Romantisme Kopi Gayo di Tengah Bencana

Di malam yang dingin ini tarawih diakhiri dengan bincang-bincang sambil minum kopi. Tak ada khotbah ataupun ceramah, semuanya bebas berbicara ngalor-ngidul. Ini justru mirip seperti sekumpulan orang di kedai kopi, hanya saja tak ada meja dan kursi. Di menasah yang sudah miring ini suasana tetap hangat seolah tak ada bencana apapun yang menimpa Cang Duri, sebuah desa di pedalaman Gayo, Aceh Tengah. Mereka juga tak peduli dalamnya jurang di samping menasah, apalagi beberapa tebing di sekitaranya telah longsor. Malamlah yang melindungi segalanya, gelapnya malam menutupi semua ketakukan. Ketika mentari menyapa, satu-satunya menasah yang masih berdiri di Cang Duri ini menjadi saksi gundulnya tebing di seberang lembah, rumputnya kering kehitam-hitaman akibat kebakaran.

Kopi gayo ini terasa sangat manis. Entah karena mereka tahu saya orang Jogja atau karena selain berladang kopi mereka juga punya ladang tebu yang luas. Jadi sah-sah saja memakai banyak gula tak perlu khawatir kehabisan. Setelah hening mengamati orang-orang berbicara dengan bahasa Gayo pembicaraan kecil mengubahku menjadi manusia, tak lagi seperti alien di planet asing. Untung leluhur kita mewarisi bahasa persatuan yang bisa digunakan siapa saja. Bayangkan jika tak ada bahasa persatuan, tiap pergi ke daerah lain kita harus belajar bahasa yang baru. Di desa kecil seperti Cang Duri terdapat empat bahasa yang digunakan, yakni bahasa Gayo, Aceh, Jawa dan Indonesia. Saat sahur tiba warga dibangunkan menggunakan semua bahasa tersebut melalui pengeras suara di menasah.

Pembicaraan ini tentang kopi, di sini semua orang menanam kopi sehingga dengan mudah mereka membicarakannya. Hamparan kebun kopi dan tebu menghiasi seluruh desa bahkan mungkin seluruh kabupaten. Di antara pohon kopi dinaungi lamtoro, orang-orang menyebutnya petai dan juga beberapa tanaman buah seperti jeruk, alpukat, mancang dan durian. Kebun kopi berada di belakang rumah menyatu dengan pemilik kebun. Sementara di sekitar rumah tumbuh liar tanaman yang bisa dikonsusmsi keluarga seperti ubi, terong, terong gelatik, tomat, cabai, markisa, bayam, kacang panjang, buncis, dan jipang. Jadi selain bisa menikmati kopi setiap hari, kita juga bisa menikmati sayur-mayur dan buah-buahan. Di saat terjadi bencana seperti ini sebenarnya nutrisi tetap dapat dipenuhi dari sekitar rumah.

Kopi Gayo telah ditinggalkan warga, padahal salah satu kedai kopi terkenal lintas negara asal Amerika menjadikannya sebagai produk unggulan. Pohonnya besar, ukuran kopinya kecil, perlu waktu tiga tahun untuk panen dari awal tanam. Saat ini petani menanam kopi yang ukuran pohonnya kecil dan pendek, paling tinggi sekitar dua meter, mereka menyebutnya Kopi Ateng. Nama ini sesuai ukuran sang pelawak legendaris Indonesia, tapi bisa juga merupakan akronim dari Aceh Tengah. Kopi tersebut dibudidayakan melalui bibit unggul, yang tentu saja membutuhkan bantuan pupuk sintetis untuk membudidayakannya. Entah mana yang dimaksud Kopi Gayo, apakah varietas asli kopi tersebut atau dari daerah mana kopi tersebut dibudidayakan. Yang jelas kedai kopi terbesar itu telah mengolahnya dan memasukkan di menu kedainya dengan nama Gayo. Mungkin mereka tahu orang Gayo tak mau disebut orang Aceh, jadi namanya Kopi Gayo bukan Kopi Aceh.

Ketika pagi telah tiba, anak-anak remaja berpamitan tak bisa pergi ke sekolah darurat karena mereka harus membantu orang tuanya memetik kopi. Akhirnya kita putuskan untuk membantu memanen kopi sekaligus berdiskusi tentang kopi. Diskusi ini tidak selalu ilmiah karena tidak didasari dengan teori-teori tertentu. Dalam kondisi darurat seperti ini mana bisa mencari literatur, dalam kondisi normal saja anak-anak SD di Cang Duri mengutarakan bahwa mereka susah mengakses perpustakaan sekolah, saat ini buku-buku justru berserakan tak karuan terkena panas dan hujan. Ya, ini hanya sebatas diskusi untuk menghilangkan trauma pasca gempa yang telah meluluhlantahkan desa mereka.

