Art

A Glimpse of UWRF 2012 pt.1

Oktober adalah bulan yang spesial bagi mereka pencinta buku, karena di bulan ini para penulis dan pembaca dari seluruh dunia berkumpul di Ubud, Bali dalam rangka Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Acara UWRF sendiri sebenarnya sudah diadakan sejak tahun 2004 lalu, dan acaranya yang paling baru di tahun 2012 baru saja selesai dari tanggal 3-7 Oktober kemarin.

Sekilas tentang UWRF, acara ini dibentuk sebagai respon atas bom Bali tahun 2002 untuk menciptakan ruang dialog supaya Bali kembali damai seperti sebelumnya. Sejak itu acara ini rutin diadakan setiap tahun. UWRF 2012 mengambil tema “Bumi Manusia” atau “This Earth of Mankind” dari buku karya penulis besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer, yang karyanya bisa kita nikmati selama 4 hari festival berlangsung dari tanggal 4-7 Oktober dalam satu sesi berjudul “In Praise of Pram”.

Meskipun nggak sempat datang dari pembukaan hingga penutup, tapi saya sangat menikmati setiap sesi yang berhasil saya tonton, walaupun jumlahnya cuma sebagian kecil dari keseluruhan acara. Sekarang saya mau bahas sesi-sesi yang saya kunjungin di hari Jumat, hari pertama saya mendarat di Ubud!

Why Story Matters

Ini adalah sesi pertama yang saya datangi begitu menginjakkan kaki di Ubud (setelah check-in hotel dulu tentunya). Sesi ini diisi oleh empat penulis, yaitu Colin Falconer dari Australia, Kathryn Heyman dari Australia, Olyrinson dari Indonesia, dan Anuradha Roy dari India, serta dipimpin oleh moderator Phillip Gwynne yang juga seorang penulis dari Australia.

Sesi ini sebenarnya cukup seru, ngobrolin tentang peran cerita fiksi dalam kehidupan kita dan bagaimana cerita memberikan konteks ke kehidupan dan memperkuat pemahaman kita akan sesuatu. Sayangnya, di tengah-tengah sesi topik pembicaraan mulai melenceng ke arah bagaimana teknologi saat ini memengaruhi kehidupan kita. Perdebatan antar penulis pun dimulai. Ada yang berpendapat kalau teknologi membuat seseorang jadi malas berkarya (dalam hal ini menulis), sementara ada yang berpendapat kalau teknologi justru membantu menambah pengetahuan dengan lebih cepat.

A Prejudicial Enquiry


Ini adalah sesi kedua yang saya datangi hari itu. Sesi ini diisi oleh lima penulis, yaitu Louise Doughty dari Inggris, Josef Haslinger dari Austria, Neal Hall dari Amerika, Benazir Nafilah dari Indonesia, dan Mini Nair dari India, serta dipimpin oleh moderator Ruby J Murray, seorang penulis dari Australia.

Topik di sesi ini seru banget, ngebahas soal prejudis  yang banyak terjadi di mana-mana: rasisme, seksis, keagamaan. Para penulis masing-masing ngebahas situasi yang terjadi di negeri mereka, misalnya orang kulit hitam yang selalu didiskriminasi, lalu tentang agama Kristen dan Muslim yang juga sering konflik. Sayangnya, ketika pertanyaan dilemparkan kepada penulis Indonesia, jawaban yang dikeluarkan terkesan mencari ‘aman’ dan kurang menggambarkan yang terjadi secara umum.

Teater Satu Lampung Performance

Acara terakhir di hari Jumat yang saya datangi adalah pertunjukan seni dari Teater Satu Lampung. Teater ini pernah mendapat penghargaan sebagai teater terbaik versi majalah TEMPO. Wow! Keren banget dong yah. Di UWRF 2012, Teater Satu Lampung membawakan pertunjukan “Kisah-kisah Yang Mengingatkan”. Awalnya saya mengira cerita ini temanya semacam cerita Mwathirika dari Papermoon Puppet Theatre yang menceritakan tentang sejarah kelam yang sulit dilupakan. Tapi ternyata sama sekali berbeda dan lebih sederhana, yaitu tentang seseorang yang merasa hampa setelah ditinggalkan orang yang ia sayang, namun dibawakan dengan gaya penceritaan yang sangat kompleks.

Jujur kalau menurut saya, pertunjukan Teater Satu Lampung ini keren banget tapi nggak biasa. Maksudnya bukan pertunjukan yang bisa dinikmati begitu saja tanpa harus dicerna, soalnya sepertinya banyak gerakan-gerakan dan properti yang memiliki arti-arti tertentu. Sampai sekarang pun saya masih belum bisa mengerti semua maksud dari gerakan dan properti yang dipakai. Kayaknya harus nonton berulang kali sih… Jadi, ada yang mau membawa mereka ke Jakarta mungkin? Hehehe…

Karena waktu hari Jumat saya sampai di Ubud siang menjelang sore, jadi saya hanya bisa menyambangi tiga sesi. Sebenarnya di antara sesi “A Prejudicial Enquiry” dan “Teater Satu Lampung Performance” ada satu sesi yang isinya pemutaran film “The War You Don’t See” karya jurnalis pemenang penghargaan John Pilger. Namun, karena waktu tiba di tempat pemutaran film sudah penuh sesak dan rasanya kurang nyaman untuk menonton, jadi saya memilih untuk makan Naughty’s Nuri! *ngeekkk…melenceng*

Sekian laporan UWRF 2012 hari Jumat, nanti saya mau laporan yang hari Sabtu. Ada sesi favorit saya di hari ini!

PS: sayang selama sesi berlangsung nggak boleh foto-foto, jadi nggak ada dokumentasi deh.

 

Artikel oleh: @Patipatigulipat

About author

Ode untuk seluloid

Sinema awalnya hadir sebagai ilmu pengetahuan, sebagai bagian dari ambisi para ilmuwan untuk mencatat gerak. Waktu itu, jelang akhir abad 19, peradaban manusia telah menemukan ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official