Obrolan Warung Kopi

Beberapa waktu lalu tepatnya hari Selasa tanggal 20 Maret lalu Kopi Keliling diundang datang ke acara kumpul-kumpul yang diadain oleh Akademi Samali. Mengambil tempat di markas besar Akademi Samali, Jalan Mampang Prapatan XVI no. 28, ngobrol Kopi ini dihadiri oleh pakar-pakar di bidang kopi yaitu: mas Adi Taroepratjeka dan pak Toni Wahid dari Cikopi.com. Selain itu, para coffee enthusiast juga ikutan mampir di Aksam.

Acara yang sederhana dan penuh dengan kehangatan dimulai dengan sharing session dari mas Adi dan pak Toni. Contohnya seperti awalnya mas Adi ‘kecemplung’ di dunia kopi yang ternyata terjadi saat duduk di bangku kuliah ketika menjadi seksi konsumsi di kelompok belajarnya. Mau gak mau ketika begadang harus nyiapin kopi sebagai senjata biar ga ngantuk.

Begitu juga pak Toni dengan berbagai cerita mengenai kopi dan juga pengalamannya sebagai coffee blogger. Ada beberapa hal yang Kopling catat (atau setidaknya hanya ini yang sempat tercatat dari obrolan ‘ngalor ngidul’ sekian jam malam itu, hehe) mengenai ‘problem’ di dunia kopi Indonesia yang cukup menarik. Misalnya sebuah kisah dimana para petani kopi itu banyak yang karena kondisi (entah salahnya siapa sebenarnya) jadi kurang memperhatikan kualitas panennya. Dari cerita mas Adi, ada petani yang ‘asal petik’ buah kopi karena faktor keamanan. Semestinya kan buah yang merah (matang) itu yang layak petik, cuma ketika petani itu metik hanya yang merah dan menyisakan buah yang masih hijau atau kuning, besoknya bisa raib dipanen orang lain. Malah ada cerita sampai pohon-pohonnya raib digondol maling kopi.

Buah kopi yang matang - Foto © ptpn12

Tapi ternyata ‘rampok merampok’ ini tidak terjadi hanya di Indonesia. Di daerah seperti di Amerika Tengah/Selatan, juga sering terjadi hal-hal seperti itu. Cuma konon kabarnya caranya lebih menyeramkan. Cerita menarik juga dari seputar daerah Amerika. Menurut pak Toni, di Kolumbia ada sekitar 30 orang muda, berumur sekitar 20-35 tahun yang kerjanya khusus untuk inspeksi kopi-kopi yang masuk ke negara itu. Dan mereka di funding oleh pemerintahnya. Sampai segitunya fanatisme masyarakat Kolumbia terhadap kopi.

Terus ada juga kisah mengenai kopi dari Toraja. Pada sebuah masa, masyarakat Toraja enggan menyebut dirinya orang Toraja. Entah bagaimana kebanggan terhadap sebutan itu tidak sebegitunya. Dan pada masa penjajahan Jepang, ceritanya orang Jepang ini beli tanahlah di Toraja lalu ditanami kopi. Kondisi tanah pada saat itu tergolong tidak ‘masuk akal’ untuk ditanami pohon kopi. Namun dengan keuletan, disiplin, dan quality control yang baik dari pihak Jepang, akhirnya hasil produksi kopi dari Toraja pun menjadi salah satu yang paling terbaik. Malah konon kata mas Adi, kalau mau ngerasain kopi Toraja yang paling enak malah ada di Jepang. Kita malah minum ‘limbahnya’ saja. Cukup menyedihkan juga ya kedengerannya, cuma kenyataannya begitu.

Kebun kopi organik di Toraja - Foto © torajacybernews.com

Dari cerita-cerita pada malam itu memang banyak kedengeran fakta-fakta miris mengenai kondisi kopi di Indonesia. Dulu Indonesia lumayan menjadi penghasil kopi terbesar daerah Asia untuk di distribusikan ke seluruh dunia. Sekarang malah posisi Indonesia kalah dengan Vietnam yang beberapa tahun lalu sama sekali tidak kedengeran soal kopinya. Namun karena dukungan pemerintah Vietnam untuk mengadakan intensifikasi, jadinya produksi kopi Vietnam pun menjadi hebat.

Yah, cukuplah soal kondisi ngenes dunia produksi kopi Indonesia. Kita bahas soal gaya hidup ngopi aja sekarang. Ternyata konsumsi kopi itu lebih besar di pasar daripada di cafe atau sejenisnya. Dari pedagang di pasar, kuli-kuli, tukang parkir, sampai pemulung pun minum kopi. Dan jumlahnya luar biasa besar. 20 ton kopi per harinya! Jadi kalo sekarang kesannya kalo denger kata ‘ngopi’ itu nempel image nongkrong di cafe-cafe, ternyata ga bener juga. Bahkan kopi Kapal Api yang udah sebesar-besarnya itu juga berawal dari pasar.