Sambil memegang kopi yang telah dipetik, duduk di samping ladang kopi dengan kursi sekolah yang telah rusak, kami mencari tahu dari mana datangnya kopi ini dan sampai di tangan siapa saja setelah dipanen. Kata salah satu petani, kebun-kebun kopi berkembang sejak 70-an, mereka menanam kopi Ateng dari biji kopi petani lain yang telah ditanam sebelumnya. Dalam diskusi ini, menurut perkiraan remaja SMP yang kebetulan semuanya perempuan, kopi berkembang sejak zaman kolonial. Kopi Gayo menjadi minuman favorit orang-orang Eropa, kemudian para penjajah melakukan tanam paksa terhadap pribumi dan hasil panen petani menjadi komoditas dagangnya. Pada saat itu rempah-rempah dan bahan makanan yang menghangatkan tubuh sangat menguntungkan untuk dijual di Eropa, sayangnya masyarakat kita tidak bisa mendapatkan keuntungan tersebut.

Sayangnya pula meskipun telah merdeka sampai saat ini kita masih dijajah oleh negara lain. Kopi Gayo menjadi salah satu sarananya. Kopi Gayo telah sampai ke tangan “orang lain” melalui kedai-kedai kopi elit. Kita menanamnya dengan susah payah tetapi kita juga yang membelinya kembali dengan harga yang relatif mahal. Petani selalu terlilit utang dengan pengepul yang membeli hasil panennya, sementara eksportir menikmati hasil jualan kopinya ke luar negeri. Saat ini, di tengah bencana yang melanda petani mereka tetap setia mengirim kopi ke luar negeri.

Orisinalitas Kopi Gayo juga telah tereduksi bukan hanya karena varietas aslinya tidak ditanam lagi tetapi juga karena kondisi alamnya telah berubah. Meskipun tanah di dalam kebun kopi baik-baik saja tetapi lahan-lahan di sekililingnya telah rusak. Kelihatannya memang tidak berpengaruh tetapi sekecil apapun komponen lingkungan yang hilang pasti berpengaruh terhadap keseimbangan alam. Kerusakan lingkungan mungkin juga memengaruhi kualitas kopi, banyak petani yang mengeluh hasil panen tidak seperti yang dulu. Belum lagi jika nama kopi ini identik dengan wilayah geografis yang dahulu masih terjaga kelestariannya. Kini, tebing-tebing yang dulu hijau telah kering dibakar, beberapa di antaranya telah terbungkus mulsa plastik dan berdiri secara teratur tanaman cabai dan tomat. Ada beberapa kebun kopi yang rusak karena longsor setelah gempa, mereka kini takut berladang.

Setelah selesai berdiskusi mereka berlatih menari Beberu Gayo, saya kira di sini hanya punya tari saman. ternyata banyak jenis tarian yang mereka miliki. Tak ada sanggar tari di sini, mereka mendapatkan gerakannya secara turun-temurun sehingga wajar kalau lupa tariannya, rutinitas sekolah telah mengambilalih pelestarian tradisi tersebut. Tak ada wadah yang menampung penampilan mereka. Debu yang berterbangan tak mereka hiraukan dan tetap berlatih menari dengan mengingat-ingat gerakan dan mencari-cari file mp3 musik pengiringnya. Sejenak mereka lupa akan bencana ini, mereka lupa pula diskusi tentang kopi barusan.

Jadi, pergerakan lempeng bumi telah meluluhlantahkan Tanoh Gayo beberapa waktu yang lalu. Sekilas mirip gempa di Bantul pada 2006. Kejadian ini juga mengingatkan saya ketika masih sekolah dan kehilangan rumah karena gempa bumi. Semua orang hidup di tenda merasakan panasnya siang dan dinginnya malam secara ekstrim. Meghirup oksigen beserta debu sekaligus. Bermandikan hujan ketika langit tak bersahabat. Namun selalu ditunjukkan keindahan ciptaanNya di langit yang luas setiap malam. Seakan bencana ini datang karena Dia hanya sekedar menunjukkan kekuasaanNya. Sekarang saya hanya bisa bersyukur, di tengah bencana masih bisa menikmati kopi yang enak. Memang hidup ini senikmat kopi yang pahit.

—–

Di tahun 2013, tepatnya setelah gempa yang melanda Gayo, penulis pernah tinggal di wilayah ini selama dua bulan. Sebagai seorang pencinta kopi yang hampir setiap hari menyesap kopi, penulis merasakan sisi romantis kopi gayo ketika ia berkesempatan untuk hidup bersama para petani kopi di sana. 

Ditulis oleh: Sanna Sanata
Blog: sannasanata.blogspot.com

About author

joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official