Art

Lambatkan Tempo, Nikmati Seni dengan Hati

Efektivitas dan efisiensi waktu seringkali dijadikan standar dan prioritas dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, termasuk pada saat kita melakukan perjalanan, liburan, bahkan pada saat kita mengunjungi museum, galeri, maupun pusat seni dan budaya yang lain. Kuantitas sering kali dianggap lebih penting dari pada kualitas. Banyaknya karya seni yang kita lihat, beserta bukti-buktinya, berupa foto dan komentar di media sosial, sering kali lebih ‘berharga’ jika dibandingkan dengan pengalaman, pemahaman, interpretasi, dan kenikmatan pada saat melihat karya seni dan peninggalan budaya tersebut.

Di tahun baru 2015 ini, kopling ingin menantang kamu untuk bereksperimen dan mencoba lebih peka kepada sekeliling dengan cara melambatkan tempo aktivitas, terutama ketika kamu berada di museum dan galeri seni. Kira-kira bakal seperti apa efek yang kamu rasakan kalau kamu menghabiskan waktu lebih lama dalam menikmati karya-karya seni yang menyedot perhatian kamu, dan bukannya berpindah dari satu karya seni ke karya seni yang lain hanya untuk melihatnya sekilas saja. Penasaran dan berani mencoba tantangan kopling ini?

Dalam artikel yang ditulisnya di The New York Times, Stephanie Rosenbloom menyebutkan kalau rata-rata waktu yang dihabiskan seseorang di depan sebuah karya seni cuma 15 sampai 30 detik! Cukup nggak sih durasi ini untuk benar-benar melihat secara detail, menganalisis konteks dan latar belakang di balik sebuah karya, serta memahami maksud sang seniman pada saat membuatnya? Bukankah tujuan orang datang ke museum seharusnya adalah untuk menikmati, bukannya untuk menaklukkan sebuah misi?

Sebuah refleksi menarik dikemukakan oleh James O. Pawelski, direktur pendidikan untuk Positive Psychology Center di the University of Pennsylvania. Menurutnya nggak tepat kalau seseorang pergi ke perpustakaan, melihat 100 punggung buku dan bilang sudah membaca 100 buku tersebut. Itulah yang banyak terjadi di museum dan galeri seni. Pengunjung hanya melihat karya seni sambil berjalan lalu, seperti pengunjung perpustakaan yang berkeliling melihat punggung buku. Apakah makna karya seni berhasil didapatkan dengan cara seperti itu?

Nggak ada cara yang benar dan salah dalam menikmati karya seni di museum dan galeri tentunya. Semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun Pawelski berpendapat bahwa kalau kamu mencoba menikmati karya seni dalam hitungan menit, bukan dalam hitungan detik, maka kamu akan merasakan hubungan yang lebih dalam dengan karya tersebut, dengan orang yang menikmati karya tersebut bersamamu, bahkan dengan diri kamu sendiri. Kamu akan terinspirasi dan mendapatkan semangat yang baru, bukannya malah kelelahan dan kehabisan energi.

Untuk membuktikan pendapatnya tersebut, Pawelski mengajak murid-muridnya ke Barnes Foundation di Philadelphia, dan meminta mereka menghabiskan setidaknya 20 menit di depan sebuah karya seni yang mereka anggap menarik bagi mereka. Pawelski yakin metodenya ini akan membuat para siswanya dapat benar-benar melihat apa yang mereka lihat.

Julie Haizlip yang saat ini adalah seorang professor di School of Nursing and the Division of Pediatric Critical Care di the University of Virginia adalah salah seorang dari siswa yang diajak oleh Pawelski hari itu. Ia mengaku awalnya ia sedikit skeptis dengan pendekatan yang dilakukan oleh Pawelski. Tapi ia tetap menjalankan tur “slow art” seperti yang disarankan.

Awalnya ia merasa nggak ada satu lukisan pun di museum tersebut yang berhasil menyentuhnya. Namun ketika ia melihat lukisan wanita cantik dan melankolis berambut merah, seperti dirinya, ia berhenti dan mulai memandanginya dengan seksama. Lukisan tersebut adalah lukisan Toulouse-Lautrec dengan objek seorang pelacur yang diberi judul, “A Montrouge” – Rosa La Rougue.

Lukisan “A Montrouge” – Rosa La Rougue karya Toulouse-Lautrec (sumber: wikimedia.com)

Ketika memandanginya dengan lebih lama, Haizlip mulai mempertanyakan banyak hal. Ia mulai menuliskan cerita mengenai wanita tersebut di kepalanya. Ia mempertanyakan kenapa wanita tersebut memiliki wajah yang keras. Ia mulai membayangkan kalau wanita tersebut merasa terjebak dan nggak bahagia, namun tangguh. Di belakang bahu wanita itu, Toulouse-Lautrec menggambar sebuah jendela. Haizlip kemudian berpikir, jalan keluar itu ada, kamu hanya tinggal berbalik arah dan melihatnya.

Haizlip banyak memproyeksikan dirinya ketika menikmati lukisan tersebut. Ia merasa menemukan dirinya. Ia yang dulu menginginkan sebuah perubahan, tapi belum yakin perubahan seperti apa yang ia inginkan menjadi lebih banyak berpikir dengan terbuka. Tiga bulan setelah pengalamannya melihat lukisan tersebut, Haizlip mengubah arah hidupnya dengan menerima tawaran mengajar di tempat kerjanya saat ini. “Ada jendela di belakang saya yang nggak saya ketahui dan nggak saya lihat, jika saja saya nggak melihat sesuatu dengan cara yang berbeda,” begitu katanya.

Ingin mencoba mengevaluasi dan melakukan refleksi diri? Terima tantangan kopling, yuk! Coba lambatkan tempo dan mulai menikmati karya-karya seni dengan hati. Rasakan dampak seni terhadap dirimu!

joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official