Nasib kita itu ada di tangan kita, yang kadang menggenggam secangkir kopi. Kisah ini berawal dari sepasang suami istri, Doug dan Barb Garrott yang tinggal di utara Idaho yang pada suatu hari di tahun 2002 melakukan sebuah perjalanan ke Seattle untuk mencari barang-barang antik yang biasa mereka jual di eBay. Dalam perjalanan itu, mereka mampir ke sebuah coffee shop yang terkenal di kota itu, Espresso Vivace. Saat itu pun, pasangan ini langsung mempunyai obsesi baru: membuat kopi yang rasanya seenak itu di rumah.
Sekembalinya mereka ke Idaho, mereka membeli sebuah mesin espresso dan sebuah alat pembuat kopi manual yang sangat kuno, seharga $125. Ternyata, alat tua itu sudah rusak dan bocor. Mereka membeli alat sejenis lagi, dan masalah yang sama terjadi. Sialnya, nggak ada yang bisa membetulkan kedua mesin itu, jadi mereka harus mencoba membetulkannya sendiri. Tanpa mereka sadari, inilah awal pintu rejeki mereka yang baru.
Pasangan ini lalu membuka “Orphan Espresso”, sebuah perusahaan yang kerjanya memperbaiki mesin-mesin espresso yang rusak, untuk mereka jual kembali. Bukan hanya mesin, mereka juga memperbaiki grinder atau mesin penggiling biji kopi yang sudah pensiun. Kenapa sih mereka mau repot-repot memperbaiki dan menjual grinder manual yang sudah tua? Apakah masih ada yang mau memakainya? Ternyata banyak! Karena mesin kopi manual dioperasikan tanpa listrik, jadi lebih menghemat biaya operasional. Selain itu, sama halnya seperti kedekatan seorang tukang masak dengan pisaunya, mesin kopi yang digerakkan dengan tenaga manusia itu punya nilai sendiri di tangan penggunanya.
Pasangan ini lalu membuat mesin kopi mereka sendiri dan tentu saja, awalnya banyak yang menolak untuk memasarkannya. Sampai kemudian pada tahun 2010 mereka bertemu dengan Kyle Anderson, seorang penemu mesin espresso otomatis yang dinamai Caffee Acorto. Malam itu, mereka membuat sebuah sketsa yang akhirnya menjadi grinder pertama mereka. Pada bulan April 2011, ketiga orang ini melahirkan anak pertama mereka yang diberi nama Pharos. Pharos yang ukurannya sebesar bola voli, dan mereka jual dengan harga $245, ternyata laris manis karena sangat murah. Para pencinta kopi menyukainya karena Pharos sangat mudah digunakan dan kestabilannya. Tapi ternyata mesin penggiling ini kurang cocok untuk digunakan oleh para penggemar pour-over dan french press coffee.
Pasangan suami istri ini lalu membuat grinder lain yang lebih kecil dan ringan, yang mereka beri nama “Lido 1”. Penjualannya juga ternyata nggak kalah baiknya dengan Pharos. Mereka pun lalu diperkenalkan oleh Anderson kepada rekan bisnisnya di Taiwan, dan kemudian lahirnya “Lido 2” – yang tentunya penyempurnaan dari Lido 1. Hebatnya, kreasi mereka ini laku keras meskipun nggak pernah dipromosikan melalui iklan dan mereka nggak pernah melakukan riset pemasaran.
Jadi, siapa bilang sudah nggak ada lagi orang yang suka sesuatu yang “kuno”? Sepanjang disesuaikan dengan kebutuhan masa kini, yang kuno pun masih punya tempat di hati para penggemarnya kok. Seperti lagu dan film yang didaur ulang, misalnya. Atau mesin kopi karya kedua pasangan pencinta kopi ini.
Sumber gambar: Jessica Greene