“Mata seniman mampu melihat hal-hal yang tak dapat dilihat oleh orang lain.”
– Belal Khaled
Pandangan Belal Khaled akan perang di Gaza (sumber: hdnux.com)
Setiap hari, Belal Khaled, seorang jurnalis foto muda yang juga ada adalah seorang pelukis, melihat begitu banyak rumah dihancurkan, bom diledakkan, dan mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan. Maklum, dirinya sedang bertugas di selatan kota Gaza. Tapi nggak hanya itu, Khaled juga melihat banyak simbol dan cerita di balik asap yang mengepul tebal di atas langit kota Gaza. Dia “dapat” melihat seorang tua yang sedang merenungi situasi Gaza, atau sepasang kuda yang tak terlihat oleh mata telanjang.
Salah satu karya Belal Khaled (sumber: hdnux.com)
Dengan menggunakan Photoshop, Khaled mencoba membagi apa yang dilihatnya kepada orang lain. Dalam keadaan tegang dan sulit sekali pun, dirinya tetap melukis. Dan sedikitnya sekitar enam orang seniman lainnya yang sebagian berasal dari luar Gaza, juga membuat lukisan dengan tema yang sama namun tentunya dengan gaya yang berbeda. Salah satunya adalah Basel Elmaqosui yang memadukan lukisan-lukisan klasik dengan pemandangan yang mengenaskan akibat perang di kota Gaza.
Di luar keenam orang seniman itu, ada sebuah komunitas yang baru saja dibentuk, yang bertujuan untuk membangun jembatan perdamaian antara Israel, Palestina, dan mungkin juga seluruh dunia.
Creative Community for Peace (sumber: creativecommunityforpeace.com)
Komunitas yang diberi nama “Creative Community for Peace” itu murni menyuarakan perdamaian, tanpa pesan sponsor golongan politik atau pendapat tertentu, dan komunitas ini membuka kesempatan bagi siapa pun untuk ikut bersama dengan mereka untuk membangun jembatan perdamaian melalui berbagai bentuk dan aliran dalam seni.
“What interests me is music, not politics. What’s good about music is that it’s a universal language. When we play on stage, it’s like a timeout from reality. People can come and relax, forget their problems and just have fun for three hours. Everyone deserves a timeout from all of the problems in the world, and that’s what music does.”
– DJ Ashba, Guns N’ Roses
Selama sekian lama, sudah terbukti bahwa kekerasan ternyata memang nggak bisa dilawan dengan kekerasan. Karenanya, kita membutuhkan taktik lainnya – dan cara yang dipakai oleh komunitas ini adalah seni.
Dalam bukunya yang berjudul “The World is Flat”, Thomas Friedman menuliskan bahwa di masa sekarang setiap orang dapat berkomunikasi dengan manusia lainnya, karena adanya internet, setiap komunitas bersaing dengna komunitas lainnya, dan dalam proses tersebut pertanyaan tentang masa depan dunai pun dipertanyakan. Friedman menyebut fenomena ini sebagai “Globalization 3.0”.
Untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda, kita memerlukan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua orang, dan bahasa itu adalah “seni”.
Mungkin memang terlalu naif untuk menganggap bahwa seni adalah bahasa universal. Juga terlalu berharap ketika kita menganggap bahwa seni dapat membuka jendela-jendela agar orang lain dapat melihat bahwa kita semua hanya manusia biasa, dan kita semua adalah sama. Tapi kalau hal ini pun nggak dapat diatasi dan dilakukan oleh seni, maka apa pun nggak akan bisa mengatasi perbedaan-perbedaan yang mengundang kebencian…
Website: creativecommunityforpeace.com
Twitter: @ccfpeace