Jim Power udah memperindah kota New York sejak tahun 1985, dan pada tahun 1988 dia dijuluki sebagai “Manusia Mosaik-nya Kota New York“.
Apa yang sebenernya dia lakukan?
Selama lebih dari 30 tahun, Jim memperindah dan mewarnai tepi jalan, lampu jalanan, tembok-tembok gedung, dan tempat-tempat umum lainnya dengan cerita-cerita dan cermin kehidupan dari daerah kaum miskin di Manhattan – mulai dari Al Capone, band-band terkenal seperti The Grateful Dead, gedung-gedung teater. Sayangnya, 50 lampu jalanan yang udah dihias Jim dengan mosaiknya dihancurkan saat Rudy Giulani yang anti grafitti itu berkuasa pada tahun 90-an. Tapi kemudian, mosaik-mosaik indah itu kembali karena perjuangan Jim. Memang nggak gampang, soalnya Jim sendiri adalah seorang tuna wisma. Tapi kerennya, para warga di East Village saling bahu membahu untuk mendukung Jim. Dan atas dukungan mereka semua, sekarang seorang tuan tanah mendonasikan sebuah studio untuk Jim tinggal dan berkarya. Nggak cuma itu, sekarang Jim punya website sendiri dan sebuah toko online di Etsy! Horee!
Donasi untuk Jim sampai hari ini masih berjalan, karena memang Jim memerlukan dana yang nggak sedikit secara Jim sendiri nggak punya pekerjaan lain selain membuat mosaik tersebut, dan penghasilannya boleh dibilang cuma cukup untuk dirinya sendiri. Dulunya, Jim adalah seorang pekerja serikat yang berprofesi sebagai tukang kayu.
Kalau kamu punya kesempatan untuk ke East Village di New York, kamu akan selalu melihat slogan-slogan Jim yang bersahabat itu di mana-mana. Karya Jim terbentang mulai dari Lower East Side sampai Broadway, terus turun sampai ke Eight Street, Avenue A, dari Fourth Street kembali ke Eight Street. Jadi, semacam sebuah lingkaran. Jim mempersembahkan karya seninya kepada tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah setempat. Jim juga berencana untuk membuat mosaik sejarah September 11 sebagai penghormatan kepada mereka yang menjadi korban pada peristiwa tragis tersebut.
Jim melakukannya ini hanya karena dia mencintai kotanya dengan tulus, bukan karena pengen terkenal dan mengharapkan imbalan. Dan emang yah, biasanya apa yang kita cintai pasti akan mencintai kita kembali pada waktunya – seperti yang terjadi pada Jim dan warga East Village. City Lore, sebuah organisasi yang mendukung warisan budaya New York, memberikan penghargaan pada Jim pada tahun 2004 dan menempatkannya di dalam jajaran People’s Hall of Fame. Sebuah film dokumenter singkat tentang kegiatan Jim juga udah di-publish secara online. Dan sekali lagi, ironisnya, Jim nggak pernah mendapatkan bayaran untuk hasil karya seninya itu. Sampai saat ini dia masih berjuang untuk mendapatkan dana demi kecintaan kepada kota tercintanya itu.
Pernah di tahun 2007, Jim sangat frustrasi karena nggak berhasil mendapatkan uang untuk membangun kembali lampu jalanan yang dihancurkan. Dia sakit hati banget kepada kota New York yang mau menghabiskan jutaan dollar untuk karya seniman asing seperti Olafur Eliasson, tapi karya warganya sendiri nggak dipedulikan. Tapi Jim lalu mengakui bahwa salah satu alasan mengapa ia kesulitan mendapatkan dana adalah karena dia nggak tahu caranya bagaimana melengkapi dan mengisi formulir aplikasi secara resmi.
“Aku nggak bisa membaca dan menulis seperti orang lain. Aku mengeja kata demi kata seperti cara aku mengucapkannya. Masalahnya, kadang aku juga sering salah mengucapkannya,” aku Jim dengan rendah hati. Pendidikan itu ternyata memang sangat penting ya? Bagaimanapun berbakatnya seseorang dalam bidang seni, kalo nggak punya dukungan pendidikan yang memadai pasti akan menemui lebih banyak hambatan dibanding dengan mereka yang bersekolah…
Simak yuk video tentang Jim Power di sini.
Jim Power and the Mosaic Trail from Etsy on Vimeo.
Tapi moral yang sesungguhnya dari artikel ini adalah, bahwa hanya dibutuhkan hati yang tulus dan kemauan yang besar untuk mencintai sesuatu. Selebihnya, kalo masih ada, hanyalah bonus. Dan “hadiah” yang diterima karena kesungguhan kita dalam berkarya juga bonus. Yang penting, cintai dulu sesuatu dengan tulus.
Nah, apakah kamu udah mencintai yang kamu lakukan dengan tulus?