Lamut: Seharusnya Nggak Mati

Kita punya ratusan, bahkan mungkin ribuan macam budaya dan kesenian. Tapi di antara sekian banyak jenis kesenian yang diwarisi nenek moyang kita itu, berapa banyak yang masih bertahan? Kenapa ada yang bisa bertahan, dan kenapa yang bisa punah atau hampir punah? Karena ada yang kita jaga dan pelihara, tapi ada juga yang nggak. Sayang banget padahal…

Masih ingat dengan seni tari topeng yang hampir punah? Nah, kesenian Indonesia lain lagi yang hampir punah itu adalah sebuah seni tutur dari Banjar (Kalimantan Selatan). Banyak yang mengira kesenian ini mendapat pengaruh dari Timur Tengah, karena kesenian Indonesia kan memang umurnya udah ratusan tahun gitu dan budaya-budaya asing bisa masuk ke sini karena kegiatan niaga dan penyebaran agama. Nah, Lamut ini lahirnya dulu saat Kerajaan Banjar dipimpin Sultan Suriansyah – Raja Banjarmasin pertama yang memeluk Islam dan memerintah tahun 1520-1540. Nggak heran kalo Lamut ini agak mirip sama wayang atau cianjuran, karena Sultan Suriansyah ini masih punya keturunan dari Kerajaan Majapahit. Selain itu, kata “lamut” berasal dari bahasa Arab “laamauta” yang artinya “tidak mati”. Ironisnya, kesenian ini malah sudah atau hampir mati…

Tapi sebenernya, Lamut ini berasal dari negeri Cina, dan awalnya pun pake bahasa Cina. Lamut ini dibawa para pedagang Cina yang datang ke Banjar sekitar tahun 1816. Pada pedagang itu sering bercerita tentang pengalaman-pengalamannya dengan Lamut ini.

Ceritanya, di Amuntai, Raden Ngabe bertemu pedagang Cina pemilik kapal dagang Bintang Tse Cay. Dari pedagang itulah ia pertama kali mendengar alunan syair Cina. Dalam pertemuan enam bulan kemudian, Raden Ngabe mendapatkan salinan syair Cina tersebut, lalu mempelajari dan melantunkannya, tanpa iringan terbang. Lamut mulai berkembang setelah warga minta dimainkan setiap kali panen padi berhasil baik. Ketika kesenian hadrah masuk di daerah ini, Lamut mendapat iringan terbang.

Lamut ini memang kayak wayang sih jam tayangnya, mulai dari jam 10 malam sampai jam 4 pagi. Pertunjukan sastra tutur lamut disebut dengan “Balamut“, sedangkan orang yang membawa cerita dalam Lamut ini disebut “Palamutan“. Seperti dalam budaya Islam, penonton dan pendengar yang perempuan duduknya dipisahkan sama penonton laki-laki. Biasanya Lamut ini jadi acara hiburan di perkawinan dan hari-hari besar keagamaan dan nasional. Ada juga yang make Lamut ini dalam proses pengobatan.

Sekarang, pelakon seni Lamut ini udah tinggal satu orang, dan umurnya udah 69 tahun. Nama bapak tua itu adalah Gusti Jamhar Akbar, yang juga sering dipanggil Amang Lamut. Lebih miris lagi, kakek yang sudah punya 12 orang cucu dan 2 orang buyut ini udah nggak bisa tampil dan pentas lagi karena gendang terbang yang jadi alat bantu untuk pergelaran Lamut ini udah habis terbakar…

Menurut Amang Lamut, kalo cuma bertutur tanpa bantuan si gendang itu, pertunjukannya jadi hambar. Mungkin kayak pertunjukan nyanyi, tapi nggak pake iringan musik gitulah. Padahal tadinya di Kalimantan, Amang Lamut ini sering ngisi acara di Radio Republik Indonesia (RRI) Banjarmasin, dan dia udah melakoni seni ini sejak umur 10 tahun!

Seni Lamut bukan hanya sekedar memiliki nilai seni tradisional khas Banjar, tapi di dalam tutur ceritanya juga disisipi pesan-pesan moral yang bisa jadi pedoman bermasyarakat.”  – H. Suriansyah Ideham, Ketua Lembaga Budaya Banjar (LBB) Kalimantan Selatan.

Masih banyak budaya-budaya Indonesia yang bernasib seperti Lamut, cuma kita nggak tau aja. Kalo hari ini kita aja baru denger kata “lamut”, bisa jadi seratus tahun lagi anak-cucu kita beneran udah nggak tau nama-nama kesenian lainnya yang sekarang masih terbilang eksis.

Salah siapa dong?

About author

Dessy Safira

Dibandingkan pelukis atau ilustrator, mungkin profesi seniman keramik atau gerabah belum terlalu banyak. Ah, berbicara tentang seni yang satu ini selalu mengingatkan kita kepada Demi ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official