Hanya Berpendapat | OHD

Beberapa waktu lalu saya membuka sebuah link yang dari twitter mengenai berita yang mengangkat tentang pemalsuan karya seni, khususnya karya para maestro Indonesia. Dari saat itu sih sebenarnya saya belum ngeh tentang sebuah ‘kasus’ yang ternyata saat ini sedang ramai diperbincangkan di dunia seni Indonesia. Setelah sedikit cari-cari tahu, akhirnya mulai tau lah mengenai ‘kasus’ karya palsu ini di internet dan media massa.

Saya sih melihat hal ini benar-benar dari kacamata awam, dan hanya sekedar ingin menyampaikan berita ini ke teman-teman pembaca website Kopling. Jadi ceritanya kurang lebih begini…

Dimulai dari sebuah pameran yang dibuka pada bulan April lalu di Museum Seni Rupa Oei Hong Djien, di Magelang, Jawa Tengah. Sesuai namanya, museum ini dibangun sendiri oleh Dr. Oei Hong Djien, seorang kolektor kawakan yang katanya mempunyai lebih dari 2.000 karya dari hasil huntingnya selama lebih dari 30 tahun. Pak Oei Hong Djien yang lahir dari keluarga pengusaha tembakau ini juga terkenal gemar mengangkat perupa muda menjadi perupa yang sukses.

 

Yah intinya, Pak Oei Hong Djien ini adalah orang yang dianggap penting lah di dunia seni rupa. Kalau yang saya baca sih, nampaknya Pak Oei Hong Djien ini memang rada melawan arus. Mengutip dari hasil wawancara beliau di majalah Tempo (1 Juli 2012), salah satu tanda jiwa rebel nya ketika biasanya kolektor itu untuk menilai karya (sebelum dibeli) ditemani tester, kalau Pak Oei tidak. Katanya kalau begitu terus kolektor itu enggak akan pintar. Sedaap! Enggak heran kalau Pak Oei Hong Djien ini adalah pebisnis ulung, soalnya pede banget! hehehe…

Lalu, ‘kasus’nya di mana nih? Jadi gini, berawal dari maksud beliau untuk memberikan surprise dengan membuka sebuah museum seni rupa di Magelang, yang di dalamnya menampilkan banyak karya maestro Indonesia seperti Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio, berakhir menjadi kejutan bagi dirinya sendiri. Bahasa kerennya Back Fire, alias nembak balik. Pas pembukaan museum itu tentunya Pak Oei Hong Djien yang kerap dipanggil dengan sebutan Pak Dokter tersebut tentunya mengundang pihak-pihak yang berkepentingan dalam urusan seni rupa. Salah satu diantaranya adalah pihak keluarga dari para maestro yang mana karyanya ditampilkan di sana.

Istri dari almarhum Soedibio misalnya, merasa ada lukisan yang rasanya bukan karya suaminya. Lalu istri almarhum Sudjojono juga merasakan kurang lebih hal yang sama. Entah bagaimana, pada akhirnya merebaklah kesangsian terhadap koleksi yang dipamerkan di museum Oei Hong Djien tersebut. Social Media, internet, dan media cetak pun akhirnya menjadi penyulut ‘kasus’ ini jadi semakin naik ke permukaan.

Masih dari hasil bacaan saya dari majalah Tempo dan juga hasil denger-denger dari ‘kiri kanan’, ternyata memang pemalsuan karya, apalagi karya maestro Indonesia, lumayan jadi hal yang sering dilakukan. Sampai ada grade-gradenya lagi. Istilah KW sangkain hanya untuk urusan tas-tas ber merk doang, eh ternyata lukisan juga. Lukisan KW kalau dijual masih harganya puluhan juta hingga ratusan juta! Lukisan KW yang lolos masuk balai lelang seperti Sotheby, Christie’s, dan lain sebagainya, bisa laku hingga milyaran rupiah!

