Pengguna Twitter era-era awal pastilah familiar atau, setidaknya, pernah sekelebat membaca satu-dua sajak pendek yang ditulis oleh Aan Mansyur dan ia tuangkan lewat akun Twitter @hurufkecil. Kala itu, Aan mulai dikenal karena sajak cintanya tidak sedikit menohok netizen yang sedang dibuai asmara. Dari situ juga semakin banyak anak muda yang merasa lebih dekat dengan puisi, satu bentuk tulisan yang bagi sebagian orang menakutkan, tetapi indah dan sarat makna.
Aan adalah seorang penyair asal Makassar yang sudah menelurkan banyak buku, di antaranya: Cinta yang Marah (Penerbit Bejana, 2009), Kukila (GPU, 2015), Melihat Api Bekerja (GPU, 2015), dan Tidak Ada New York Hari Ini (GPU, 2016).
Ia memang bilang kalau memakai tema cinta sebagai pintu masuk untuk memperkenalkan puisi ke banyak orang, karena, siapa sih yang tidak pernah merasakan jatuh cinta atau patah hati? Namun, ia juga berkata, sebenarnya kalau ditelaah lebih jauh, ada banyak lapisan di balik sajak-sajaknya yang kalau dikupas bisa mengungkap tema-tema lain di luar cinta.
Berawal dari perjumpaannya dengan puisi Simfoni Dua karya Subagio Sastrowardoyo, Aan pun jatuh hati dengan puisi. Suatu hari, ia memantapkan hati untuk menjadi penulis dan menyampaikan keputusannya itu ke ibunya. Sang ibu mempersilakan Aan untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tapi, ia juga menyertakan satu wejangan tentang seorang penulis, “Jadi penulis harus siap miskin.”
Apa yang membuat Aan tetap memilih jalur sebagai penulis, atau, lebih lagi, penyair? Bagaimana prosesnya mencari gaya kepenyairan yang ia awali dengan meniru banyak sekali karya di sana-sini? Apa yang ia cari ketika menuliskan pemikirannya ke dalam bentuk sajak? Kenapa menurutnya puisi adalah sebuah benda yang unik, karena ia eksklusif sekaligus inklusif? Yuk, dengerin obrolannya di podcast buku Main Mata!