Kopi Keliling Volume 8 Artworks Part 1

Berikut karya-karya para peserta Pameran Kopi Keliling Volume 8. Karya-karya yang ada di sini tersedia untuk dijual (yang sudah terbeli ditandai dengan tulisan “sold”) dengan sistem bidding melalui email ke contact@kopikeliling.com mulai dari Rp250.000. Hasil penjualan karya akan digunakan untuk membantu pembangunan Rumah Belajar Sankabira di Desa Sembalun, Pulau Lombok.

 

Ninda

Ngopi, yuk!/Let’s have some coffee!
Annisa Aprianinda
Watercolor on Canvas
2015

Kopi memang bukan tanaman asli yang berasal dari Indonesia, tetapi sejak kedatangan kopi di Indonesia pada awal abad 16, kopi memiliki peran yang besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perkebunan kopi bermula di pulau Jawa dan lalu meluas ke berbagai penjuru Indonesia, seperti Sumatra, Nusa Tenggara, Sulawesi, bahkan Papua. Tak hanya berpengaruh di ekonomi Indonesia sebagai salah satu komoditas yang diekspor ke seluruh dunia, kopi juga sangat mempengaruhi kultur masyarakat Indonesia, dalam hal positif. Kopi telah menyatukan dan memperkuat tali persaudaraan di antara masyarakat Indonesia.  Telah terjadi pergeseran makna, dimana tadinya kopi hanyalah sebuah sajian minuman, kini  kopi menjadi alasan untuk bersilaturahmi dengan sanak saudara dan teman-teman atau silaturahmi. Seperti yang sering kita ucapkan sekarang saat mengajak kerabat untuk bertemu, “Ngopi, yuk!”

 

Azis

Pencerahan (SOLD)
Azis Wicaksono
Watercolor & Acrylic on Canvas
2015

Kebudayaan minum kopi di Nusantara sudah menjadi hal yang cair, karena dapat masuk ke segala aspek kehidupan masyarakat, bahkan adat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kopi di Indonesia bukan hanya dianggap sebagai minuman saja, namun secara kedekatan kultural kopi memiliki hubungan yang erat dengan budaya masyarakat Indonesia. Hal yang menarik terlepas dari karakter biji kopi dan rasa pahit manisnya, kopi memiliki pemaknaan lain. Dari nama sebuah tanaman yang kemudian dijadikan minuman, kopi juga memperoleh makna yang dikonstruksi secara sosial menjadi kata ajakan “ngopi”: Ngopi dulu yuk! Ngopi sek! Yuklah, kita ngopi dulu!. Kata ngopi bagi masyarakat Indonesia dianggap sebagai ajakan untuk istirahat sejenak dari kegiatan/rutinitas untuk berkumpul dan membuka pembicaraan yang lebih segar dan lebih cair, atau ajakan untuk sekadar istirahat dan memulai obrolan yang ringan dan rekreatif. Poin inilah yang dianggap sebagai pencerahan, di mana fungsi minuman yang dikonstruksi menjadi kata sifat memiliki makna untuk memberikan ruang bagi seseorang beristirahat sejenak dan memulai pembicaraan yang ringan, asik, dan bahkan tidak jarang dari sana tercetus sebuah bentuk budaya baru yang positif.

 

Charlie

Nyethe (SOLD)
Charlie Chris Evan
Drawing Pen and Acrylic on Canvas
2015

Budaya baik adalah benang merah dari tema pameran kali ini, yaitu terciptanya suasana kreatif, guyub, atau akrab dari kegiatan minum kopi. Masyarakat Jawa biasanya melanjutkan kegiatan ini dengan nyethe (bahasa Jawa) sebagai bentuk kreatif dari menikmati hidup secara sederhana, kemudian diiringi obrolan akrab khas warung kopi tentang hal-hal yang sedang hangat diperbincangkan oleh masyarakat. Kopi, kretek, dan obrolan. Tiga hal yang menghasilkan letupan kreativitas dari penikmatnya. Itulah nyethe, atau yang disebut juga nglelet oleh masyarakat Rembang. Terdapat paduan cita rasa tersendiri dari tembakau, cengkeh, dan ampas kopi yang dibakar. Ditambah dengan nuansa interaksi sosial yang hangat dan akrab, menjadikan nyethe sebagai kegiatan yang juga menyatukan berbagai latar belakang masyarakat. Berangkat dari adanya 3 elemen itulah karya “Nyethe” ini dibuat.

