Fotorealisme memiliki tempat yang unik di seni kontemporer. Aliran melukis yang bergaya virtuoso ini dirasakan tidak cocok lagi di era digital di mana reproduksi fotografi dapat dilakukan dengan mudah dan gampang. Tapi konflik inilah yang tepatnya membuat ia menjadi penting. Memanfaatkan presisi yang ekstrim untuk membentuk sebuah gambar yang juga secara ekstrim realistis mengizinkan para senimannya untuk mengeksplorasi konvensi dan asumsi dari lukisan dan fotografi secara bersamaan – merayakan sekaligus mengacaukan dua medium yang menjalin satu.
Gerakan fotorealisme, yang mulai menonjol di Amerika di periode 1960-an dan 1970-an, memiliki hubungan bermasalah yang panjang dengan dunia seni. Para penggiat awalnya mengeksplorasi media masa bersamaan dengan gerakan Pop art, tapi secara radikal memiliki sikap yang berbeda. Gayanya bertabrakan dengan baik dengan abstraksi gestural dan geometris, dan juga dengan minimalisme. Secara umum salah dimengerti, fotorealisme secara salah dianggap sebagai trompe l’oeil dan kerap dianggap saudara yang mubazir dari fotografi itu sendiri. Para inovator fotorealis awal seperti Richard Estes, Carolyn Brady, dan Chuck Close mengembangkan teknik yang tetap penting hingga sekarang, utamanya dalam wacana pergerakan tren seni dan pengembangan fotografi di tengah kemudahan oleh kamera ponsel.
Sejak terminologi fotorealisme ini ditasbihkan di tahun 1969, ahli galeri Louis K. Meisel menjadi pendukung utamanya, yang dapat dibuktikan dengan isi galeri SoHonya dan juga Bernarducci. Meisel Gallery, di 57th Street yang dijalankan Meisel bersama dengan Frank Bernarducci. Kedua galeri ini menampilkan karya-karya baik dari para maestro fotorealisme mapun para pemula.
Aspek yang paling mencolok dari fotorealisme di abad 21 mungkin adalah paralelisme dengan kemampuan tanpa batas dari teknologi digital yang mampu memadukan antara fantasi dengan kenyataan. Seniman Yunani Paul Caranicas, contohnya, yang menggambarkan lanskap realistik dengan peristiwa yang sifatnya halusinatori, seperti rumah yang terjatuh dari langit. Hubert de Lartigue dan Hilo Chen mengembangkan lukisan-lukisan menggiurkan yang menampilkan perempuan baik yang telanjang bulat ataupun nyaris telanjang, yang memancarkan fantasi seksual dalam setiap detilnya, sebagaimana yang terlihat dalam karya yang berjudul Beach 169 karya Chen, dengan obsesinya pada bulir-bulir keringat yang terdapat di kulit yang telanjang. Sharon Moody menggiring fantasi ke arah lain, menampilkan komik-komik usang seperti Siegel and Shuster’s Action Comics #1, June 1938 (2014), untuk memainkan ide tentang fantasi superhero dan juga idealisasi dari koleksi majalah yang langka dan mahal.
Untuk beberapa seniman, fotorealisme telah menjadi cara untuk mengeksplorasi gambar-gambar ikonik yang mungkin terlewatkan atau terindahkan. Robert Gniewek mendokumentasi foto-foto polisi para terdakwa pembunuh, seperti Khalid Sheikh Mohammed dan James Holmes, dilukis dengan palet ala grisaille, mendorong yang melihat karyanya sebagai refleksi atas gambaran akan tragedi, banalitas dan juga horor. Pelukis Italia, Ester Curino, menggambarkan hewan yang diisolasi dengan latar berwarna putih, menangkap kepribadian mereka yang kompleks dalam cara yang sama sebagaimana manusia pemiliknya, dan menggemakan ketertarikan internet kontemporer akan hewan peliharaan ataupun hewan secara umum.
Mereka dan juga para seniman lain – dengan penggambaran mereka akan mobil yang gemerlapan, lanskap yang subur, sosok erotis, payudara yang kontemplatif dan sebagainya – memperlihatkan jika ketrampilan mereka masih dapat mengungkap ide yang mana fotografi, ekpresionisme dan abstrak tidak bisa lakukan. Tempat fotorealisme telah menjadi lebih kompleks dalam rentang 50 tahun sejarahnya, akan tetapi itu juga berarti bahwa fotorealisme menjadi lebih responsif dan penting untuk seni kontemporer.
Sumber gambar: atsy.net
Penulis: Haris Fadli Pasaribu