membedah” perfeksionisme, kita perlu “berjalan sedikit memutar”, so please bear with me. Seperti proses penciptaan alam semesta, kelahiran seorang manusia di dunia ini juga diliputi oleh keajaiban. Memangnya kelahiran bayi apa anehnya? Sebenarnya cukup aneh. Sekitar 300 juta sel sperma harus bersaing untuk membuahi sel telur dan hanya satu yang menang yaitu yang terbaik dari yang terbaik, yaitu kita. Di dunia ini nggak ada kompetisi seketat itu. Itu bisa dikatakan mustahil tapi dalam kasus pembuahan sel telur, kira-kira seperti itulah yang terjadi.

Jatuh cinta dengan seseorang yang belum pernah kita temui, apalagi kalau orangnya nggak ada di dunia ini, rasanya aneh. Namun bila kita sedang menantikan kelahiran anak sendiri, itu lazim terjadi. Kita sudah jatuh cinta pada anak kita jauh sebelum ia lahir ke dunia ini dan nggak sabar menanti kelahirannya. Barangkali nggak semua dari kalian pernah merasakan pengalaman sebagai orangtua tetapi saya harap itulah yang terjadi pada saat kita dikandung dan dilahirkan. Kita telah dicintai oleh kedua orangtua kita jauh sebelum kita ada. Proses kehamilan sampai kelahiran adalah proses yang amat canggih dan karena belum semua bisa dijelaskan secara ilmiah, kita bisa mengatakan proses ini sebuah keajaiban. Walaupun demikian, kita sudah terlalu terbiasa dengan berita kelahiran anak, bahkan di keluarga sendiri sehingga keajaiban itu kehilangan maknanya padahal itu semua luar biasa, bila saja kita mau meluangkan sedikit waktu untuk memikirkannya.

Dan coba lihat, saat sang Bayi lahir. Semua menyambutnya (sayangnya kadang-kadang itu nggak terjadi kalau sang Bayi kurang beruntung dan dibuang oleh orangtuanya). Semua orangtua pasti repot kalau punya bayi, dunia jungkir-balik, tapi mereka amat sayang pada bayinya. Senyum sedikit, orangtuanya gembira. Sakit sedikit, orangtuanya gundah-gulana. Seorang bayi yang belum bisa apa-apa, belum berprestasi apa-apa, merepotkan dan sebagainya, justru amat disayang oleh orangtuanya. Pada diri sang Bayi sendiri kejaiban terus terjadi, ia tumbuh menjadi bocah lalu menjadi remaja lalu dewasa dan perubahan pun mulai terjadi.

Nilai-nilai mulai berubah. Saat kita mulai besar besar sedikit, saat kita melakukan prestasi, kita dipuji. Saat kita melakukan kesalahan, kita dimarahi. Orangtua kita, dan barangkali kita sendiri yang sekarang sudah menjadi orangtua, lupa bahwa kita dulu adalah mahluk ajaib yang selalu dicintai, disayang dan dianggap berharga. Maka mulailah kita meniru cara pandang orangtua kita. Saat kita berprestasi, kita happy. Saat kita sedang jadi loser, kita hancur. Saat banyak uang, kita bangga. Saat nggak ada uang, kita murung dan mudah tersinggung, dan seterusnya dan seterusnya. Termasuk…

Saat karya kita bagus, kita happy dan bangga sekali. Saat karya kita jelek, kita bete. Saat melihat gambar teman lebih bagus daripada gambar kita, kita minder. Saat melihat gambar teman kita lebih jelek daripada gambar kita, kita mendengus meremehkan. Pola berpikir seperti ini menyebabkan polaritas yang saling bertentangan di dalam batin kita. Kita lupa bahwa kita adalah pertemuan sperma dan sel telur kedua orangtua kita, mahluk ajaib yang terus tumbuh dan berkembang. Sejatinya, apapun yang kita lakukan, baik atau buruk, bermoral maupun nggak, nilai diri (self worth) kita tetaplah sama. Siddhartha Gautama mengatakan, “Semua bentuk kehidupan itu suci.”

perfeksionisme

Jadi apapun juga yang kita lakukan, nilai diri kita tetap sama. Karya kita jelek, nilai diri kita sama. Karya kita bagus, nilai diri kita sama. Berprestasi atau jadi gembel, nilai diri kita tetap sama. Namun orang-orang tertentu, termasuk saya untuk waktu yang lama, nggak begitu. Sebelum dikritik orang lain, saya adalah kritikus paling kejam terhadap diri saya sendiri, terhadap karya-karya saya sendiri. Saat karya saya dipuji, hati saya melambung ke angkasa. Saat karya saya sekedar dikomentari, “Kok bagian pinggir situ kayaknya belum selesai, ya?” saya langsung marah, tersinggung dan bete seharian. Saya lupa bahwa nilai diri saya nggak pernah berubah.