 

Dewi

Sketsa Tangan Seniman
Dewi Tri K
Acrylic on Canvas
2015

Karya ini terinspirasi dari canangsari, kopi, dan telapak tangannya. Canangsari merupakan media persembahan yang digunakan dalam ritual acara keagamaan. Tidak akan ada ritual keagamaan tanpa canangsari. Sama halnya dengan kopi. Rutinitas manusia modern terutama seniman sangat bergantung pada kopi, untuk pencarian inspirasi atau ide kreatif mereka. Ada pepatah yang mengatakan, “There is no life without coffee”. Dapat kita lihat bahwa keduanya memegang peran penting dalam sebuah “ritual”, terkecil namun inti. Baik ritual keagamaan maupun produksi ide kreatif kebanyakan bersifat individualis, tapi keduanya diapresiasi dalam bentuk kolektif. Ritual keagamaan dilakukan bersama dan hasil karya seni dinikmati bersama pula. Karena itulah lukisan ini bermaksud menggambarkannya dalam bentuk tangan seniman yang di dalamnya terdapat gambaran sinergi canangsari dengan kopi. Canangsari dan kopi diolah oleh kreativitas tangan manusia dan dipersembahkan untuk sesama.

 

Diah

Gupuh, Lungguh Lan Suguh
Diah Asri Safitri
Watercolour on Canvas
2015

“Gupuh, Lungguh, Lan Suguh” adalah filosofi hidup masyarakat Suku Using di Banyuwangi. “Gupuh” yang berarti seorang tuan rumah harus segera mempersilakan tamunya untuk masuk ke dalam rumah dengan ramah. “Lungguh” berarti mempersilakan tamu untuk duduk. Sementara “Suguh” adalah menyuguhkan hidangan berupa kopi khas Banyuwangi dan makanan ringan.

 

Dini-Kartika

Menuai Ikatan (SOLD)
Dini Kartika
Acrylic and Hand Embroidery on Canvas
2015

Menuai Ikatan pada dasarnya terinspirasi oleh Kopi Aren. Pada beberapa tempat di Indonesia, kita dapat menemukan adanya kebiasaan meminum kopi dengan tambahan gula aren. Seolah sederhana, tetapi ikatan bahan minuman ini melibatkan petani kopi dan petani aren. Sehingga pada karya ini terdapat visualisi tumbuhan kopi dan aren dalam gelas. Satu gelas kopi aren, melibatkan sumber daya alam yang berbeda, dengan petani yang berbeda, dan juga dari daerah yang berbeda, yang saling mengikat.

 

Hardi

Kumaha Dinten Ieu? (Bagaimana Hari Ini?)
Hardi Salim
Acrylic on Canvas
2015

Menyeduhkan kopi untuk pasangan merupakan budaya baik yang ada di Indonesia. Lewat kopi suatu ungkapan kasih sayang dapat tersalurkan tanpa adanya suatu komunikasi secara langsung.

 

Khirzan

Pecah Lepas
Khirzan Ulinnuha
Pen on Canvas
2015

Setiap orang itu seperti memakai topeng. Topeng-topeng yang membawa urusan kepentingannya, korporasinya, atau apapun itu. Topeng-topeng itupun masih saja terpakai ketika kita saling berbicara, entah itu secara sengaja atau tidak disengaja, untuk menjaga jarak dengan lawan bicara atau memang tidak ingin diketahui siapa dirinya. Berangkat dari hal tersebut dan diramu dengan adanya ungkapan keseharian di Surabaya, “ngopi dhisik cek gak salah paham”, yang artinya minum kopi dulu agar tidak salah paham. Seolah minum kopi dipercaya sebagai bentuk untuk bisa saling mengerti antar lawan bicara ketika membicarakan atau membahas serius sesuatu. Maka dalam karya ini, secara sederhana ingin disampaikan bahwa dengan minum kopi itu bisa melepas topengmu dan memecahkan suasana, entah itu ketika sedang berdialaog dengan orang lain atau dengan diri sendiri.

 

Liunic

Memory Movements (SOLD)
Martcellia Liunic
Acrylic on Canvas
2015

Waktu pertama kali mendengar tentang tema Pameran Kopi Keliling 8, hal pertama yang terlintas di pikiran adalah kopi sebagai sebuah katalis dalam berpikir. Seiring kita minum kopi, kafein yang terkandung di dalamnya mulai bekerja dan membuat pikiran kita mengkhayal ke mana-mana. Karya ini berusaha menggambarkan pemikiran tersebut. Seperti halnya Kaldi, si kambing dansa legendaris, pikiran kita juga mengkhayal ke mana-mana. Bisa tentang apa saja, tentang ide-ide baru, tentang hal-hal kurang penting, sampai mungkin rencana mengubah dunia. Apapun itu, kopi lah yang menjadi katalisnya.

