La Biennale di Venezia adalah salah satu institusi kebudayaan dan seni yang paling bergengsi di dunia dan sudah berlangsung lebih dari 100 tahun – tepatnya sejak tahun 1895. International Art Exhibition of La Biennale akan diadakan lagi pada tanggal 1 Juni – 24 November 2013 di Giardini, Arsenale, dan lokasi-lokasi lainnya di sekitar kota Venezia.
Negara-negara peserta masing-masing akan mendapatkan sebuah paviliun nasional dalam ajang akbar itu, dan untuk pertama kalinya, Indonesia juga mendapatkan paviliunnya sendiri di acara tersebut. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Indonesia berpartisipasi dalam acara tersebut, tapi baru tahun ini Indonesia mendapatkan paviliunnya sendiri. Di tahun-tahun sebelumnya, seniman-seniman Indonesia hanya mempertontonkan karya mereka secara individual.
Lima seniman Indonesia akan ikut serta dalam acara tersebut, yaitu: Albert Yonathan Setyawan, Eko Nugroho, Entang Wiharso, Sri Astari, dan Tita Rubi. Kurator bagi perwakilan dari Indonesia adalah Rifky Effendi, dan beliau mengatakan bahwa karya para seniman ini menegaskan eksistensi seni rupa kontemporer Indonesia di hadapan publik seni dunia. Tentu saja ini bukan hal yang mudah, karena mereka harus melalui proses yang panjang dan birokratis. Pada tahun 2011 hanya ada 89 negara yag ikut, tapi di tahun 2013 ini lebih dari 100 negara akan hadir dalam festival seni tersebut – jadi memang untuk mendapatkan ruang sebesar 500 m2 itu bukanlah perjuangan yang mudah.
Kelima seniman mewujudkan tema “Magic” atau “Sakti” dalam karya-karya mereka. “Sakti diambil sebagai landasan berkarya dan kami membebaskan para seniman menuangkan ide mereka tentang kesaktian. Kalau pun kemudian karya-karya ini terasa demikian tajam mengkritisi Indonesia, kami melihatnya sebagai kritik membangun yang akan membantu negeri ini mendapatkan lagi kesaktiannya,” kata Rifky.
Meski tak secara spesifik bicara tentang Jawa, simbol-simbol tradisi Jawa, dipakai oleh Albert Yonathan, Entang Wiharso, dan Sri Astari. Albert misalnya, membuat ribuan stupa kecil dari gerabah yang disusun membentuk labirin dan mengingatkan kita pada Candi Borobudur. Bedanya, bila Borobudur berbentuk sirkular, “candi” Albert berbentuk persegi dengan hanya satu pintu masuk dan satu pintu keluar. Menurut Carla Bianpoen, art director pameran ini, labirin dengan hanya satu pintu keluar dipakai Albert untuk mendialogkan perenungannya tentang Indonesia.
Menyimak karya Albert, kita memang akan segera bisa menangkap kesunyian dan kegamangan yang ia rasakan tentang berbagai pertanyaan tak terjawab atas pergeseran berbagai nilai yang terjadi dalam masyarakat. Kegamangan yang juga tampak pada karya Entang. Sebuah gapura besar yang di mukanya terpajang dua lemari berisi kepala para presiden Indonesia yang pernah berkuasa. Wajah-wajah mereka terpiuh, seakan menyuarakan kegusaran Entang tentang carut-marut sejarah negeri ini. Adapun Astari menghadirkan pendopo berbentuk joglo yang disandingkannya dengan tujuh penari bedaya berwajah wayang.
‘Kesaktian’ dengan simbol yang lebih kontemporer ditampilkan oleh Eko dan Tita. Eko mempertanyakan kesaktian lewat perahu berkain layar robek dan beberapa penumpang yang terombang-ambing di atasnya. Figur berkepala robot, kubah masjid dan drum minyak menjadi simbol konflik individu dan konflik antarwarga.
Tita menyuguhi kita hampir selusin bangku sekolah dari kayu terbakar yang di atasnya tergeletak sebuah buku super tebal. Di latar belakang, ia jajarkan lukisan arang bergambar hutan yang gelap. Boleh jadi, Tita tengah bersedih hati untuk kesaktian yang tak mungkin dimiliki anak-anak bangsa ini tanpa pendidikan yang layak dan memadai.
Seorang konsultan seni, Bumi Purniati, berharap bahwa Pemerintah Indonesia juga mendukung kelima seniman yang terpilih ini.
Sebagian sumber: Dewi Magazine