Revolusi Prancis tidak hanya menimbulkan banyak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Eropa Barat di abad ke-18, namun juga memberi ruang untuk berkembangnya aliran seni baru. Yang paling mengemuka mungkin adalah gerakan Romantisisme, sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual berkembang pada masa Revolusi Industri. Gerakan ini juga turut ambil bagian dalam sebuah revolusi dalam melawan asas kebangsawanan, sosial dan politik dari periode Pencerahan serta merupakan reaksi terhadap rasionalisasi terhadap alam, dalam seni dan sastra.
Romantisme bertahan cukup lama, mulai dari kemunculannya di tahun 1800 hingga kemudian memudar di tahun 1850-an.
Asal Mula Romantisisme
Romantisisme awalanya didefenisikan sebagai sebuah estetika dalam kritisme sastra di sekitar tahun 1800 dan kemudian menemukan momentumnya sebagai gerakan artistik di Prancis dan Inggris di awal abad ke-19 yang kemudian berkembang sampai kurang lebih selama 50 tahun. Dengan penekanan pada imajinasi dan emosi Romantisisme bangkit untuk melawan kekecewaan dari nilai-nilai abad Pencerahan dan akses dari Revolusi Prancis di tahun 1789.
Meskipun kerap mengambi sikap berseberangan dengan Neoklasikisme, gerakan Romatisisme awal justru dibentuk oleh barisan seniman yang berlatih di bawah naungan studio milik Jacques Louis David yang merupakan tokoh terkemuka Neo-Klasik, seperti Baron Antoine Jean Gros, Anne-Louis Girodet-Trioson, dan Jean Auguste Dominique Ingres.
Contoh buramnya batas gaya antara Neo-Klasik dan Romantisisme mungkin bisa dilihat dalam karya Ingres yang berjudul Apotheosis of Homer dan karya Eugène Delacroix, Death of Sardanapalus, yang membuat pengunjung Salon di Prancis di tahun 1927 menjadi terpolarisasi.
Konsep
Secara umum karakteristik Romantisisme adalah apresiasi yang mendalam dari keindahan alam, kegembiraan yang meluap-luap akan emosi dibandingkan akal budi, dan memilih perasaan ketimbang intelektual, kembali pada konsep diri, juga telaah akan kepribadian manusia serta keadaan jiwa dan potensialitas mentalnya.
Romantisisme juga memberi pandangan baru pada seniman yang dianggap sebagai kreator individual yang tinggi. Jiwa kreatif dianggap lebih penting dibandingkan pada keterikatan pada aturan formal atau prosedur yang tradisional.
Yang pasti Romantisisme tertarik pada kultur rakyat, asal usul kultural atas nasionalitas dan etnik pada abad pertengahan. Romantisisme juga memberi penekanan pada eksotisme, keterpencilan, kemisteriusan, okultisme, bahkan satanisme.
Gaya
Berbicara soal gaya, seni visual Romantisisme juga memiliki bentuk dan corak yang berbeda. Misalnya pelukis Romantisisme Prancis, Eugène Delacroix, dikenal berkat sapuan kuasnya yang bebas dan ekspresif dan penggunaan warna yang kaya dan sensual, komposisi yang dinamis serta subjek lukisan yang eksotik dan penuh petualangan, mulai dari orang Arab di Afrika Utara hingga revolusi di kampung halamannya. Paul Delaroche, Théodore Chassériau, dan kadang-kadang, J.-A.-D. Ingres, merupakan nama-nama di fase akademik Romantisisme di Prancis.
Sedang Romantisisme Jerman cenderung mengambil nada tambahan pada sisi simbolis dan alegori, seperti yang terlihat dalam karya-karya P.O. Runge.
Caspar David Friedrich, pelukis Romantisisme Jerman terbesar, menggambar lanskap yang terlihat sunyi dan dingin, sehingga menimbulkan kesan misterius dan keterpanaan religius bagi yang memandangnya.
Dengan diversitas aya dan jangakauan subjeknya, Romantisisme menentang pengkategorian yang sederhana. Jadi, sebenarnya agak sulit juga untuk membahas aliran ini secara sederhana. Namun, jika mengutip penyair dan kritikus Charles Baudelaire, maka Romantisisme itu adalah, “… precisely situated neither in choice of subject nor in exact truth, but in a way of feeling.”
Yang pasti, sebagai pergerakan yang sebenarnya merupakan produk keresahan akibat revolusi yang terjadi di Prancis, Romantisisme telah memberikan kita berbagai karya yang mengagumkan dan monumental, baik dari segi seni visual, sastra dan musik.
Penulis: Haris Fadli Pasaribu