Mana yang lebih Penting: Bakat atau Jam Terbang?

Pertanyaan di atas sebenarnya sudah ada sejak lama, sampai berkali-kali dibuat penelitiannya. Sebagian kalangan percaya bakat adalah segalanya. Kalau nggak, gimana cara menjelaskan Wolfgang Amadeus Mozart yang menulis komposisi dan memainkannya pada usia 6 tahun? Tapi, sebagian kalangan lain percaya kalau militansi dan disiplin saat berlatih adalah yang terpenting, misalnya sastrawan Jepang kontemporer Haruki Murakami yang menyatakan bahwa, “Saya sih orang biasa saja, bukan jenius. Jadi saya harus berlatih terus-menerus.” Itu memang terus dia lakukan dan karya-karyanya begitu dicintai di dunia hingga saat ini. Walaupun demikian, pertanyaan di atas tetap belum terjawab. Kalau begitu mana, dong, yang lebih penting dalam membentuk kepakaran supaya jadi maestro: bakat atau jam terbang?

Menurut saya, pertanyaan tersebut keliru karena mengabaikan sebuah konsep yang teramat penting yaitu flowFlow adalah sebuah kondisi hyper-focus saat kesadaran seseorang “tenggelam” dan “tersedot” saat mengerjakan sesuatu yang amat mengasyikkan bagi dirinya. Pada saat flow, orang jadi lupa waktu, lupa makan, lupa pada masalah di masa lalu, lupa pada kekhawatiran akan masa datang. Ia benar-benar “hadir” di situ, pada momen itu jiwa dan raga lalu lupa dunia. Flow adalah sebuah kondisi yang amat indah dan penuh berkat karena pada saat itu, menurut imajinasi saya, portal kreativitas yang menghubungkan manusia dengan alam semesta seakan terbuka dan ide-ide brilyan bertaburan. Kamu pernah membaca kisah J.K. Rowling saat pertama kali “disambar” ide untuk menulis kisah Harry Potter? Bacalah, menarik sekali. Itu adalah flow. Kita semua pernah mengalaminya terlepas dari kegemaran kita yang berbeda-beda.

Ada yang merasakan flow pada saat membaca, memasak, menulis, bicara di depan umum, melukis, menonton konser, main video game, membongkar mesin mobil, membangun motor tua, menghitung tabel keuangan, melihat pergerakan bursa saham, saat pengajian di mesjid, saat bersembahyang di vihara, saat bernyanyi di misa, saat yoga, saat berolahraga dan banyak lagi, sebanyak hobi manusia. Karena itu flow adalah milik semua orang, flow bisa dan sudah seharusnya dialami dan dirasakan oleh semua orang, karena menurut Mihály Csíkzentmihályi, (dibaca: ‘Mihai Chiksentmihayi’), seorang profesor psikologi asal Hungaria yang mengajar di Universitas Claremont, Amerika Serikat, flow adalah sebuah pengalaman paripurna. Bila Dalai Lama XIV mengatakan bahwa “happiness is simply a peace of mind”,  Prof. Csíkzentmihályi menyatakan bahwa “happiness =  flow“.