Memang buat jaga-jaga, biasanya galeri akan ngeluarin sertifikat atau surat-suratan yang menjadi bukti keaslian lukisan atau karya. Cuma ibarat kata pepatah, “If there’s a will there’s a way”, hal itu berlaku juga untuk urusan yang jahat-jahat. Kalo sang penipu niat, ya sampai sertifikatnya pun bisa aja dipalsuin. Tapi konon, biasanya si pemalsu lukisannya urusannya cuma gambar aja. Mungkin karena hobby, atau jago secara teknis tapi gak bisa bikin karya original, atau enggak dulunya tukang benerin lukisan (restorator), dan masih banyak lagi, akhirnya kebablasen bikin karya dengan gaya lukisan yang ditirunya. Dan seperti biasa nih, yang biasa kita jumpai di bidang mana pun, kaum-kaum oportunis lah pada akhirnya memanfaatkan kondisi tersebut.

Kalau enggak karena pengen mudahnya aja asal dapat banyak uang, atau super kreatif cuma kreatifnya yang salah, atau memang orang itu pure evil aja pada akhirnya si kaum oportunis ini melakukan tindakan-tindakan penipuan tersebut. Tapi kalau dipikir-pikir, si ‘tukang’ gambarnya kok juga mau aja dibayar buat njeplak karya lain. Hmmm, kedengaran sangat familiar sekali yah kenyataan tersebut di bumi tercinta Indonesia ini hehehe.

Ribet yah? Sangkain seni itu ekspresi, indah, menyenangkan. Cuma selama akhirnya dipolitisir sama pihak-pihak tertentu, ujung-ujungnya jadi gak seru. Jadi, mungkin sisi moral dari cerita singkat di atas adalah jangan males untuk belajar kali yah. Atau enggak, setidaknya cari tau lah mengenai sesuatu kalau memang masih belum bisa disiplin untuk memperkaya ilmu. Apalagi di Indonesia yang terbilang dokumentasi, informasi, media, ilmu pengetahuannya masih gak jelas dan enggak terstruktur dengan baik. Jadi kadang susah juga untuk kita sekedar hanya menerima informasi dan mendengar dari satu sisi saja.

Kalau saja bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkepentingan di jagat seni Indonesia ini tidak melulu sibuk ngurusin perpindahan karya dari satu ‘ruang’ ke ‘ruang’ lain dan menyempatkan untuk membuat lebih banyak sarana perpindahan ilmu pengetahuan dan informasi mengenai seni ke ruangan yang lebih luas, tentunya masalah-masalah seperti di atas bisa dihindari. Ruangan seluas apa? ya seluas-luasnya, seperti lapangan bola misalnya. Kan kalau nonton pertandingan bola di stadion akan banyak orang yang bisa menikmati pertandingannya.

Pada akhirnya sih kembali ke diri kita masing-masing, apa mau rela buang-buang nyari tau (dengan susah payah) sendiri, atau asal ngangguk setuju? Atau lebih parahnya lagi memilih untuk tutup mata, mulut, dan telinga mengenai hal-hal yang penting terjadi di sekitar kita? Tapi enggak selesai sampai di situ. Menurut saya, kalau semisalnya pada akhirnya kita belajar mengenai sesuatu, ada baiknya informasi itu kita dokumentasikan supaya siapa tau entah kapan ada orang lain yang ingin mempelajari hal yang sama, dia akan lebih mudah mendapat ilmu nya. Siapa tau dari waktu yang di hematnya, orang itu kemudian bisa mempergunakan ilmu tersebut menjadi hal yang lebih baik lagi? Seru kan domino effect nya?

Akhir kata, saya sendiri pun masih sangat penasaran atas apa yang sebenarnya terjadi mengenai ‘kasus’ di atas. Seperti judulnya, dalam kesempatan ini saya hanya ingin berpendapat. Cuma tidak hanya sekedar berpendapat, saya juga terbuka dan ingin sekali untuk mendengar informasi-informasi lain seputar hal tersebut yang mungkin teman-teman pembaca tau. Silahkan komen di bawah, atau kirim email ke kopikeliling@yahoo.com, atau juga bisa mention ke @KopiKeliling.

 

Artikel oleh: @RaymondMalvin

Foto dari FB OHD Museum

 

About author

“Setan-Setan” Halloween

Ahh, hari ini tanggal 31 Oktober. Biasanya sih tanggal itu identik dengan yang namanya Halloween. Nah, buat warga sebagian warga Jakarta ini menjadi ajang adu ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official