ARTJOG Trip Part 2

Walau sempat tertunda cukup lama trilogi Jogja Trip Kopi Keliling karena sibuk dengan persiapan acara ACT lalu, akhirnya sempat juga nih nulis terusan dari artikel sebelumnya, ARTJOG Trip Part 1. Setelah sempat sedikit menyinggung kota Jogja dan ngajak teman-teman semua jalan-jalan ke Borobudur, kali ini langsung aja kita bahas pameran  ART|JOG|12 di Taman Budaya Yogyakarta.

ART|JOG

Ini adalah kunjungan kami yang pertama ke perhelatan akbar ART|JOG. Dari informasi yang kami dapat dari websitenya, ART|JOG kali ini adalah yang kelima. Buat kamu yang belum tau, ART|JOG merupakan sebuah art fair yang unik. Berbeda dengan art fair lainnya, ART|JOG secara langsung memamerkan karya seni rupa kontemporer Indonesia, mulai dari karya seniman-seniman muda berbakat hingga perupa papan atas Indonesia.

Setelah tahun lalu ART|JOG hadir tanpa tema, kali ini ART|JOG|12 kembali mengusung tema khusus untuk memayungi keseluruhan kegiatannya, yaitu  ‘Looking East – A Gaze upon Indonesian Contemporary Art’. Melalui tema kuratorial ini, diharapkan kita bisa melihat dengan lebih jeli apa yang sedang berlangsung di kawasan timur dunia, terutama di Indonesia. Lengkapnya mengenai penjelasan ART|JOG bisa kamu intip dulu di sini sebelum lanjut Kopling ajak lihat-lihat karya yang dipamerkan.

Sejak langkah pertama masuk areal Taman Budaya kami sudah dibuat tercengang oleh karya I Made Widya Diputra yang berjudul ‘Hope On Hold’ yang berdimensi 600 x 800 x 500 cm. Seekor ‘gajah’ yang teronggok di atas tumpukan batok kelapa ini bercerita mengenai kondisi Indonesia saat ini. Negara yang kaya dengan sumber pangan tetapi belum semua rakyatnya merasakan kesejahteraan, ibarat kata pepatah ‘Kelaparan di Lumbung Pangan’.

Namun sang gajah tidak sendirian. Di pintu masuk gedung pameran dipenuhi dengan (mungkin) ribuan batang bambu yang saling mengait membentuk sebuah visual yang indah. Bambu tersebut bukan tumbuh begitu saja, namun merupakan karya dari Joko Dwi Avianto yang berjudul ‘The Lost Vegetation’. Merupakan sebuah simbolisasi vegetasi “hutan” yang berpindah wujud bahkan menghilang. Banyak aktivitas manusia (pada jamannya) di bawah pohon beringin, mereka nongkrong, berdagang, dll. Kalau pohon (naungan) tersebut hilang, maka hilang juga segala aktivitas di bawahnya. Bambu dalam seni instalasi ini merupakan bentuk perpindahan wujud dari vegetasi ilmiah menjadi sekedar material yang membentuk naungan baru.

Karya ‘The Lost Vegetation’ di atas semakin cantik ketika hari sudah malam. Lighting yang diposisikan di beberapa titik membuat karya semakin dramatis. Liat aja nanti fotonya di akhir artikel ini. Lanjut dulu yah. Masuk ke dalam “hutan” bambu tersebut, kita akan disambut oleh mas dan mbak penjaga meja resepsionis. Tersedia brosur, merchandise, hingga buku katalog ART|JOG|12. Kopling beli buku katalognya, kalau kamu mau liat-liat boleh kok pinjem sebentar hehehe, ‘colek’ aja via twitter.

Karya ‘besar’ berikutnya adalah sebuah pesawat bermesin propeller berbahan stainless steel buatan Pintor Sirait. Karya berjudul ‘Mythic Airways’ ini adalah bentuk usaha sang seniman untuk lebih memahami mitologi dasar budaya Indonesia yang sangat besar. Indonesia memiliki sejarah yang sangat menarik sekaligus memilukan tentang kerajaan, rezim pemerintahan, bencana alam, hingga pengaruh agama. Hal-hal tersebut berdampak pada terbentuknya budaya kita yang bersinggungan dengan era global saat ini.

Kalau kita belok kanan setelah karya ‘Mythic Airways’, kita akan menjumpai karya dari mas Agung Kurniawan yang berjudul ‘Artist is Beautiful Machine’. Melalui karya yang dimulai sekitar tahun 2011 lalu, mas Agung ingin memperlihatkan bagaimana seniman di Indonesia bekerja. Dalam pekatnya industrialisasi seni, maka seniman yang semula berperilaku “organik” harus mentransformasikan dirinya seperti sistem baru yang melingkupinya. Dalam konteks ini pilihan yang paling mungkin adalah menjadi mesin.

