Galau Rantau, 2014
Andreas Adi Prawidana
Indian ink, water colors, drawing pen dan marker di atas kertas (Canson 200 gsm, 21 cm x 30 cm)
Karya ini adalah respon dari pemahaman sebagian orang terhadap kesuksesan. “Kalau mau sukses, datang ke Jakarta”. Salah kaprah yang diangkat dalam karya ini adalah melunturnya kepekaan orang-orang yang tinggal di daerah terhadap pilihan-pilihan atau kesempatan-kesempatan yang ada dekat di sekitar mereka, yang sebenarnya bisa ditempuh untuk menuju kesuksesan itu sendiri. Tidak hanya karena iming-iming dan ikut-ikutan orang lain atau karena kurangnya rasa percaya diri untuk berani berproses di daerah. Melalui karya ini ingin mengingatkan kembali orang akan hal tersebut.
Situ Keliru, 2014
Annisa Ferani
Cat akrilik dan pen di atas kanvas 30 cm x 40 cm
Situ, diambil dari sinonim kata “kolam”, dan Keliru dari kata “salah”, diibaratkan sebagai ‘akuarium’ tempat di mana berbagai momen-momen salah kaprah dapat ditemukan. Situasi yang digambarkan adalah ketika nonton konser. Anak muda jaman sekarang kalo nonton konser banyak yang sebenernya ga dengerin artis nya, atau bahkan ga tau. Banyak juga yang bertingkah aneh semata-mata cuma karna pingin ikutan ‘gaul’. Ambigu, pengartian Situ Keliru dapat menjadi dua; arti yang sebenarnya atau seakan menuding, lo salah.
Glamour, 2014
Aufa Aqil Ghani
Pen and watercolour, 29.7 cm x 21 cm
Banyak anggota masyarakat sekarang menganggap bahwa budaya jalan-jalan berarti pergi ke tempat mewah dan serba gemerlap, menjadikan tempat-tempat seperti taman kota dan museum terbengkalai dan rapuh.
Aku memilih membahas tentang ini karena ini adalah salah satu kesalah kaprahan yang sering sekali aku rasakan dalam bermain dengan teman temanku. Dan hal ini sudah menjadi hal yang sangat wajar dimasyarakat, dan ingin menyentil sedikit masyarakat, bahwa diluar sana untuk jalan jalan masih banyak tempat lain selain tempat tempat glamour tersebut yang lebih memiliki pengaruh positif untuk kita.
Not All that Glitters is Gold, 2014
Dessy Safira
Acrylic pain and gold leaf on wood, 42cm x 42cm
Citra diri seseorang dapat ditampilkan dalam berbagai bentuk, salah satunya pada sosial media. Seseorang dapat menciptakan identitas baru pada sosial media. Persona, yang berasal dari bahasa latin yang berarti ‘topeng’, seringkali diasosiasikan sebagai sebuah imej yang diciptakan oleh seseorang sebagai identitas buatan yang ‘diperankan’ untuk tujuan tertentu. Dalam sosial media, banyak ditemukan individu-individu dengan internet persona. Menggunakan ‘topeng’ kepribadian yang menyembunyikan identitas asli dibalik layar. Tidak jarang pula citra ini diciptakan untuk mendekati seseorang dengan persona yang baik tetapi kenyataannya ia memiliki niat yang buruk, menimbulkan salah kaprah antara identitas ‘asli’ dan yang ‘palsu’ pada sosial media.
“Mulutmu Harimaumu” & “Di Dunia Maya, (Si)apapun bisa jadi (si)apa saja.”, 2014
Diani Apsari
Watercolor on Paper, 17 cm x 22 cm
Di dunia maya, identitas seseorang menjadi bias, tapi bukan berarti kesantunan harus dilupakan. Sebetulnya etika berbicara sudah sejak dulu diajarkan melalui peribahasa “Mulutmu, Harimaumu”.
“The Fauxcialites Series”, 2014
Doddy Iswahyudi
Ink and watercolor on paper 15 cm x 21 cm (3 pieces)
Kekeliruan pemahaman terhadap istilah sosialita, menjadikannya mengalami pergeseran pemaknaan. Padahal jika kita mau meluangkan waktu, terdapat sumber bacaan yang melimpah ruah tentang definisi sosialita.