Berdasarkan semua yang pernah saya alami, saya baca, diskusikan, tulis dan renungkan, akhirnya saya berkeyakinan bahwa unsur yang terpenting dari segalanya adalah flow. Saya perlu tekankan dengan sebuah keyakinan bahwa mutu proses belajar pada saat kita mengalami flow sungguh luar biasa. Saya baru saja mengalami sebuah flow paling dahsyat yang pernah saya alami seumur hidup saya, yaitu flow pada saat melukis (sendirian). Saya bisa melukis 12 jam dengan intens lalu tidur 6 jam lalu melukis lagi 12 jam dengan sama intensnya. Dalam proses tersebut, saya mengalami kegagalan enam kali. Biasanya, baru gagal sekali-dua-kali saya pasti sudah bete lalu malas melukis. Kalau betenya parah, apalagi ditambah ada distraksi lain yang lebih seru, melukis saya tinggalkan begitu saja sampai lama. Tapi sekarang berbeda sekali. Dalam flow ini saya begitu tenang, cool. Salah nggak apa-apa, itu biasa, diulangi saja lagi dari awal. Ternyata pada saat flow saya bisa sangat sabar dan nggak emosional. Saya sampai takjub. Namun ketika kegagalan demi kegagalan datang terus-menerus, saya mulai merasa bahwa saya harus merasa lebih percaya diri pada saat melukis. Saya pun mencoba lebih percaya diri saat menyapukan kuas saya. Hasilnya bagus! Pada saat acceptance dan confidence muncul di saat yang bersamaan, proses belajar meningkat dengan luar biasa. Rupanya ini dia jawabannya.

Menurut saya rumusnya seharusnya begini: Talent + Flow + Continuity = Mastery. Yang penting itu bukan jumlah jamnya atau jumlah pekerjaan yang dilakukan tetapi mutu konsentrasi pada saat melakukannya. Makin intens flow kita, potensi diri kita yang sesungguhnya mencapai titik maksimum sehingga proses belajar bisa berjalan optimal. Dan bukan hanya itu saja. Ide-ide brilyan bertaburan, sampai kerepotan menampungnya. Bila pada saat normal kita sering gelisah mengkhawatirkan ketidakpastian, pada saat flow, ketidakpastian = potensi. Proses berpikir sudah mencapai tahap yang intuitif banget, kita seperti nggak mikir prosesnya tiba-tiba keluar output yang brilyan. Pada saat flow terjadi, arus dopamine dari daerah thalamus di wilayah ambang sadar otak kita membanjir nyaris tanpa tersaring menuju wilayah korteks di permukaan yang menguasai wilayah kesadaran. Arus informasi yang dibawa oleh dopamine dari domain ambang sadar ke domain kesadaran membanjir dan, di sini letak misterinya: entah dari mana impuls itu berasal tetapi kita bisa dengan mudah menemukan relasi dan membangun asosiasi antara satu hal dengan banyak hal sekaligus memberinya makna yang kuat. Seseorang yang mengalami flow akan kebanjiran ide brilyan. Kita akhirnya mampu berpikir out of the box karena kemampuan ini.

1113-MCADSale_640

sumber: mspmag

Malcolm Gladwell dalam bukunya “Outliers: The Story of Success”menekankan sebuah teori yang mengatakan bahwa sukses di bidang apa saja terjadi semata-mata karena seseorang menekuni sebuah praktik yang spesifik, diulang-ulang selama 10.000 jam (rata-rata sekitar 10 tahun). Teori ini sering disebut sebagai “10.000 rules” dan segera membuat bersemangat banyak orang. Menurut saya ini sebuah teori yang kabur karena nggak jelas maknanya, lagipula ini adalah teori pinjaman dan sekarang sudah dipatahkan oleh penelitian yang lain. Teori Gladwell bisa ditafsirkan seperti ini: walaupun kita nggak suka dengan subyeknya, kita bisa jadi master bila sudah berlatih selama 10.000 jam. Maka nggak penting soal bakat, bila orang itu mau belajar, dia pasti bisa jadi master dalam bidang apapun juga yang ia pilih. Ini menurut saya keliru karena flow hanya bisa terjadi bila seseorang melakukan hal yang (amat) dia sukai. Malahan, saya kira ini bisa jadi salah satu definisi baru kita tentang bakat.

Bakat = subyek apa saja yang mampu membuat kita mengalami flow.

