Tanggal 2 Desember kemarin Kopling sempat mampir ke artist talk yang diadakan oleh Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) dalam rangka pameran ICAD 2016: Seven Scenes. Pameran ini menampilan proyek kolaboratif tujuh orang kreatif lintas generasi dengan berbagai latar belakang, yaitu Agung Kurniawan, Budi Pradono, Eko Nugroho, Hermawan Tanzil, Oscar Lawalata, Tita Salina, dan Tromarama dan berlangsung dari tanggal 7 Oktober sampai 7 Desember 2016.
Ada delapan pembicara di talk show yang Kopling hadiri, yaitu Oscar Lawalata, Budi Pradono, Hari Purwanto, Hermawan Tanzil, Ika Vantiani, Natasha Tontey, Tita Salina, Felicia Budi, dan Irawan Karseno, di mana mereka berbagi tentang proses berkarya dan inspirasinya.
Oscar Lawalata, misalnya, menuangkan isi pikirannya tentang dunia fashion ke dalam sebuah karya berbentuk kotak hitam besar yang dilapisi oleh berbagai jenis kain dan berbentuk menyerupai Ka’bah. Ia mengawali kariernya sebagai fashion designer karena keinginannya mengulik dan mempopulerkan kain tradisional Indonesia. Bertahun-tahun berkecimpung di dunia fashion, ia menyadari bahwa seorang pengkarya sudah selayaknya memberikan sumbangsih kepada publik dalam bentuk karya yang berbicara tentang apa yang ia inginkan. Baginya, kotak hitam itu menjadi semacam meditasi untuk diri sendiri tentang bagaimana ia (dan mengajak kita semua) untuk melihat kembali sumbangsih apa yang sudah kita berikan di bidang yang kita geluti, bukan hanya memikirkan sisi popularitas dan mencari celah dari kondisi yang terjadi di masyarakat saja.
Sementara itu, Felicia Budi, fashion designer yang terlibat di fringe exhibition What U See Is Not What U Get (WUSINWUG), yang juga bagian dari ICAD 2016: Seven Scenes, mengangkat tentang filosofi pakaian. Selama ini, jika seorang perempuan mengenakan kain maka ia akan berperilaku sesuai pakaiannya: gaya jalan menjadi lebih anggun dibandingkan saat ia mengenakan celana. Felicia mempertanyakan apakah selama ini kita yang memilih pakaian untuk beraktivitas sesuai dengan yang kita inginkan, atau pakaian yang mengatur apa yang akan kita lakukan?
Arsitek Budi Pradono menaruh perhatian terhadap tren pemadatan kota yang terjadi di ibukota. Melalui karyanya, ia memberikan gambaran imajinasi rumah susun masa depan yang ia sebut dengan “Kampung Vertikal” berbentuk piramid terbalik tanpa menghilangkan kentalnya unsur budaya kampung di mana warga tetap dapat berinteraksi satu sama lain melalui ruang terbuka di lantai paling bawah. “Kecepatan pemadatan kota membuat orang tidak sempat melakukan riset dengan baik. Apartemen dan rumah susun tidak ada ruang terbuka dan membuat kita seperti tinggal di dalam rumah burung,” ujarnya. Hal serupa mengenai tren pemadatan kota juga dirasakan oleh Tita Salina. Melalui pendekatan yang berbeda, Tita membuat karya berjudul “The Missing Horizon” sebagai kritik akan banyaknya pembangunan gedung yang menghilangkan kesadaran kita akan garis cakrawala. “Padahal, ada pepatah yang bilang untuk meningkatkan kecerdasan kita harus lebarkan wawasan seluas garis cakrawala,” kata Tita. The Missing Horizon menampilkan garis cakrawala buatan lewat sebuah alat yang bisa mengeluarkan sinar laser berwarna merah.
Isu kebudayaan lokal juga menjadi topik hangat para pelaku kreatif lainnya. Artistic Director ICAD 2016 Hari Purwanto, yang juga bekerja di perusahaan interior, mempertanyakan identifikasi diri yang nggak hanya menciptakan estetika dan keharmonisan, tapi juga mengulik budaya lokal. “Apakah kita akan terus berkiblat ke negara Barat, atau mulai mengulik ke dalam dan menciptakan hal baru dengan pijakan-pijakan masa lalu?” renungnya. Penggagas Leboye dan Dialogue Artspace, Hermawan Tanzil, juga berupaya untuk mengulik lebih dalam mengenai wilayah tempat ia tinggal dan bekerja melalui proyek “Kemang RT/RW”, sebuah dialog dari Kemang, untuk Kemang, dan oleh Kemang. Kemang RT/RW mendokumentasikan Kemang dari dulu hingga sekarang yang direalisasikan ke dalam sebuah lembaran panjang buku tentang Kemang dari masa ke masa dan di mata orang-orang yang tinggal maupun bekerja di wilayah ini.
Ika Vantiani, seniman kolase yang banyak menyuarakan tentang women empowerment, memaparkan proyek yang ia buat setahun belakangan ini: Kata untuk Perempuan. Seperti judulnya, tujuan proyek ini adalah pendokumentasian kata untuk perempuan melalui lokakarya kolase. Ia menggunakan materi dari majalah perempuan tahun 50an hingga sekarang untuk memberikan gambaran tentang perempuan yang dipaparkan oleh media-media lokal. Selama setahun diadakan, ia mendapatkan banyak cerita-cerita menarik dari peserta lokakarya, dan banyak dari mereka yang bisa mengeluarkan pengalaman pahitnya melalui lokakarya ini. Ika mengaku menarik sekali bagaimana sebuah kata bisa bermakna ganda tergantung dari korelasi seseorang akan kata tersebut.
Memiliki latar belakang desain grafis, Natasha Tontey banyak mengaplikasikan ilmunya untuk metode berpikirnya dalam berkesenian. Semua karya-karyanya merupakan gabungan dari hal-hal yang ia suka, yaitu segala sesuatu yang bertema ketakutan, teror, mimpi. Little Shop of Horror, adalah salah satu proyeknya saat ia residensi di Jepang. Ia mencari tahu ketakutan dan cerita-cerita horor yang ada di Jepang kemudian membuka toko berisi ketakutan tersebut. Ia juga membuat proyek Angkot Alien yang merupakan hasil kolaborasi dengan seniman Australia, dan yang terakhir adalah proyek Crazy Cosmic Conspirasy di mana Natasha mengumpulkan hasil mimpi dan ramalan tentang dirinya sendiri. Acara talk show ditutup oleh presentasi dari ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Irawan Karseno yang memaparkan rencana kerja DKJ untuk beberapa tahun mendatang.
Menarik sekali mengetahui pandangan orang-orang kreatif terhadap skenanya masing-masing dan upaya yang mereka lakukan untuk memberikan kontribusi positif terhadap publik. Kopling berharap mudah-mudahan semakin banyak orang yang berkarya dengan mengulik lebih dalam kekayaan yang kita miliki, bukan hanya sekadar mengadopsi budaya luar saja.