Istilah sosialita berasal dan disadur dari kata “Socialite”, yang merupakan gabungan dari kata “Social” dan “Elite”. Dalam pemaknaan istilah “sosialita”, sebetulnya ada terma “sosial” yang dipahami sebagai aktivitas yang berkaitan dengan interaksi sosial kemasyarakatan tidak hanya yang bersifat selebrasi, pesta-pesta, atau acara yang diekspos media, namun segala aktivitas yang memiliki kontribusi positif terhadap masyarakat. Ada aktivitas yang menginspirasi. Sayangnya, hanya “elite” yang mendapat porsi perhatian yang berlebih. Tentang gaya hidup glamor kelas atas, konsumsi barang-barang bermerk mahal, ekspos media, serta kedekatan dengan wilayah selebritas.
Kalau mau gampangnya, kita bisa melihat gambaran sosok ideal sosialita pada wanita-wanita bangsawan Eropa di masa lalu. Sebagai kaum elit mereka tidak perlu merasakan bekerja, berkeringat, ataupun mengantri. Kehadiran merekapun disambut dan dipuja dimanapun berada. Selain harus kaya, cerdas, punya relasi luas di dunia hiburan dan selebritas dan lingkungan sosial lainnya,selera fashion berkelas, mereka juga harus memiliki prestasi dari segi sosial, seperti memiliki yayasan yang berbasis sosial kemanusiaan. Mereka tidak hanya bermodalkan darah biru atau keturunan bangsawan saja. Tentu kita masih ingat Lady Diana.
Kesalahpahaman definisi sosialita, menjadi kesalahkaprahan. Sosialita dipahami sebagai kelompok eksklusif dengan daftar panjang kepemilikan barang-barang mewah mulai dari tas, sepatu, baju, perhiasan, mobil, dan barang-barang mahal lainnya. Arisan di cafe atau restoran, rumpi sambil saling memamerkan benda-benda mahal kebanggan mereka. Kesalahkaprahan kian menjadi, ketika ada program televisi yang melakukan liputan aktivitas ini dengan menyebutnya sebagai kelompok sosialita.
Imbas pemberitaan yang salah, akhirnya berimbas kesalahkaprahan mental state audiensnya. Pada gilirannya, bermunculan kelompok-kelompok eksklusif yang menyebut ataupun disebut sosialita. Ada pula yang berlomba-lomba mengejar label sosialita ini. Dalam benaknya, dengan kepemilikan barang mewah, datang ke acara-acara hiburan yang diekspos media, mereka sudah bisa disebut sosialita.
Ketidakmemadaian pemahaman pada akhirnya mempersempit definisinya. Sosialita hanya terbatas pada kegiatan arisan, rumpi, kepemilikan produk fashion mewah. Hanya berorientasi hanya pada gaya hidup, namun seringkali tak mengukur kemampuan. Lupa tempatnya berpijak, sehingga mendorong untuk mengambil jalan pintas dengan menghalalkan berbagai cara, seperti melakukan penipuan untuk menunjang gaya hidupnya. Tentu kita masih ingat Malinda Dee.
Ms.Communication : Ms.Spell , Ms.Behave , Ms.Ty, 2014
Erwan Priyadi a.k.a Wanski
Watercolor on paper 18 x 18 cm (3 panel)
Menggambarkan tentang kedudukan wanita yang sering dianggap sebagai biang gossip dan kerap berakhir sebagai kambing hitam atas setiap masalah yang terjadi akibat kicauannya. Kesalah kaprahan ini juga didukung dengan adanya ambiguitas dalam pelafalan kata Ms. dan Mis dimana kata Ms. dapat dibaca Mis- yang berarti sesuatu yang buruk atau tidak tepat.
Saya memilih objek wanita sebagai objek utama pada karya ini karena wanita kerap dijadikan objek seni dan seringkali dikaitkan dengan banyak tanda yang terkadang merubah image wanita itu sendiri di dunia nyata sehingga bisa disebut juga menimbulkan kesalah pahaman.