Sebelum budaya Korea merambah dunia, budaya Cina dan Jepang sudah lebih dulu melakukannya. Ada sebuah aliran dalam seni yang disebut “japonisme”, yang nggak lain adalah aliran seni yang berkiblat ke Negara Matahari Terbit tersebut.
Setelah pelabuhan-pelabuhan di Jepang dibuka kembali untuk berniaga dengan dunia barat di tahun 1853, ada gelombang besar impor besar-besaran yang membanjiri Eropa. Pada tahun 1872, istilah “japonisme” ini mulai dikenal, saat memberi pengaruh besar pada budaya Eropa – terutama pada aliran yang sudah lebih dulu ada: impresionisme.
Berawal dari kehadiran benda-benda keramik asal Jepang yang diimpor dari Arita, rupanya keindahannya begitu memesona orang-orang Perancis ketika itu. Mereka mulai mengoleksi benda-benda seni asal Jepang, terutama ukiyo-e. Di tahun 1856, seorang seniman Perancis, Felix Bracquemond, tanpa sengaja menemukan sebuah buku sketsa “Hokusai Manga” di tempat kerjanya. Tak lama setelah itu, karya Hiroshige, Utamaro, Hokusai juga sampai ke Eropa dan memberi pengaruh pada poster-poster karya Henri de Toulouse-Lautrec, juga Van Gogh. Nggak hanya dalam seni lukis, japonisme ini juga masuk ke dalam seni sastra. Pierre Loti mempublikasikan novelnya “Madame Chrysanthème” di tahun 1887, yang menceritakan kisah percintaan seorang tentara yang menikahi seorang geisha ketika dirinya ditempatkan di Nagasaki. Kisah ini kemudian menginspirasi Giacomo Puccini untuk menuliskan “Madame Butterfly”.
Lukisan Van Gogh yang terpengaruh aliran Japonisme (sumber: wikimedia.org)
Seperti yang disebutkan tadi, salah satu seniman yang terpengaruh oleh aliran ini adalah Van Gogh. Dalam lukisan “Le Père Tanguy” dan “La Courtisane”, misalnya. Seniman lainnya yang terpengaruh oleh budaya Jepang ini antara lain adalah Édouard Manet, Claude Monet, Edgar Degas, Auguste Renoir, Camille Pissarro, dan Paul Gauguin.
Lukisan Monet yang terpengaruh aliran Japonisme (sumber: wikimedia.org)
Selain lukisan yang berjudul “Madame Monet in a Japanese Costume” di atas yang dibuat pada tahun 1875 dan saat ini berada di Museum of Fine Arts di Boston, Monet juga membuat lukisan yang berjudul “Apple Trees is Blossom”, “The Church and the Seine at Vethuil” yang semuanya sangat bernuansa Jepang. Monet bahkan mendesain tamannya sendiri di Giverny dengan gaya Jepang, dan di taman ini dirinya banyak membuat lukisan pemandangan, antara lain “Water Lily Pond” dan “The Japanese Bridge”.
“Water Lily Pond” karya Monet (sumber: monetalia.com)
Mary Cassat pernah membuat sebuah lukisan yang berjudul “Maternal Cares” di tahun 1891. Lukisan ini adalah hasil inspirasinya ketika melihat karya seni di Paris pada tahun 1890.
“Maternal Cares” karya Mary Cassat (sumber: hokusaionline.co.uk)
Perhatikan lukisan “Dancers in the Rehearsal Room with a Double Bass” karya Degas di bawah ini. Lukisan ini terkena pengaruh sketsa manga yang kemudian diadaptasinya.
“Dancers in the Rehearsal Room with a Double Bass” karya Degas (sumber: hokusainonline.co.uk)
Tak hanya di Eropa, japonisme ini juga memberi pengaruh kepada para seniman Amerika. Whistler pernah membuat sebuah lukisan yang berjudul “The Princess from the Land of Porcelain” di tahun 1865. Dirinya juga lalu memperkenalan aliran ini kepada Dante Gabriel Rossetti.
“The Princess from the Land of Porcelain” (sumber: wikimedia.org)
Budaya memang alat yang ampuh untuk memberi pengaruh kepada budaya asing, seperti juga yang dilakukan oleh Korea saat ini. Ketika kemudian dunia sudah jatuh cinta kepada budaya yang diperkenalkan, produk lainnya akan lebih mudah masuk. Tapi tentunya kita harus lebih dulu jatuh cinta kepada budaya sendiri sebelum orang lain bisa mencintainya, bukan?
Jadi, Indonesia, kapan kita bisa memberi pengaruh sebesar ini kepada dunia?