Masih ingat dengan Baraka Nusantara? Sebuah gerakan yang berhasil menghidupkan kembali kebun kopi di Desa Sembalun yang dulu mati dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Desa Sembalun melalui gerakan socio-enterprise? Kopling pernah beberapa kali berkolaborasi dengan Baraka Nusantara, dan yang terakhir adalah waktu diadakannya Pameran Kopi Keliling Volume 8 bulan Agustus lalu, di mana hasil penjualan karya yang dipamerkan saat acara akan digunakan untuk membantu pembangunan Rumah Belajar Sankabira di Desa Sembalun, Lombok.
Bulan September lalu, salah satu tim Baraka Nusantara, Cynthia Annisa (Icha), ada yang berangkat ke Desa Sembalun untuk sebuah kunjungan singkat dalam rangka mempersiapkan pembangunan Rumah Belajar Sankabira. Membaca cerita Icha, kamu pasti akan menemukan rasa sedih, kesal, haru, dan kagum seolah kamu adalah bagian dari masyarakat Sembalun. Satu hal yang pasti, Kopling sangat menantikan saat di mana Rumah Belajar Sankabira terealisasi!
Tanpa perlu panjang lebar lagi, yuk kita simak update dari Icha mengenai keadaan di Desa Sembalun!
————-
“Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk Bangsa Indonesia dengan cara Indonesia”
– Ki Hajar Dewantara
Ibu saya berulang kali bilang bahwa Indonesia dari Sabang sampai Merauke itu memiliki keindahannya sendiri, namun sayangnya itu kurang terjaga dengan baik – sehingga mengikis keindahan yang harusnya bisa selamanya kita nikmati. Keindahan ini menurut ibu saya, tidak hanya terbatas terhadap keindahan alamnya saja, namun juga, manusianya. Tiap manusia Indonesia itu unik, memiliki caranya sendiri dalam menjalani hidup, berkembang, dan berinteraksi dengan sesamanya. Sama seperti, manusia-manusia yang sangat ramah dan rendah hati yang saya temui di Sembalun. Sorot mata mereka yang penuh harap dan kehangatan mereka ketika menyambut kedatangan saya dan ibu telah membuat saya jatuh cinta dengan mudahnya.
Saya mengunjungi Sembalun akhir September kemarin, tepat di akhir musim kemarau – walaupun banyak sisi bukit Pergasingan yang terbakar, namun tidak sedikit pun hal ini meresahkan warga sekitar. Mereka malah bahagia melihat bukit ini terbakar. Alasannya adalah karena saat Pergasingan terbakar, ini merupakan pertanda bahwa musim hujan akan segera datang. Sebagai orang yang lahir dan besar di kota selama 24 tahun, hal ini membuat saya kagum. Kagum akan kearifan lokal serta pengetahuan alam dan tanah air mereka yang menunjukan hubungan unik yang mereka jalin dengan lingkungan sekitar.
Berugak Pak Wathan
Menikmati Kopi Pahlawan di Berugak Pak Wathan (Sumber: Penulis)
Sambil berduduk santai di berugak (saung) milik Pak Wathan – saya, Pak Wathan, Bu Diah, ibu, dan Edison menikmati segelas Kopi Pahlawan yang diseduh sendiri oleh Pak Wathan. Jujur, ini pertama kali saya merasakan nikmatnya Kopi Pahlawan di tanah kelahirannya. Banyak topik yang kita bahas sambil lalu, seperti angin sepoi-sepoi yang semilir berhembus. Namun, sebuah hal menarik yang dilontarkan oleh Bu Diah membuat hati saya agak sedikit tergetar, “Di sini mbak sekolah-sekolah baru direnovasi atau dibangun ketika kita disorot oleh pihak luar, kalo kita nggak gitu ya mbak mana ada itu sekolah di Bilok Petung dibenerin…mana ada mbak. Sembalun ini juga lucu…Pemerintah sih mbak yang lucu, mungkin karena tempat kita ini terpencil, jadinya banyak guru bahkan dokter juga mbak yang ‘nakal’ dibuang kesini. Biar mereka jera katanya…cuma masa anak-anak kita yang dikorbankan? Masa orang tua kita yang dikorbankan? Masa masyarakat kita yang dikorbankan untuk membuat mereka jera?” – Saya hanya bisa tertegun diam.
