Musik populer Indonesia era Orde Lama memiliki ciri khas yang cukup kental. Di era tersebut, seperti juga layaknya musik populer yang tumbuh di berbagai negara dunia ketiga kala itu, peleburan budaya Timur-Barat lah yang menjadi normanya.
Sangatlah wajar apabila anak muda dunia di akhir ’50-an tak dapat mengelak untuk terasuki hantu rock & roll serta berbagai bentuk budaya yang mereka anggap keren yang datang dari Barat. musik kebarat-baratan digandrungi banyak anak muda di kala itu.
Paduka Jang Mulia Soekarno sangat berhati-hati akan invasi tersebut. Ia mengangkat isu nasionalisme di atas segalanya, dan budaya Barat dianggap sebagai bentuk penjajahan gaya baru.
Ketika demam rock & roll mulai masuk ke Indonesia, presiden Soekarno memandangnya sebagai masalah yang cukup serius mengingat muda mudi mulai banyak yang terbawa arus. Pada pidato peringatan 17 Agustus 1959 bung Karno menyatakan bahwa musik model “Ngak Ngik Ngok” dilarang di Indonesia. Hanya musik berbau kedaerahan yang bersifat tradisional atau lagu-lagu bernuansa perjuanganlah yang diperkenankan untuk naik ke permukaan.
Image: karya dari Mayumi Haryoto dan Toma Avianda (Irama Nusantara)
Yah, namanya anak muda, selalu lentur di bawah tekanan. Pula sifat dasar musik yang dapat menembus batas serta mengisi ruang-ruang kosong dengan mudah. Anak-anak muda tetap dapat mengikuti tren yang sedang berlaku pada masa itu dan bahkan memainkannya hingga masuk dapur rekaman. Yang mereka lakukan adalah menabrakan tren yang dilarang tersebut dengan segala sesuatu yang dianjurkan untuk menggalang nasionalisme. Setiap macam musik dan lagu daerah serta perjuangan. Tidak ada yang dapat menahan mereka.
Hasilnya adalah hibrida yang sangat eklektik, unik dan ajaib. Contohnya seperti apa yang dilakukan oleh gerombolan musik Kota Kembang macam Nada Kentjana dan Eka Djaja Combo di akhir dekade ’50-an hingga pertengahan ’60-an, yang meramu musik serta lagu-lagu tradisional Sunda dengan rock & roll gaya awal, latin Kuba, hingga musik ala film spaghetti western. Pakem inipun tetap berlaku pada awal Orde Baru dengan kebebasan lebih yang ditawarkannya. Lagu Minang modern legendaris “Kumbang Tjari” yang dinyanyikan oleh Elly Kasim dengan iringan The Steps di tahun 1968 adalah contoh gila bagaimana dahsyatnya tabrakan muatan tradisional dengan rock psikedelik gaya Iron Butterfly. Penuh sihir.
Hingga saat ini mereka tetap terdengar fantastis.
Oleh: Irama Nusantara