 

Comolo

Politik dalam Kopi (SOLD)
Muhammad Amin (Comolo)
Acrylic, Ballpoint, and Spray Paint on Canvas
2015

Karya ini mengisahkan tentang kebiasaan orang Aceh di warung kopi, di mana umumnya mereka lebih suka membicarakan tentang politik ketimbang gosip dan hal sepele lainnya. Mereka akan beradu argumentasi dan saling bertukar pikiran tentang isu isu politik hangat yang sedang terjadi, terlepas dari benar atau tidaknya informasi yang mereka dengar. Itu adalah suatu hal yang jarang kita dapatkan di zaman sekarang, di mana tradisi guyub dan berani mengutarakan pendapat dengan sesama mulai tergerus oleh distraksi yang menyebabkan seseorang malas untuk menjalin interaksi dengan sekelilingnya. Karya ini berupaya untuk menggambarkan suasana di warung kopi pada era 1900 an awal, beserta hiruk pikuk dan busananya. Masa-masa di mana teknologi belum terlalu banyak mengambil alih kehidupan sosial masyarakat saat itu.

 

Sabil

Membaca Kopi di Dalam Sebuah Warung
Muhammad Sabil
Mixed Media on Canvas
2015

Masyarakat Indonesia sangat sekali menyenangi minuman kopi. Hal ini sangat menarik karena kopi pun hadir dalam berbagai bentuk dan juga kelas. Meskipun demikian, hal tersebut tidak menyebabkan terjadinya perbedaan strata sosial yang hadir pada para peminum kopi. Masyarakat Indonesia bisa dibilang sangat mudah sekali menemukan kopi, dan apakah dengan mudah ditemukannya kopi ini akan membuat tulisan bahwa “karena itu pula tidak heran apabila kemudian kopi juga mampu menjadi pemicu kebiasaan ataupun budaya-budaya baru yang baik lainnya di Indonesia saat ini” itu hanya bisa kita anggap akan lahir di tempat-tempat menikmati kopi di yang berkelas saja? Tempat menikmati kopi adalah salah satu tempat yang memengaruhi budaya apa yang lahir pada saat kita menikmati kopi tersebut. Akan sangat menyenangkan pada saat obrolan apa yang tercipta tergantung dari di mana kita melaksanakan obrolan tersebut, karena akan sangat membingungkan pada saat kita hanya membicarakan satu hal saja tanpa kita mengomentari ataupun yang ada dis ekitar kita pada saat kita berbincang-bincang. Lahirnya sebuah budaya baru yang hadir karena adanya sebuah kopi tentu saja dipengaruhi juga oleh kualitas obrolan di tempat tersebut. Akhirnya, Kopi mampu memicu hadirnya budaya baru.

 

Mustafa

Come Together It’s Coffee Time (SOLD)
Mustafa Kamal Syahputra
Mixed Media on Canvas
2015

Karya ini ingin menyampaikan tentang budaya baik berkumpul pada masyarakat Indonesia yang biasanya selalu disertai dengan kopi. Walaupun kopi di sini hanyalah sekedar kopi yang dijajakan oleh tukang kopi keliling yang menggunakan sepeda, namun suasana keakrabannyalah yang menjadi daya tarik seniman untuk mengangkatnya ke dalam karya ini. Seperti yang ditampilkan dalam karya ini, yang menjadi fokusnya adalah tiga orang pria yang sedang duduk sambil memegang gelas kopinya masing-masing dengan latar belakang sepeda tukang kopi keliling serta beberapa objek seperti bajaj yang mewakili suasana di pinggiran jalan ibukota.

 

Kiswinar

Kita Ada karena Kopi (Demikian juga Sebaliknya) (SOLD)
Ario Kiswinar Teguh
Layered Paper Cutting on Canvas
2015

Karya ini menggambarkan hubungan erat antara kebudayaan dan kopi yang bersifat timbal balik. Kopi itu “dibentuk” dari kebiasaan yang akhirnya menjadi kebudayaan. Di mana kebudyaan juga “dibentuk” perlahan sehingga ketika dilihat seutuhnya akan menjadi jelas tentang maksud dari tujuan dari sebuah adat dalam kebudayaan. Ketika melihat karyanya secara dekat, yang terlihat adalah sebuah tumpukan kertas berwarna-warni. Namun ketika melihat lebih jauh, akan terlihat sebuah objek biji kopi. Proses pembentukan karya sendiri juga mengambil filosofi dari kebudayaan itu sendiri. Perlahan dan berproses. Kita yang menjalani prosesnya mungkin tidak tahu apa maksud dari sebuah kegiatan ini. Namun generasi setelah kita, yang melihat “lebih jauh” akan memahami apa tujuan dari sebuah adat dalam kebudayaan. Kertas warna-warni juga menggambarkan beragamnya menikmati kopi, ritual-ritual yang menggunakan kopi, dan siapa saja yang menikmati kopi. Hal ini tidak berbicara tentang konflik atau hal negatif lainnya, tapi bagaimana warna-warni tersebut jika disatukan akan menghasilkan sesuatu yang indah.

About author

joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official