Walaupun kita menghabiskan waktu belajar selama ribuan jam, kalau kita membenci prosesnya, apalagi sampai muak: mutu konsentrasi kita selamanya rendah dan proses belajar akan miskin, proses penciptaan kering dan kita nggak termotivasi. Jam terbang nggak akan berarti apa-apa bila kita melakukannya dengan terpaksa. Kita hanya bisa mengalami flow bila kita melakukan hal yang kita cintai, sesuai dengan minatbakatgairah dan panggilan hidup kita. Ketika semua itu ditetesi visi lalu dipandu strategi, digabungkan dengan tempat yang tepat, waktu yang tepat, konteks sosial dan semua unsurnya tepat: orang bisa sukses gila-gilaan di dunia ini. Bukan hanya menghasilkan uang banyak tetapi memberikan inspirasi bagi orang banyak dan hasil karyanya berguna bagi banyak orang, semua menghasilkan makna yang jauh lebih dalam daripada makna kesuksesan yang materalistik yang selama ini sering kita dengar dan lihat di mana-mana.

Namun supaya bisa datang kapan saja kita mau, flow harus dilakukan secara rutin dan teori Gladwell pun keliru lagi. Ia alpa menjelaskan bahwa selain intensitas tinggi pada saat berlatih, yang menjadi penting selanjutnya adalah kontinuitasnya, bukan jumlah jamnya. Maka aspek “jam terbang/latihan” dalam teori Malcolm Gladwell menurut saya seharusnya dijabarkan dalam dua aspek yang lebih spesifik yaitu: intensitas dan kontinuitas-nya. Kalau kita sedang nge-flow dan prosesnya kontinyu, jam terbang otomatis akan nambah sendiri. Jam terbang itu hanya dampak atau jejak, bukan tujuan sebuah proses belajar. Saya akhirnya menyadari bahwa rutinitas yang selama ini saya anggap sebagai musuh dunia kreatif, justru merupakan fondasi penting dalam proses penciptaan.

W.S. Rendra pernah menyatakan bahwa “rutinitas adalah latihan yang baik bagi seniman”. Dalam bacaan yang lain, Prof. Csíkzentmihályi sendiri mengatakan bahwa yoga dan meditasi adalah sebuah teknik yang dipraktikkan sejak ribuan tahun yang lalu untuk “memanggil” flow untuk hadir bersama kita kapan saja kita inginkan. Yoga dan meditasi adalah praktik-praktik disiplin yang membutuhkan sebuah rutinitas, nggak bisa dilakukan saat sedang mood saja. Nah, melalui proses yang sama pula saya belajar bahwa: laki-laki perokok berat berumur 41 tahun seperti saya, yang punya kelebihan berat badan 20 kilogram, males olahraga dan kerjanya duduk terus sambil minum kopi 4-7 cangkir sehari (tapi minum air putih banyak) dengan jadwal tidur kacau-balau: ternyata nggak bisa mengalami flow yang kontinyu. Badan keburu capek, lho, padahal saya masih bersemangat banget ingin melukis tapi terus punggung sakit, otot juga sakit-sakit. Rasanya badan sudah renta banget. Karena merokok terlalu banyak dan terlalu cepat, lidah saya terbakar. Rasanya pedih banget pas ngisep rokok. Saya jadi kebingungan, pengen merokok tapi semua rokok rasanya pedih. Badan saya ambruk karena fisik saya nggak mampu mengimbangi flow saya. Gila, momen yang saya tunggu-tunggu akhirnya datang juga tapi apa yang saya takutkan pun akhirnya terjadi. Saya harus meninggalkan zona nyaman saya: hidup seenaknya, nggak pernah olahraga dan tidak memerhatikan kesehatan. Yah, seharusnya sih dari dulu.

Selamat nge-flow!

 

Artikel ditulis oleh: RE Hartanto (artikel asli bisa dibaca di: Rehartanto.wordpress.com)
Featured image: frommoontomoon

About author

Elfandiary

Elfandiary adalah seorang ilustrator dan desainer grafis yang sering melukis perempuan sebagai model untuk gambar ekspresi dan gesture. Lulusan Desain Komunikasi Visual Universitas dari Itenas ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official