Pak Wathan menambahkan, “Di sini itu mafia-mafia PNS banyak mbak…tinggal bayar, si calo ikut tes CPNS, pasti langsung 100% diterima. Jadi, ya saya nggak bingung juga kalau banyak guru atau dokter atau bahkan petugas pemerintah yang nggak kompeten…dan akhirnya dibuang kesini untuk didisiplinkan. Makanya, mbak…anak-anak muda Sembalun waktu itu pernah saya kumpulkan…ngobrol sana sini sampe akhirnya saya coba gerakkan mereka bahwa Sembalun hanya bisa dibangun oleh kita dan jika ingin maju kita semua harus ikut berjuang bersama…karena, pemerintah itu sibuk ngurusin hal lain, mending kita yang sibuk mengembangkan desa kita sendiri.” Mendengar itu saya hanya bisa mengangguk setuju – lalu saya bertanya, “Gurunya se-nggak kompeten apa, Pak?” Sambil mengaduk kopinya sendiri Pak Wathan menjawab, “Satu hari adalah satu orang ini mbak, keluarganya ngebayar calo buat bantu dia untuk ikut tes CPNS di Mataram…akhirnya dia keterima dan menjadi guru. Kebetulan dia kebagian untuk ngajarin matematika. Satu hari dia memberikan tugas ke murid-muridnya, ketika nilai sudah dibagikan, ada seorang anak yang merasa bahwa jawaban dia benar tapi disalahin. Akhirnya, anak ini membawa nilainya ke rumah dan bertanya kepada orang tuanya untuk dicek. Dan, ternyata memang jawabannya benar mbak. Besoknya si anak ini melaporlah ke si guru bersama orang tuanya…setelah dihitung ulang memang si anak ini benar, tapi karena gengsi si guru ini kelewat tinggi dia bilang, ‘Kalo saya udah bilang ini salah ya salah’ walaupun hasil hitungannya benar. Ya begitulah mbak…” Lagi-lagi saya tertegun, miris dan, bingung harus merespon apa.
Nonton Bareng di Desa Bilok Petung
Seperti yang sudah kita rencanakan, pada malam harinya kami mengadakan acara kumpul-kumpul pemuda dan nonton bareng di desa Bilok Petung – sekitar 20 menit dari Sembalun Lawang. Setelah Pak Wathan memperkenalkan saya dan ibu saya sebagai perwakilan dari Baraka Nusantara, kami disambut dengan sangat hangat oleh Kepala Desa Bilok Petung dan juga para pemudanya. Hal paling mengagumkan bagi saya adalah ketika empat orang pemuda memperkenalkan diri mereka sebagai pendiri balai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang berdiri sejak tahun 2009. Empat pemuda ini memiliki gelar Sarjana Pendidikan dari salah satu universitas di Lombok, namun status mereka sebagai pendidik hanya diaku sebagai guru honorer – walaupun perjuangan mereka lebih berat dibanding pengajar dengan status PNS kebanyakan.
Salah satu dari mereka bercerita, “Di sini mbak, sebagai guru honorer ya…kami hidup dari hasil tani dan juga iuran bulanan murid-murid agar bisa makan dan juga menjalankan PAUD ini. Ya, kalo mbak bisa liat, hanya seperti ini mbak kondisinya…gedung ya nggak ada. Masih minjem Pak Kades hehe.” Kemudian saya bertanya, “Lho…pemerintah nggak peduli apa mas? Ini kan sudah berdiri dari tahun 2009” – Lalu dia menjawab, “Ya…masih dapet dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) sih mbak, cuma itu pun juga untuk gaji kita saja mbak. Bisa dibayangkan…kami hanya digaji Rp 350,000/3 bulan. Suka bingung kadang, mau dipakai sebentar juga habis. Beginilah mbak hidup kami, ingin sekali kami memajukan Sembalun…namun, apa daya…kami ini orang merdeka cuma kok rasanya tidak seperti tinggal di negara merdeka?” Mendengar keluhan itu, saya hanya bisa tersenyum kecil. Sepertinya Pak Wathan tahu kebingungan saya, lalu dia pun membantu saya menjawab, “Kalau kalian sendiri berpikir bahwa kalian merasa belum merdeka, ya itu masalah kalian. Karena, merdeka atau terjajahnya diri kita itu…hanya kalian yang bisa menentukan. Kalian sendiri lah yang bisa memerdekakan diri kalian dari penjajah yang ada di kepala kalian…”
Nonton Bareng di desa Bilok Petung (Sumber: Penulis)
*Di acara ini, bersama-sama kami menikmati sebuah travel series karya Andra Fembriarto yang berjudul Jalan-Jalan Men! yang kebetulan mengangkat perjuangan para petani kopi di Sembalun. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan diputarnya film “Denias: Senandung di Atas Awan” karya John de Rantau.
