Yang ingin aku komunikasikan lebih ke isi hati sebenarnya, jadi semacam curahan hati hehehe. Iya, karena aku ingin orang tersebut dapat berinteraksi dengan karya-karyaku.
Demikian ungkap Arzena Ersidyandhi, saat ditanyakan apa yang ingin disampaikan oleh karya-karyanya. Pemuda kelahiran Wonogiri, 5 Februari 1994 yang bisa dipanggil Jena ini pertama kali berkenalan dengan dunia seni sewaktu masih duduk di bangku SMA, meski mengaku lebih dulu menyukai dunia musik. Dan musik inilah yang memperkenalkan seni kepadanya.
Jadi, saat itu salah satu studio musik, yang merupakan milik temannya, dihiasi dengan mural yang indah. Karena terpesona dengan detail mural tersebut membuat Jena tertarik dengan visual art dan akhirnya memutuskan untuk kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual. Tepatnya di ISI.
Meski sama sekali tidak bisa menggambar, Jena tetap nekad masuk ke jurusan tersebut. Beruntungnya ada jalur masuk yang murni hanya mengandalkan nilai sekolah, sehingga ia bisa diterima di jurusan yang diidamkannya tersebut. Tanpa pengetahuan dan skill, ia tetap nekad belajar di DKV. Meski pernah diolok-olok salah satu dosen karena ketidakmampuannya dalam menggambar, Jena tetap bertahan. Dengan banyaknya teman yang siap membantunya, Jena pun tekun belajar dan berlatih sehingga akhirnya bisa mahir dalam menggambar.
Yang mendorong Jena untuk tetap menekuni bidang visual art adalah para sahabatnya dan faktor yang membuat ia tetap menekuni adalah agar bisa mengekspresikan diri serta mencurahkan isi hati melalui visual art dan perantaraan berbagai media.
Selain sahabat, orang tua juga mendukung Jena dalam menekuni visual art. Meskipun mengaku masih dalam tahap belajar, tapi para karibnya tersebut tak bosan-bosan dalam membanti Jena dalam mendalami dan mengasah kemampuan visual art-nya.
Inspirasi biasa didapat Jena dari lingkungan sekitar, misalnya kejadian yang pernah dialaminya, terutama yang menyangkut suasana hati. Situasi khusus tertentu yang dialaminya akan menjadi inspirasi, terutama jika “galau melanda,” katanya sambil terkekeh. Musik juga masih menjadi salah satu instrumen penting dalam memberi dirinya inspirasi, terutama yang bersifat instrumental.
Jika ditanya soal style, sampai sekarang Jena mengaku masih belum menemukan atau menentukan style tertentu untuk karya-karyanya. Saat ini ia berkarya hanya berdasarkan selera hatinya saja, tanpa batasan gaya tertentu.
Jena cukup percaya diri menyebutkan dirinya sendiri sebagai salah satu seniman yang menjadi inpiratornya, selain Robi Dwi Antono dan beberapa seniman luar.
Karya-karya Jena sempat disertakan dalam beberapa pameran di berbagai kota, seperti Surabaya untuk acara festival foto Surabaya, pameran guyub rupa di Unnes Semarang, Festival Kesenian Indonesia di ISI Jogja, ataupun plasa Desain di Jakarta, dan banyak lagi.
Pameran yang seru menurut Jena adalah pameran yang tidak memiliki batasan dalam karyanya, dalam arti tidak hanya menggunakan media konvensional seperti di-frame dan di-display sejajar dengan jarak beberapa sentimenter misalnya. Ia ingin sebuah pameran yang “lebih nakal” dalam merespon suatu space atau ruang yang digunakan dalam pameran tersebut.
Jena sebenarnya tidak terlalu gandrung dengan kopi, meski kopi merupakan salah satu media baginya untuk berkumpul bersama teman-teman di waktu senggang atau tidak ada aktivitas. Ada pengalaman lucu menyangkut kopi yang pernah dialaminya. Kejadiannya saat pertama kali Jena memasuki sebuah coffee shop, sembari menunggu ibunya yang tengah berbelanja. Ia memesan kopi dan kaget saat harus membayar karena harganya cukup mahal. Sang ayah kemudian berkata kepada kasir, “kok harganya mahal banget tho, mas, padahal cuman kopi”, dan Jena hanya bisa tertawa di belakang ayahnya, mendengar pertanyaan sang ayah.
Penulis: Haris Fadli Pasaribu