Seperti yang kita ketahui, semakin lama semakin banyak orang yang semakin peduli dengan masalah kesehatan. Nggak heran, pusat kebugaranpun semakin mempunyai banyak anggota, dan makanan organik, meskipun mahal, semakin banyak diburu orang. Mengenai rasanya nggak terlalu penting, karena yang penting bagi mereka adalah kesehatan.
Ya, kesehatan memang mahal, karenanya apapun yang dibuat atas nama “sehat” dijamin banyak pembelinya, meskipun kadang harganya nggak masuk akal, saking mahalnya.
Hal yang sama juga terjadi pada industri kopi. Para peminum kopi mulai merasa perlu menjaga kesehatan mereka, seperti yang dibuktikan oleh sebuah riset yang diadakan oleh sejumlah ilmuwan yang tergabung dalam PLOS ONE, sebuah jurnal online, yang mengungkapkan taktik untuk menjual kopi dengan harga yang lebih tinggi.
Di beberapa eksperimen yang mereka lakukan, para ilmuwan yang mengadakan riset ini meminta para sukarelawan untuk meminum dan membandingkan kopi dari 2 cangkir yang berbeda. Mereka mengatakan kepada kelompok sukarelawan itu, bahwa salah satu dari kopi di cangkir itu adalah kopi yang dibuat dengan proses yang ramah lingkungan, yang artinya selama ditanam, kopi itu nggak menggunakan bahan kimia sama sekali dan benar-benar tumbuh dengan cara yang sehat dan alamiah. Padahal, kopi di kedua cangkir itu dibuat dengan menggunakan biji kopi Arabika yang sama, dengan proses yang sama. Para sukarelawan inipun “tertipu”. Mereka mengaku bahwa kopi yang “ramah lingkungan” rasanya lebih enak dari kopi di cangkir lainnya…
Para sukarelawan ini juga mengatakan bahwa mereka nggak keberatan untuk membayar lebih mahal untuk kopi yang “lebih enak dan ramah lingkungan” itu ketimbang kopi “biasa”. Sebaliknya, mereka nggak akan mau membayar jika kopi “biasa” dihargai dengan harga yang lebih mahal dari biasanya.
Menarik ya?
Jadi, siapa bilang nama dan “label” itu tidak penting? Sepertinya Juliet salah besar ketika mengatakan kepada Romeo bahwa setangkai mawar yang diberi nama apapun harumnya pun tetap seperti mawar. Mawar yang “ramah lingkungan” bisa jadi lebih harum dibanding mawar “biasa”.
Hal ini juga berlaku di dalam dunia seni. Seniman yang sudah punya nama biasanya karyanya akan lebih dicari orang ketimbang seniman yang “biasa”, padahal belum tentu karya si seniman besar itu lebih baik dibanding dengan si seniman “biasa”. Ini bukan lagi masalah selera, tapi masalah persepsi manusia ketika mendengar sebuah nama. Kesimpulan lainnya, secerdas apapun seseorang, bukan nggak mungkin dia akan mengubah pendapatnya ketika otaknya dicuci secara intensif.
Nama baik itu harganya lebih mahal dibanding nama yang biasa, apalagi nama yang pernah rusak. Setuju?
Sumber gambar: weheartit.com