Beberapa waktu lalu, seorang teman sempat “mempromosikan” Baraka Nusantara, sebuah gerakan yang berupaya untuk mengangkat kesejahteraan para petani di Pulau Lombok melalui kopi, ke Kopling. Didukung rasa penasaran Kopling dan inisiatif yang punya gerakan, keduanya sebenarnya sudah beberapa kali mengatur waktu untuk ketemuan, tapi mungkin baru 1-2 bulan lalu akhirnya bisa bertemu muka dengan para penggeraknya. Mereka adalah Reman Murandi dan Maryam Rodja.
Melalui wadah Kopi Pahlawan, keduanya berinisiatif untuk mengembangkan usaha di bidang pertanian kopi di Pulau Lombok. Tapi kenapa kopi? Kenapa Pulau Lombok? Simak langsung tulisan dari mereka di bawah ini.
***
“Gue suka kopi, tapi cuma tau arabika dan robusta, titik”
“Gue cuma tau kopi item, titik”
“Oke, kita sama-sama bego, mari kita riset!”
-Reman & Maryam, awal 2013-
Reman Murandi dan Maryam Rodja (sumber: milik penulis)
Berawal dari keresahan yang sama, di mana kami selalu bertanya-tanya apa yang salah dari Indonesia, negeri yang kaya alam dan banyak penduduknya, tapi kondisi masyarakatnya nggak sejahtera dan alamnya lambat laun semakin rusak. Mei 2013, dari diskusi panjang akhirnya kami memutuskan untuk melakukan perubahan kecil yang nyata.
Reman Murandi, lebih dari sepuluh tahun tinggal di luar Indonesia dan kini bekerja di salah satu perusahaan pertambangan di Queensland, Australia. Tinggal di luar negeri bukan berarti lupa dengan kampung halaman, namun justru membuahkan refleksi yang dalam terhadap negeri sendiri dan menyayangkan kenapa Indonesia nggak bisa lebih baik daripada negara lain dengan segala potensinya yang membanggakan.
Bersama dengan Maryam Rodja, peneliti hukum yang bekerja di salah satu organisasi non-pemerintah di Jakarta, keduanya menjalin komunikasi jarak jauh yang akhirnya menghasilkan sebuah ide. Maryam memiliki pengalaman dalam penelitian dan pendampingan petani terkait kedaulatan pangan melalui jalur hukum dan kebijakan. Pengalaman itu menjadi titik awal baginya untuk melakukan sesuatu yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Idenya adalah membangun mekanisme kerjasama dengan petani kopi di sebuah desa di kaki gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat. “Bisnis” ini nggak hanya memperhitungkan keuntungan finansial semata, tapi yang terpenting adalah memperhitungkan dampaknya secara sosial dan lingkungan.
Kami memilih bidang pertanian, dengan alasan Indonesia merupakan negara agraris yang kaya sumber daya alam. Data statistik menyebutkan bahwa kopi merupakan komoditas kedua terbesar setelah minyak, dan Indonesia berada di peringkat empat sebagai produsen kopi terbesar di dunia. Dari hasil bacaan kami, Kopi Arabika pada umumnya tumbuh subur di tanah vulkanik, dengan adanya Gunung Rinjani sebagai gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia, aneh rasanya kalau kopi Lombok nggak pernah terdengar layaknya kopi para tetangga, Bali dan Flores. Karena itulah, Kopi Arabika menjadi pilihan, meski diawali dengan percakapan bodoh di atas.
Desa Sembalun Lombok, Nusa Tenggara Barat (sumber: milik penulis)
Berbekal sebuah informasi dari portal berita online yang menyatakan kalau pemerintah NTB akan memperkenalkan Kopi Rinjani dan Tambora sebagai varian baru Kopi Indonesia, maka pada Juli 2013, Maryam melakukan kunjungan lapangan untuk melihat kondisi pertanian kopi dan kondisi masyarakat di Rinjani. Saat itu ia tinggal di rumah petani bernama Muhammad Sahidul Wathan dan Edison Sembahulun. Dari kunjungan singkat tersebut Maryam menggali informasi ke beberapa kelompok, mulai dari petani, tengkulak, kepala desa, tokoh masyarakat, guru, petugas kesehatan, hingga pihak kepolisian di tingkat kecamatan.
Desa itu bernama Sembalun, berasal dari kata dalam bahasa Sasak yakni Sembah Ulun, yang artinya menyembah yang lebih tinggi. Terletak di ketinggian 1200 meter dari permukaan laut, di sebuah lembah yang dikelilingi lima gunung yang indah, dan salah satunya adalah Gunung Rinjani.
Senja di Sembalun (sumber: milik penulis)
Dulu, masyarakat Sembalun cenderung hidup dalam kondisi perekonomian yang baik dan dikenal sebagai penghasil bawang putih tunggal, jeruk, dan Kopi Arabika. Lambat laun jeruk dan kopi ditinggalkan, karena di era order baru, pemerintah menggenjot produktivitas bawang putih dengan menggunakan pupuk kimia. Di akhir tahun 90-an, terjadi gagal panen besar-besaran karena tanahnya jenuh dan nggak bisa lagi ditanami bawang putih. Kondisi pertanian, pendidikan, dan kesehatan menjadi memprihatinkan. Hal ini membulatkan tekad kami untuk melakukan perubahan di desa ini.
Wathan dan Edison sangat mendukung niatan ini. Mereka memang bukan sekedar petani, mereka juga aktif dalam mengedukasi masyarakat akan pentingnya sistem pertanian yang berkelanjutan. Keduanya sangat vokal di kegiatan lingkungan hidup dan memperjuangkan hak masyarakat lokal. Wathan percaya nilai-nilai positif di Sembalun perlu diangkat dan dilestarikan demi kemajuan sebuah daerah.
Kiri: Wathan, Maryam, dan Reman sedang mengunjungi kebun kopi
Kanan: Edison dan Reman sedang mengunjungi kebun kopi (sumber: milik penulis)
Dari perjalanan mengeksplorasi Sembalun, Wathan dan Edison berbagi cerita tentang mimpinya untuk Sembalun di masa mendatang. Menyadari bahwa ada benang merah diantara mimpi-mimpi kami, munculah ide untuk bekerjasama mewujudkannya. Kami sepakat mengadopsi filosofi hidup masyarakat lokal yakni “hidup bagai lombok buaq, berprilaku sasak sankabira”, yang berarti hidup lurus seperti pohon pinang, berperilaku bersatu saling tolong menolong.
Dengan demikian, niatan kami untuk mengembangkan usaha di bidang pertanian kopi bersama petani kami wujudkan melalui wadah Kopi Pahlawan, dengan harapan petani dan kopi dapat menjadi pahlawan bagi Desa Sembalun. Selain itu, secara paralel kami sandingkan kegiatan ini dengan kegiatan pendidikan bagi masyarakat desa melalui Rumah Belajar Sankabira. Keduanya kami kemas dalam sebuah gerakan yang kami namakan Baraka Nusantara, berkah bagi Nusantara kita – Indonesia.
Tahukah kamu? Berkat gerakan ini, kebun kopi yang tadinya terbengkalai kini sudah bisa dipanen dengan kualitas yang baik! Apa sih sebenarnya program-program yang Reman & Maryam lakukan melalui Baraka Nusantara? Simak lebih jelasnya di artikel selanjutnya, ya!
Ditulis oleh:
Reman Murandi & Maryam Rodja
Email: reman.murandi@gmail.com atau maryam.rodja@gmail.com
Facebook: BarakaNusantara