Di balik penggambaran ‘menyedihkan’ seniman di Indonesia, ternyata mas Agung masih menyimpan sebuah optimisme. “Sebagai penggemar film fiksi surealis saya percaya bahwa mesin-mesin itu punya kesadaran absurditasnya sendiri. Mesin-mesin itu bisa memakan tuannya, saling membunuh, atau bisa juga menjadi sahabat yang baik sebagai pengganti anjing”.

IVAA ArchiveAID

Selain menampilkan karya-karya perupa papan atas Indonesia ART|JOG|12 juga menampilkan pameran galang dana yang dilakukan oleh IVAA (Indonesian Visual Art Archive) yang bertujuan untuk mendukung kegiatan pendokumentasian seni visual Indonesia. Kegiatan galang dana ini sudah dimulai sejak tahun 2007 dengan nama ‘IVAA BookAID’, yang akhirnya berubah menjadi ‘IVAA ArchiveAID’. Dalam kesempatan kali ini ‘IVAA ArchiveAID’ menampilkan sebanyak 103 karya dari 69 perupa. Tiga di antaranya adalah teman baik Kopling: Diela Maharanie, Lala Bohang, dan Isrol Triono.

Semakin masuk ke dalam, semakin kita disambut dengan hangat oleh karya-karya yang luar biasa maksimal menurut kami. Baik dari segi ukuran, muatan, hingga eksekusi karya, semua bisa dibilang sangat-sangat luar biasa. Area ruang pameran Taman Budaya yang megah juga semakin membuat pameran ART|JOG|12 semakin kerasa standar internasionalnya.

Kalau semisalnya kamu belum pernah ke Taman Budaya, tapi pernah mampir ke Galeri Nasional Jakarta, akan segera kamu sadari kalau dari segi ukuran, Galnas jadi seakan kecil. Setting kota Jogja yang kental secara budaya juga mendukung nuansa berkesenian ART|JOG|12 yang luar biasa.

Random

Selain karya-karya luar biasa, yang menjadi highlight pengalaman ART|JOG kami adalah melihat betapa antusiasnya masyarakat Jogja terhadap hadirnya pameran ini. Kami datang satu minggu setelah acara pembukaan, namun jumlah pengunjung yang hadir saat itu tergolong ramai. Ragam pengunjung yang cukup random mulai dari anak-anak muda, opa-opa, hingga ibu-ibu yang membawa anak kecil menjadi sebuah pemandangan yang sangat menyenangkan.

Ngomong-ngomong soal atusiasme masyarakat Jogja, jadi ingat sebuah pengalaman lucu ketika kami naik becak di hari berikutnya. Seperti layaknya semua sopir becak di Jogja, pasti biasa banget basa-basi ngajak ngobrol turis yang naik becaknya. Kami pun menjadi ‘korban’ dari bapak sopir becak yang sangat senang sekali ngobrol panjang lebar dan suka mengulang pernyataan berkali-kali. Si bapak pun bertanya, sudah kemana saja kami selama di Jogja. Lalu kami pun bercerita mengenai ART|JOG. Dengan sigap, si bapak menanggapi “Ohh, itu yang kura-kura tidur di atas kelapa ya?”.

Walau salah menyebut kura-kura daripada gajah, namun fakta dimana bapak sopir becak tersebut bisa aware terhadap ART|JOG bisa menjadi indikasi apresiasi, penyebaran informasi mengenai seni yang baik di Jogjakarta. Beda jauh dari yang biasa kita jumpai di kota lain seperti Jakarta misalnya. Pengalaman beberapa hari di Jogja saja sudah bisa membuat kami jatuh cinta sama suasana dan budaya kreatifnya. Enggak heran sih saat ini Jogja menjadi salah satu pusat seni yang diperhitungkan dunia.

Overall, sangat beruntung bisa dapat kesempatan menghadiri ART|JOG|12. Sebuah pengalaman seru yang memuaskan baik mata dan hati. Pasti akan datang lagi ke Jogja untuk acara ART|JOG berikutnya!

Lihat foto-foto karya di ART|JOG|12 yang berhasil Kopling dokumentasikan di sini.

About author

Pencil vs Camera

Buat kamu yang hobi banget install berbagai macam aplikasi foto di gadget kamu, pasti kamu juga punya aplikasi Camera 360 kan? Tau nggak kamu bahwa ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official