Desa 1000 Mesjid dan Kue Bantal
Keesokan paginya, Pak Wathan mengajak kami berkeliling ke desa adat Blek – untuk melihat keunikan arsitektur Sembalun di masa lalu, kemudian kami naik ke atas Bukit Selong untuk menikmati indahnya desa di lembah Rinjani ini. Menurut saya keindahan Sembalun tidak hanya terbatas pada keindahan alamnya…namun juga toleransi kegamaan mereka yang begitu kuat. Dari atas Bukit Selong, Pak Wathan mengajak saya untuk menghitung jumlah kubah Mesjid yang dapat terlihat, “Lihat ya mbak…di situ ada 1…2…3…4,5,6…nah itu yang ke 7 sama 8 lagi dalam proses pembangunan tuh…” Karena penasaran, saya bertanya, “Pak kenapa Mesjidnya mesti banyak banget sih? Bukannya 1 Mesjid yang sekalian besar aja gitu cukup ya?” Lalu beliau menjawab, “Mbak sama Ibu tahu tidak…Sembalun ini disebut sebagai desa 1000 Mesjid. Di sini, kami memiliki 7 aliran Islam yang berbeda. Tapi, indahnya…walaupun cara berdoa kami berbeda, toleransi kami sebagai warga Sembalun itu masih kuat. Contoh nih ya Mbak, misalnya Mbak mau bangun Mesjid baru dan butuh bantuan untuk mengecor fondasi…ya Mbak tinggal umumin saja nanti pake speaker di salah satu Mesjid, terus lihat deh, besok paginya setelah (sholat) Subuh pasti orang-orang dari berbagai kalangan pasti akan datang membantu, nggak peduli dari aliran agama apa dia berasal.” Ditemani oleh semilir angin, saya berandai-andai betapa indahnya jika Rumah Belajar Sankabira nantinya bisa menjadi tempat berkumpul semua masyarakat Sembalun dari berbagai aliran agama ini…bertukar ilmu dan cerita demi melestarikan indahnya kebudayaan bermasyarakat mereka.
Pemandangan dari atas Bukit Selong (Sumber: Penulis)
Lalu kami pun turun bukit dan berhenti sebentar di sebuah warung kecil yang dijaga oleh dua orang gadis remaja. Pak Wathan membelikan kami sebotol aqua dingin dan dua potong kue bantal (snek asli Sembalun yang berbentuk seperti nagasari). Sambil berjalan kembali ke mobil, saya bertanya pada Pak Wathan mengenai umur para penjaga warung itu, karena mereka masih terlihat sangat muda tapi mereka seperti sudah berkeluarga. Pak Wathan pun bercerita, “Mbak pasti kaget kalo saya bilang mereka itu masih sekitar 15-17 tahun. Salah satu dari mereka itu mantan murid istri saya (Bu Diah) di SMP Terbuka mbak. Dia kalo nggak salah sedang hamil anak pertama. Di sini begitu mbak, pernikahan anak – maksudnya di umur yang muda sekitar 15 tahunan ke atas itu wajar. Alasannya ya karena, menurut orang tua mereka…kebanggaan saja gitu mbak bisa menikahkan anaknya dan juga sudah saja begitu lepas beban mereka dalam membesarkan anak tersebut. Selain itu juga, karena di sini SMP hanya ada di Sembalun Lawang, jadi buat mereka yang kurang mampu…ya sudah mbak setelah SD selesai, mereka ya putus sekolah. Karena jarak yang ditempuh terlalu jauh kalo harus ditempuh dengan jalan kaki.”
