Seni adalah Kebohongan

“We all know that art is not truth. Art is a lie that makes us realize truth, at least the truth that is given us to understand. The artist must know the manner whereby to convince others of the truthfulness of his lies.”
– Pablo Picasso

Karya seni yang baik memang seharusnya dibuat dengan membiarkan hati bekerja lebih banyak porsinya ketimbang kepala, karena tujuan membuat sebuah karya seni sebenarnya adalah menyentuh hati orang lain. Dan hati hanya bisa disentuh dengan hati. Apa yang dibuat dari hati, akan menyentuh hati orang lain.

artsweatshop

Sebuah kota di Cina memproduksi lukisan orisinil tiruan (sumber gambar: kk.org)

Lalu bagaimana jika karya seni itu ternyata palsu atau tiruan? Masihkah benda, lagu, tarian, atau apa yang kita rasakan dengan panca indera kita masih dapat menunjukkan kesaktiannya? Menurut Professor Martin Kemp, seorang dosen ilmu sejarah seni dari Oxford University, “Karena kita melihat seni bukan sebagai hal yang rasional, maka kita akan mengalami kesulitan ketika membedakan karya seni yang asli dan palsu. Tapi ketika kita tahu bahwa lukisan itu dibuat oleh pelukis terkenal, pandangan kita terhadap lukisan itu pun menjadi berbeda.” Sebuah karya seni, terutama lukisan, membawa nama senimannya. Kita terbiasa untuk menganggap sebuah lukisan yang (padahal) biasa saja itu menjadi luar biasa ketika kita tahu siapa pelukisnya. Meskipun palsu, lukisan itu tetap indah di mata kita – karena pelukisnya dikenal sebagai pelukis yang karya-karyanya selalu luar biasa. Karyanya mungkin menyentuh perasaan, tapi ketika otak kita diberitahu bahwa lukisan itu palsu, maka nilai lukisan itu menjadi berkurang.

Lain lagi yang dilakukan oleh Semir Zeki dari University College London. Zeki mempelajari mengapa manusia cenderung untuk memilih pola tertentu, sementara yang lainnya memilih pola yang lain. Zeki menggunakan seni untuk mempelajari cara kerja otak manusia. Kesimpulan Zeki setelah melalui penelitian yang panjang adalah otak kita kadang melampaui kenyataan yang ada. Lukisan yang indah pun, tapi palsu, menjadi nggak indah lagi karena palsu. Kurang lebih seperti itu.

Peran otak itu sangat penting. Orang yang tersenyum dapat melupakan kesedihannya barang sejenak, karena otaknya memerintahkannya untuk bahagia. Ketika kita melihat sebuah lukisan, otak kita akan memproses informasi visual, termasuk memproses bentuk dan warna.

130812_mona_lisa_1024x748-2

Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci (sumber gambar: nowthisnews.com)

Contoh yang paling populer mungkin adalah lukisan Mona Lisa karya Da Vinci. Mona Lisa sengaja dilukiskan dengan ekspresi wajah yang dinamis, karenanya semakin lama mata kita memandang wajahnya di atas kanvas, seakan-akan ekspresi wajahnya berubah. Ternyata hal ini disebabkan karena sistem visual manusia dapat melihat “lebih banyak” ketika obyeknya besar dan buram.

Otak kita dapat mengenali warna yang kontras, tapi bukan cahaya yang kontras. Para pelukis sejak jaman dahulu sudah mengerti ini, karenanya mereka sering bermain dengan cahaya dan bayangan, untuk menipu mata penikmat karyanya.

34_1jen0450

Lukisan Perawan Maria (sumber gambar: genesaphiro.com)

Seperti misalnya lukisan Perawan Maria atau Virgin Mary di atas yang dibuat pada abad pertengahan. Tanpa cahaya di jubahnya, Bunda Maria dalam lukisan itu akan terlihat rata, bukan? Jadi untuk menambahkan kesan 3 dimensi dalam lukisan itu, ditambahkannyalah cahaya dan bayangan – dan akhirnya otak kita menerimanya.

Berarti pendapat Picasso itu benar. Seni adalah kebohongan. Art is a lie. Tapi sepanjang otak kita dapat menikmatinya dan karya seni itu bisa menjadi kendaraan untuk melarikan diri sejenak dari kenyataan, rasanya kita nggak perlu berkeberatan untuk dibohongi, bukan?

joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official