New York Types

Di akhir tahun 2011 lalu ada sebuah pameran bertajuk “New York Types” yang diselenggarakan oleh “New York Write Itself” dan “The Village Voice”. Pameran ini diadakan di The Art Directors Club, sebuah komunitas berisi orang-orang kreatif di bidang komunikasi visual. “New York Write Itself” sendiri adalah sebuah proyek kreatif yang mengadakan acara secara rutin dan dilakukan oleh masyarakat ‘asli’ New York. Kalau “The Village Voice” adalah sebuah media yang menuliskan berita-berita seputar kota New York. “The Village Voice” memperkenalkan media alternatif yang menampilkan jurnalisme ‘pake hati’ ke pembahasan publik.

Pameran ini terinspirasi dari ‘The Script’ yang merupakan kumpulan hasil observasi (yang disebut dengan istilah ‘Scribe’) dari New Yorkers (yang kemudian disebut dengan ‘Scriber’) mengenai hal-hal ‘gila’ yang mereka lihat dan dengar setiap hari. Kalau di Jakarta mungkin jadinya seperti “Nguping Jakarta” kali yah. Bedanya, hasil akhir dari hasil ‘nguping’nya menjadi inspirasi sebuah musik, penulisan kreatif, pameran seni, dan masih banyak lagi. Keren yah?

Pameran “New York Types” ini mengangkat kata-kata yang didengar di jalanan kota New York dan membawanya ke kehidupan nyata. Kemudian kata-kata tersebut dituangkan menjadi karya kolaboratif dari beberapa seniman letterpress ternama New York. Letterpress sendiri adalah metode cetak yang paling tua. Siapa tau ada yang belum tau tentang letterpress, contoh sederhananya adalah seperti jaman SD mungkin dulu ya kita diajarin bikin cap dari karet sendal atau kentang. Karet atau kentang diukir hingga menyisakan bentuk timbul daerah yang mau kita jadikan cap. Lalu tinta diaplikasikan pada permukaan tersebut kemudian ditekankan pada kertas atau material lain sehingga bentuk tersebut akan tercetak.

Para seniman letterpress tersebut antara lain adalah: Hartwick Hanson (Tarhorse Press), David Gensler (The KDU), Patrick Fenton & Willy Schwenzfeier (Swayspace), Peter Kruty (Peter Kruty editions), dan Sarah Nicholls (The Center for Book Arts). Yang menarik dari ke-6 seniman ini adalah mereka tetap setia menggunakan teknik letterpress yang sudah kuno, lambat, mahal, ribet, dan ‘sekarat’. Kenapa? Waduh, mungkin ibarat sudah jatuh cinta, apapun rela kita lakukan yah.





Menarik memang bagaimana kehidupan sebuah kota besar seperti New York bisa membentuk karakter dan budaya sendiri yang tidak akan ditemukan di tempat lain semirip apapun itu. Kota Jakarta misalnya. Sebuah kota yang jumlah kepadatannya juga yaaah mirip-miriplah sama New York. Ngomongin bising-bisingnya? Yaah Jakarta sama New York juga sama berisiknya. Atau misalnya macet? Kota secanggih New York juga gak bebas dari macet juga sih. Sekeren-kerennya The Big Apple, juga gak terlepas dari segala kekurangan. Tapi kalau segala kekurangan dan cacat cela itu bisa dikomunikasikan secara kreatif seperti karya-karya “New York Types”, kekurangan itu malah bisa jadi lambang senasib dan sepenanggungan warga kotanya.

Pernah saya membaca sebuah artikel yang ditulis seorang bule di majalah expat. Saya lupa tepatnya dia nulis apa, cuma intinya adalah satu-satunya yang mempersatukan warga kota Jakarta adalah kemacetan. Pernyataan yang menyedihkan sekaligus benar sekali dari mata orang ‘luar’ Jakarta. Nah, kalau kita bisa ambil baiknya saja, daripada sibuk ngeluh dan depresi soal kemacetan, bagaimana kalau “persatuan” itu bisa jadi inspirasi karya positif yang dapat menghibur sesama Jakartans agar semakin tabah menghadapi amburadulnya kota Jakarta ini.

Mau lihat seperti apa pameran  “New York Types”? Kamu bisa cek website newyorkwriteitself.com atau nonton video di bawah ini:

 

Artikel oleh: @RaymondMalvin

About author

Serunya Jadi Barista

Buat pencinta kopi, nggak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan dari menjadi seorang barista, salah satu profesi seru di bidang kopi. Barista adalah pekerjaan yang spesial, ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official