Saya kemudian bertanya mengenai apa itu SMP terbuka – sekolah di mana tempat Bu Diah mengajar. Pak Wathan menjelaskan bahwa SMP ini merupakan inisiatif pemerintah yang berfokus pada kegiatan praktek seperti bertenun. Namun, mirisnya beliau menambahkan, “…tapi, mbak muridnya sedikit. Guru-guru di sana suka kewalahan untuk cari cara guna menarik murid-murid agar mau masuk kelas. Mereka sudah lebih sibuk kerja di ladang dan sawah buat bantu orang tua mereka atau menikah, jadi minat belajar mereka kurang. Bu Diah dulu sampai pernah ngasih mereka uang jajan, beliin mereka jajanan pasar kayak snek-snek gitu …bahkan sampe beliin pulsa mbak. Bisa dibayangkan. Makanya mbak, kami semua berharap jika nanti Rumah Belajar Sankabira sudah jadi dan bisa digunakan…kami mau menggerakkan rasa ingin belajar itu lagi, kalau nggak, ya sayang sekali generasi muda Sembalun ini.” Pernyataan Pak Wathan ini telah meneguhkan hati saya bahwa pembangunan Rumah Belajar Sankabira harus tercapai dan berjalan demi mendorong semangat belajar para generasi muda di desa seribu Mesjid ini.
Rumah Belajar Sankabira
Sembalun (Sumber: Penulis)
Di akhir perjalanan singkat saya ini, Pak Wathan dan Edison mengajak saya untuk melihat site Rumah Belajar Sankabira yang terletak di kaki Bukit Pergasingan. Semesta memang memiliki caranya sendiri untuk mempertemukan orang-orang yang memiliki satu frekuensi – ketika Pak Wathan mengungkapkan impiannya untuk mengolah tanah ini menjadi sebuah Rumah Belajar berbasis alam, semangat saya langsung tersulut. Sebagai seorang pengajar, saya memang memiliki impian yang sama dengan Pak Wathan. Dan, memang itulah yang ada di kepala saya ketika Maryam meminta saya untung merancang kurikulum pendidikan di Rumah Belajar Sankabira. Sebuah ruang belajar yang tak bersekat – tak memiliki tembok beton dan menyatu dengan alam. Ruang yang memberikan kesempatan bagi masyarakat Sembalun dari berbagai usia dan kalangan untuk bertukar pikiran dan ilmu mengenai tanah dan kebudayaan mereka – sarana pelestarian moral dan kearifan lokal Sembalun yang hampir punah. Serta ruang yang memberikan kesempatan bagi anak-anak Sembalun untuk mengeksplorasi alam dan mengikuti minat belajar mereka mengenai lingkungan tanpa ada batasan.
Impian ini sejalan dengan pendekatan pendidikan Reggio Emilia yang berfokus pada minat dan keinginan anak dalam mengeksplorasi lingkungan, komunitas, dan alam mereka. Sehingga pendidik berperan sebagai kolaborator dan fasilitator belajar yang mengarahkan minat dalam proses eksplorasi mereka nantinya. Kami juga memiliki mimpi agar Rumah Belajar Sankabira nantinya dapat membiayai dirinya sendiri. Dengan membudidayakan kemampuan para anak-anak muda serta orang tua murid di sekitar Rumah Belajar dalam menghasilkan kerajinan tangan yang dapat dijual.
Baraka Nusantara memiliki impian yang banyak dalam membantu desa di kaki Gunung Rinjani ini. Keindahan alam dan ketulusan hati para masyarakatnya telah membuat kami jatuh cinta. Melalui Kopi Pahlawan harapan kami dan para pahlawan kopi di Sembalun bersatu, demi mengumpulkan dana dalam merealisasikan pembangunan Rumah Belajar Sankabira. Secercah harapan yang semoga saja bisa menjadi awal dari berkembangnya kualitas pendidikan di desa ini. Terima kasih Kopi Keliling, Wujudkan.com, dan para donator atas dukungannya yang tak pernah putus dalam membantu kami. Semoga semesta terus melindungi kalian.