"Gerai" kopi di pasar - Foto © fotografer.net

Ada celotehan konyol pada malam hari itu mengenai fenomena “Nasi Goreng” dan “Sop Buntut” di kedai-kedai kopi atau kerennya disebut Cafe. Banyak Cafe yang kalau kita lihat menunya, list makanan dan minuman selain kopi jumlahnya lebih besar daripada kopinya. Paling klasik itu ya isinya kalo gak nasi goreng, sop buntut. Kopinya mana?

Kalau seruangan isinya penyuka kopi dijamin obrolan ga akan singkat. Dari pembahasan gaya hidup, obrolan beralih ke cara pembuatan kopi. Konon katanya (konon melulu ya daritadi) cara-cara kita nyeduh kopi itu bisa mempengaruhi rasanya. Bahkan cara ngaduknya pun (konon) bisa bikin rasa kopi jadi lebih enak.

Mari kita mulai dengan fakta-fakta. Nyeduh kopi itu perlu air yang panas dan matang. Supaya proses ‘mateng’ kopinya itu benar-benar sempurna. Sebelum dinikmati biarin dulu kopi selama 3-4 menit sebelum diganggu dengan adukan, gula, dan lain sebagainya. Nah, gula pun jangan cepet-cepet dimasukin dalam secangkir kopi yang lagi diseduh. Faktanya, gula menyerap panas, jadinya proses ‘mateng’nya kopi jadi tidak sempurna karena keserep sama si gula.

Fakta lainnya adalah asal air buat nyeduh juga bisa mempengaruhi rasa. Pernah mas Adi nyobai kopi di sebuah daerah. Saat dibuat di tempat asalnya rasanya enak luar biasa. Setelah kopi dibawa pulang dan diseduh di rumah, beda rasanya. Jadi lain kali iseng-iseng aja coba nyeduh di tempat-tempat berbeda dengan kopi yang sama. Kalau udah nyobain jangan lupa mention ke @KopiKeliling ya.

Tadi sedikit faktanya. Sekarang yang konon katanya. Konon katanya kalau ngaduk kopi ke arah jarum jam (kanan) sebanyak 8 kali bisa bikin kopi rasanya jadi lebih enak. Konon katanya juga kalau mau lebih ‘nendang’ kopi lebih baik dicampur dengan sedikit garam. Konon katanya, kalau ngopi pas acara Kopi Keliling rasanya lebih luar biasa, hehe.

Yah boleh percaya boleh tidak, yang pasti kopi itu sudah jadi bagian dari hidup kita semua. Dari lahir, hidup, dewasa, sampai mati pasti ada deh urusan dengan kopi. Nyantet aja gak afdol kalau gak pakai kopi!. Inti dari obrolan pada hari itu sih pada akhirnya kembali ke pribadi masing-masing. Kopi itu lumayan minuman yang subyektif. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Sama seperti seni. Untuk menikmati seni atau pun kopi, itu kembali ke pandangan masing-masing. Semua orang bebas berpendapat.

Hal kedua yang Kopling dapat pada malam itu adalah tentang keberanian, dan keinginan untuk mencoba hal-hal baru. Kadang ada aja pihak-pihak yang mengklaim “Kopi ini yang terbaik”, “Cara bikin kopi A yang paling benar”, “Lukisan si B yang paling keren”, atau “Tehnik A, B, C, yang paling hebat”. Mungkin banyak diantara kita yang asal ‘telen’ aja klaim-klaim tersebut. Yang paling fatal apabila sampai fanatik terhadap klaim tersebut.

Kalau kata mas Adi sih, jangan pernah puas mencari yang terbaik. Cobain aja segala jenis kopi. Gak harus yang mahal, gak harus di Cafe atau tempat-tempat keren. Coba aja yang di sekitar kita dulu. Dan yang paling penting adalah, kita mengerti dahulu rasa apa sih yang mau kita cari di secangkir kopi. Kalau urusan nyeduh mah gampang. Bubuk kopi, guyur air panas, selesai. Jenis rasa yang tersembunyi di tiap merk/jenis kopi itu beragam. Ada yang rasa apel, jeruk, bahkan nangka. Konon katanya (lagi-lagi) ada juga kopi-kopi yang dicampur dengan jenis ‘herbs’ lain bisa bikin rasa yang “luar biasa” *batuk*.

Jadi, selamat mencoba kopi-kopi baru diluar sana. Gak cuma sebatas kopi sih. Banyak kekayaan Indonesia lain yang belum di explore oleh bangsanya sendiri. Moga-moga artikel singkat ini bisa membuat wacana baru di masa depan. Tertarik bikin kumpul-kumpul ngobrolin kopi? Bisa hubungi Kopi Keliling. Siapa tau kita bisa atur waktu untuk bikin acara serupa lain waktu.

Artikel oleh: @RaymondMalvin

About author

Leonard Nimoy, Bukan Sekadar Spock

Star Trek telah kehilangan anggota sejatinya, Leonard Nimoy. Ia meninggal di usianya ke 83 karena paru-paru. Nimoy namanya membumbung tinggi semenjak membintangi Star Trek, perannya ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official