Biasanya ada beberapa peraturan khusus yang harus dipatuhi jika kita mengunjungi sebuah museum. Jangan menyentuh, dilarang berbicara, tataplah dengan penuh perasaan, dan sebagainya. Tapi bukan yang begini yang diinginkan oleh galeri seni terkemuka, Tate, saat kita menyimak pameran mereka, setidaknya dalam program bernama Sensorium, sebuah pameran interaktif yang dikerjakan secara kolaboratif bersama dengan agensi kreatif asal London, Flying Object.
Di Sensorium, kita justru perlu untuk memakai pengecap, sentuhan, penglihatan dan suara untuk dapat menjadi bagian dari sebuah pengalaman yang mendalam dalam menikmati karya seni.
Pada umumnya barang seni yang dipamerkan diletakkan dalam ruangan dimana indra perasa kita ditekan dan tentunya mempengaruhi persepsi kita terhadap karya seni tersebut. Namun, menurut Tom Pursey, salah satu pendiri Flying Object, mereka malah ingin orang mengalami perasaan mereka sendiri, dan memikirkan apa yang sang seniman alami, dan kemudian menembus batasan normal dalam menikmati seni.
Sumber gambar: fastcodesign.com
Proyek Flying Object ini, Sensorium, memenangkan IK Prize, sebuah anugerah untuk proyek eksperimental yang menggunakan teknologi untuk mendorong munculnya cara baru dalam menemukan barisan koleksi milik Tate. Mereka bekerja dengan kurator Tate untuk memilih 4 lukisan abstrak dan menggugah dan menyusun sebuah pengalaman berdasarkannya.
Prinsipnya mirip saat kita melihat makanan. Tidak hanya melihat makanan tersebut secara fisik, tapi kita juga kemudian membayangkan betapa nikmatnya makanan tersebut atau aromanya. Jadi prinsip yang sama coba diterapkan saat menikmati karya visual. Tantangannya adalah bisakah kita mengubah pandangan akan karya seni tersebut melalui rasa?
Sumber gambar: theguardian.com
Sebagai contoh adalah lukisan berjudul Full Stop (1961) karya John Latham. Dengan tinggi sepanjang 10 kaki, di tengahnya terdapat lingkaran hitam yang dikerjakan sang seniman dengan secara berulang menyemprotkan cat akrilik. Flying Object kemudian menyandingkan lukisan tersebut dengan mesin Ultrahaptik, sebuah alat yang menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan sensasi peraba. Dalam kasus ini adalah tetesan air hujan di tangan kita. Disinkronisasi dengan headphone yang memainkan suara hujan, sehingga kita memiliki sekaligus tiga perasaan yang mengirim informasi ke otak. Kita akan membentuk reaksi berdasarkan atas perpaduan antara aural, haptik dan input visual.
Sumber gambar: fastcodesign.com
Contoh berikutnya adalah lukisan abstrak berjudul Figure in a Landscape (1945) karya Francis Bacon. Sebagai karya yang datang dari masa perang, lukisan ini memang terlihat agak suram dan kurang menyenangkan. Tapi ahli cokelat, Paul Young, bahkan mengkreasikan sebuah permen spesial yang meniru perasaan dari lukisannya. Rasanya seperti mengecap tanah. Terasa seperti pahit dan berasap. Jadi rasa bermain penting dalam menikmati lukisannya. Oleh karenanya, mitra dalam menikmati lukisan ini hadir dalam objek yang bisa dimakan. Tidak hanya rasa cokelat, tapi ada juga audio yang menyertai, berupa rekaman suara binaural yang didapat Nick Ryan, seorang ahli audio, di Hyde Park. Saat dimainkan otak akan memposisikan suara ini dalam ruang 3-D, membuat kita seolah-olah berada di Hyde Park, dan mengalami akustik seperti yang ingin digambarkan Bacon dalam lukisannya.
Sumber gambar: london.lecool.com
Pengunjung akan memakai gelang tangan khusus saat memasuki Sensorium. Diproduksi oleh Empatica, gelang ini akan mengukur aktivitas elektrodermal tubuh untuk mengkuantifikasi respon emosi terhadap karya seninya, dan terutama untuk mengukur bagaimana instalasi ini membuat kita berkeringat. Di akhir, pengunjung akan mendapatkan rekomendasi tentang karya lain di Tate yang mirip dengan lukisan yang mendapatkan reaksi paling kuat dari mereka.
Tujuan dari pameran instalasi seni adalah untuk mengingatkan orang-orang jika karya seni tidak hanya bersifat intelektual, namun juga kenikmatan estetis. Yang paling penting adalah juga untuk mengingatkan orang bahwa respon diri mereka sendiri adalah penting.
Sensorium berlangsung dari 26 Agustus hingga 20 September 2015 dan bisa dikunjungi gratis.
Penulis: Haris Fadli Pasaribu