Art

Menghidupkan Dongeng melalui Paper Sculpture

Kalo kemarin Kopling ngebahas soal Li Hongbo yang ngebuat patung dari kertas, hari ini Kopling mau cerita tentang Su Blackwell yang ngebuat “patung” dari buku. Masih kertas juga nih urusannya.

Su yang berasal dan tinggal di London ini, sama seperti Hongbo, juga pencinta kertas. Dan dia juga suka baca buku. Nah, untuk keperluan karya-karyanya ini, Su rajin banget ke toko-toko buku bekas. Buku-buku itu nggak langsung “dikaryakan”, tapi dibaca dulu, kadang sampai dua kali sampai dia ngerti bener apa isi ceritanya, dan apa yang mau dia buat dari cerita di buku itu. Setelah itu, baru dia mulai menggunting gambar-gambarnya, melipat, dan membentuk.

Karya-karya Su kebanyakan diangkat dari buku-buku cerita dongeng klasik dan legenda-legenda, dan tokohnya biasanya seorang gadis kecil yang sedang ketakutan. Su ingin mengekspresikan kerapuhan masa anak-anak sekaligus mewujudkan imajinasi anak-anak kecil.

Buku-buku cerita yang tadinya hanya sekedar imajinasi dan bentuknya hanya 2 dimensi, di tangan Su menjadi nyata dan berbentuk 3 dimensi. Karya-karya Su setelah jadi dimasukkan ke dalam kotak kaca dan diberi ornamen-ornamen tambahan supaya kelihatan lebih menarik. Jadi seperti mirip diorama gitu deh. Kamu pernah ke Monas? Nah, kalo di Monas itu ada diorama-diorama sejarah perjuangan, kurang lebih bentuk karya Su juga mirip seperti itu — cuma beda cerita dan karya Su terbuat dari buku.

“Kertas sudah digunakan sebagai alat komunikasi sejak ditemukan, baik antar manusia mau pun dengan dunia spiritual. Aku menggunakan media yang rapuh ini untuk merefleksikan dunia yang kita huni, dan juga menggambarkan betapa fananya kehidupan, impian-impian, dan ambisi-ambisi manusia,” tukas Su.

Sebenarnya, karya-karya Su ini bukan hal baru, menurut Kopling. Hanya bedanya, buku-buku pop-up yang sudah lama ada dan sudah sering kita liat itu benar-benar dibuat pop-up dari awal, dan dibuat di percetakan atau pabrik. Sementara karya Su ini dibuat dari buku-buku bekas dan hasil kerajinan tangan. Tapi Su ini memang seorang seniman lulusan Royal College of Art jurusan tekstil yang udah pernah bereksperimen dengan materi yang berbeda-beda dalam pembuatan benda seni, seperti kain, misalnya. Dan Su juga pernah traveling sampai ke Laos. Dia sangat tertarik pada kehidupan setelah kematian dan pada kenyataan bahwa di dunia ini nggak ada yang abadi, sampai akhirnya dia memutuskan untuk memakai kertas sebagai medianya untuk berekspresi.

Buku pop-up pertama yang ada di dunia itu dibuat oleh Ernest Nister dan Lothar Meggendorfer dan sangat terkenal di Jerman dan Inggris pada Abad 19. Baru pada tahun 1929 buku pop-up ini dilirik oleh penerbit dan diproduksi Louis Giraud dan Theodore Brown.

Salah satu buku pop-up yang paling banyak mencuri perhatian adalah “STAR WARS: A Pop-Up Guide to the Galaxy” karya Matthew Reihnart. Buku ini sampai menuai pujian dari The New York Times ketika itu dan bahkan Presiden Amerika Barack Obama aja sampe beli bukunya. Hehehe… Karya-karya Andy Warhol juga pernah dibukukan dalam bentuk pop-up di tahun 1967. Di awal-awal terbitnya, buku-buku pop-up juga sebenarnya dibuat untuk konsumsi orang dewasa, dan bukan untuk anak-anak. Memang nggak semua hal bisa diterangkan dan dijelaskan dengan kata-kata kan?

Tapi tetap saja, menurut Kopling karya Su ini keren karena Su berhasil membuat benda yang tadinya udah “dibuang” jadi kembali berharga dan punya daya jual. Iya, Su ini menjual karya-karyanya lho, dan harganya juga nggak murah. Satu karyanya biasa dia jual seharga £5,000. Mahal banget ya?

Jadi, sebenarnya nggak ada barang bekas yang benar-benar nggak berguna. Apa pun bendanya, pasti bisa kita daur ulang dan menjadi sesuatu yang berbeda. Coba lihat di sampingmu sekarang. Apa yang kamu lihat di sana?

About author

Muhammad Sabil

Aku percaya, seni rupa bisa membawa perubahan ke masyarakat. Muhammad Sabil, yang biasanya dipanggil Sabilwaso, adalah mahasiswa jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Dari SMA, ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official