Maka perfeksionisme bisa jadi sehat atau tidak, itu tergantung pada pikiran kita sendiri. Bila kita berpikir hitam-putih (kalau karya saya bagus berarti saya hebat, kalau karya saya jelek berarti saya payah), perfeksionisme akan sangat menyiksa, menguras tenaga dan membuat putus asa. Saya pernah lho, deadline sudah dekat sekali tapi karya yang saya buat rasanya hancur banget. Jelek banget! Terus saya ngapain? Ya, nggak ngapa-ngapain. Saya cuma kesel banget sampai nangis. Hehe… Terus, apa karyanya selesai? Nggak. Karya saya ya gitu aja, tetap hancur. Tapi nilai diri saya saat itu sebenarnya tetap sama. Saya cuma nggak sadar saja, saya lupa. Kita manusia ini hebat, lho. Kita bisa jadi apa saja yang kita mau tapi kita sering lupa pada nilai diri itu tadi.

Bila kita kecil hati melihat karya kita yang menurut kita belum cukup bagus, itu lebih sering disebabkan oleh masalah mental daripada masalah teknis. Kita harus selalu ingat, apapun yang terjadi pada diri kita, nilai diri kita tetap sama. Sebisa mungkin kita harus menyadari hal ini supaya kita bisa membuka jalan menuju pengembangan diri kita seoptimal mungkin dalam bidang apapun yang kita pilih. Dalam hal ini, bisa jadi itu adalah dengan menjalani kehidupan berkesenian. Walaupun nggak semua orang memilih menjadi perupa profesional, seni adalah milik semua orang dan semua orang itu nilai dirinya sama.

Bila kita meresapi wawasan ini, saya harap akan lebih mudah bagi kita untuk memiliki confident dan acceptance saat berkarya. Melihat karya teman lebih bagus? Ya, kalau iri wajar, dong. Itu tanda dorongan untuk maju dalam diri kita masih ada. Melihat karya sendiri masih jelek? Ya, kita butuh waktu dan jam terbang. Karena itu saya selalu menyarankan untuk selalu membuat gambar iseng-iseng setiap hari. Gambar iseng kan bikinnya gampang, nggak ada beban dan nggak ada deadline, tapi terus dilakukan setiap hari tanpa berhenti. Suatu saat, percayalah, pasti karya kita akan tambah bagus. Kalau masih belum bagus juga, mungkin pendekatannya yang salah, mungkin alat dan bahannya yang keliru. Faktornya banyak.

Jadi, perfeksionisme adalah normal karena sesuai dengan hukum alam. Diri kita secara alami memang ingin berkembang. Namun perfeksionisme yang diidap oleh mereka yang belum menyadari nilai dirinya, itu akan melukai diri sendiri. Perupa yang sudah menyadari nilai dirinya akan relatif lebih cool. Karyanya jelek? Cool. Karyanya bagus? Cool. Dikritik orang? Cool. Dipuja-puji setinggi langit? Cool. Dapat penghargaan seni? Cool. Diceraikan istri? Cool.. (sambil mewek sedikit). Kesal sedikit, kecewa sedikit boleh lah, semenit-dua menit. Kalau orangnya memang cool sih, nggak susah kok untuk maju terus, apapun yang terjadi. Lha, kalau deadline-nya besok gimana? Karyanya hancur banget, lho, ini. Sekarang jam 12 malam, deadline-nya besok jam 9 pagi. Tenang, tetap cool dan kirimkan saja apa adanya. Lain kali, buat satu karya pertama yang selesai dulu, baru buat variasinya yang lebih bagus. Atau bila kamu memang memiliki kuasa tertentu, mundurin deadline-nya! Hehe… Jadi, jangan takut karya jelek, jangan takut deadline, jangan takut gagal, jangan takut kritik. Tenang aja dan tetap cool. Nilai diri kita tetap sama, kok.

 

Ditulis oleh: RE Hartanto
Twitter: @rehartanto
Instagram: @rehartanto
Website: rehartanto.info

About author

Kopi yang Difermentasi

Apakah kamu termasuk orang yang merasa bahwa segelas kopi kental itu masih kurang nendang? Jangan sedih, para ilmuwan saat ini sudah berhasil membuat minuman beralkohol ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official