Ibu Kartini dan Budaya Jawa

Raden Adjeng Kartini memang sudah meninggal sejak tahun 1904, tapi sampe hari ini setiap tanggal 21 April kita masih memperingati ulang tahunnya dan jasa-jasanya. Bukan cuma di Indonesia, tapi di Belanda pun nama R.A. Kartini banyak dipake buat nama-nama jalan. Di Utrecht, misalnya, ada jalan Kartinistraat. Bahkan di Amsterdam juga ada nama Puteri Yang Mulia itu dengan nama lengkap: Raden Adjeng Kartini.

Di Jepara sendiri, tempat kelahiran Kartini, ada sebuah museum yang namanya Museum Kartini. Isinya ya benda-benda peninggalan Kartini, juga benda-benda peninggalan kakaknya, RMP Sosrokartono.

Terlepas dari segala macam kontroversi berita tentang Ibu Kartini, kalo kita mendengar namanya apa yang terlintas di pikiranmu selain lagu “Ibu Kita Kartini” dan kebaya? Sanggulnya kan? Sanggul, atau konde, memang tatanan rambut yang umum sih di Asia, tapi sanggul juga banyak gayanya. Sanggulnya Kartini udah pasti jenisnya sanggul Jawa.

Nah, salah satu seniman Indonesia, yang kebetulan juga berasal dari Pulau Jawa, Nindityo Purnomo namanya, karya-karyanya banyak terinspirasi sama budaya Jawa, terutama konde. Nindityo ini lahir di Semarang, dan saat ini tinggal di Yogyakarta. Dia dulu belajar seni di The State Academy of Fine Arts di Amsterdam, juga di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta. Saat ini, Nindityo berkarya sebagai seorang pelukis dan pematung yang make berbagai media, seperti kayu, kain, batu, rotan, dan tembaga.

Kebanyakan karya Nindityo ini mengeksplorasi sistem budaya yang didasari konde tradisional. Unik banget ya? Dia menggunakan konde sebagai metafora dari budaya Jawa dengan mengeksplor banyak kemungkinan dan batasan-batasan komunikasi budaya untuk berinteraksi dengan orang-orang supaya mereka bisa nerima pesannya.

“Sayangnya, sebuah konde bisa hilang pada suatu ketika. Kadang bisa terselip dari mulut kita, lalu membuat kita tersedak. Konde, menurut saya, lebih mirip seperti sebuah penjara.” – Nindityo Adipurnomo

Nindityo ini juga pendiri Cemeti Art House di Yogya, barengan sama Mella Jaarsma. Nggak cuma itu, beliau juga udah pernah pameran di tempat-tempat pameran utama di dunia, seperti The Second Fukuoka Asian Art Triennale (2002), Gwangju Biennale (2002), Contemporary Art in Asia: Traditions/Tensions for the Asia Society Galleries, New York, (1996), and The Second Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art at the Queensland Art Gallery, Brisbane (1996).

Karya-karya Nindityo ini sangat unik, dan make berbagai macam bahan. Misalkan konde yang judulnya “Tradition and Tension” ini. Bahannya dari rotan, botol shampoo, dan besi. Konde ini dipamerin di pamerannya yang berjudul “Indonesian Eye: Fantasies & Realities”.

Ada filosofi lain tentang konde. Yang ini diambil dari buku “Falsafat Hidup Jawa” karya Suwardi Endraswara. Katanya, konde itu menggambarkan bahwa cewek itu perasaannya dalam tapi sering muter-muter. Hayooo… bener nggak tuh? Hehe. Dan yang lebih ekstrim lagi, ada juga yang bilang bahwa konde ini adalah simbol alat kelamin wanita yang bisa melebar dan menyempit, misalnya saat bersenggama dan saat melahirkan.

Terus kalo tusuk konde itu simbol apa? Ternyata, itu adalah lambang dari alat kelamin laki-laki, yang sering diungkapkan sebagai “curigo manjing rongko-rongko manjing curigo”. Gitu deh. Nah fungsinya tusuk konde ini memang memperkuat kedudukan si konde. Laki-laki memang harus menjadi pelindung perempuan. Mungkin begitulah kurang lebih.

Kesimpulannya, sekuat-kuatnya seorang perempuan tetep butuh laki-laki. Jadi emansipasi itu juga harus adil dan jangan mau menang sendiri terus. Begitu juga dengan laki-laki. Tanpa konde, tusuk konde juga nggak ada artinya kan?

Selamat hari Kartini!

About author

[OPEN CALL] Bioskop Keliling Vol.4

Salah satu peserta acara Kemang Art & Coffee Festival 2014 adalah Bioskop Keliling. Seperti biasa di kegiatan-kegiatan mereka Bioskop Keliling akan kembali menggelar “layar” alternatifnya. ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official