“Kehilangan adalah proses awal menemukan.” ~Djenar Maesa Ayu.
Hari Jumat dan Sabtu (15-16 Juni) kemarin Papermoon Puppet Theatre kembali mengadakan pertunjukan Mwathirika untuk yang kesekian kalinya, kali ini mengambil tempat di IFI, Bandung. Teater boneka yang digagas oleh Maria Tri Sulistyani dan kemudian dibesarkan bersama Iwan Effendi ini gaungnya memang sudah terdengar cukup luas. Berbekal pendanaan dari Yayasan Kelola dan dukungan para penggemar yang selalu setia menyaksikan pertunjukannya. Papermoon Puppet Theatre telah mengadakan (dan masih akan terus melakukan) workshop dan pementasan ke berbagai wilayah di Indonesia bahkan luar negeri seperti Jepang, Korea, dan Amerika. Bulan September ini rencananya mereka akan berangkat untuk menggelar pentas Mwathirika di Amerika Serikat.
Papermoon Puppet Theater di New York © papermoonpuppet.com
Sabtu itu, ruang auditorium IFI yang berkapasitas 300 orang dipenuhi oleh pengunjung yang datang untuk menyaksikan Mwathirika. Tiket seharga 30ribu per orang pun habis terjual. Mwathirika, yang dalam bahasa Swahili berarti “korban” berangkat dari sejarah abu-abu bangsa Indonesia puluhan tahun yang lalu, di mana saat itu (dan mungkin masih terjadi sampai saat ini) banyak sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah. Sejarah kekejaman politik untuk menghilangkan dan melenyapkan orang yang dianggap mengganggu stabilitas, dan kenyataannya tidak pernah jelas terungkap.
“Panggung Mwathirika dibuka dengan penggambaran sebuah keluarga bahagia yang terdiri dari seorang ayah bertangan satu bernama Baba dan kedua puteranya, Moyo dan Tupu. Mereka hidup rukun dan bertetangga dengan seorang ayah bernama Haki yang tinggal bersama Lacuna, puteri semata wayang yang duduk di kursi roda. Sehari-hari mereka saling bercengkerama satu sama lain hingga pada suatu saat terjadi pergolakan di daerah mereka dan situasi tidak lagi sama. Rumah Baba tercoreng oleh tanda segitiga merah yang menjadikannya tahanan pemerintah, meninggalkan Moyo dan Tupu yang masih kecil untuk terpaksa hidup mandiri. Haki yang hanya memiliki Lacuna memilih untuk tidak berurusan sama sekali dengan keluarga Baba dan memaksa puterinya yang berhati lembut untuk melakukan hal yang sama.
Foto © papermoonpuppet.com
Didera kebingungan akan ayahnya yang tak kunjung kembali, Moyo pun tergerak untuk mencari Baba, yang berujung pada penangkapan dirinya oleh tentara yang sama. Tupu yang akhirnya sebatang kara terus menunggu kedatangan kedua anggota keluarganya sambil sesekali meniupkan peluit yang terdengar seperti teriakan pilu seorang anak kecil yang merindukan pelukan ayah dan kakaknya…”
Sepanjang 55 menit pertunjukan berlangsung, tidak ada kata-kata yang terucap. Kita hanya menyaksikan gerak tubuh para boneka disertai alunan musik dan potongan video yang membuat para boneka itu menjadi hidup. Kita dapat merasakan seolah boneka itu bergerak sendiri, bukan digerakkan oleh dalang.
Foto © papermoonpuppet.com
Cerita Mwathirika sebenarnya cukup sederhana tapi sangat menyentuh. Semua karakter yang dimainkan terasa sangat wajar dan tidak berlebihan, karena memang seperti itulah sifat-sifat orang yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kita dihanyutkan ke dalam perasaan seorang Tupu kecil yang harus dihadapkan dengan kehilangan besar karena suatu hal yang belum ia pahami saat itu, kekejaman politik. Lalu, bagaimana ikatan bertetangga yang rukun pun tidak bisa membantu ketika kita dihadapkan pada situasi sulit. Kebanyakan orang pasti akan memilih untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dulu. Itu wajar, memang. Tidak sedikit para penonton yang pipinya basah setelah pertunjukkan selesai, bahkan ada yang mengaku sudah mulai menyeka air mata sejak menit ke-5.
Pertunjukkan ini tidak berbicara tentang suatu pihak tertentu tapi hanya ingin menggambarkan tentang sejarah kehilangan, karena mungkin banyak dari kita yang tidak peduli dengan atau ingin melupakan sejarah kelam. Mengutip dari tulisan Djenar Maesa Ayu, “Kehilangan adalah proses awal menemukan”, jadi sebenarnya sejarah kehilangan bukanlah untuk dihilangkan atau dilupakan, tapi untuk ditelusuri.
Foto © Caesar M. Valavil
Sama halnya dengan sejarah yang hilang, sering sekali kita menjumpai kreasi hebat karya anak bangsa yang namanya kurang atau bahkan tidak dikenal di negeri sendiri, padahal banyak dari mereka yang sangat dihargai di luar sana. Pemerintah pun seolah tutup mata akan kekayaan SDM Indonesia yang berprestasi ini, entah karena merasa pengaruh mereka tidak begitu signifikan, atau mungkin karena urusan lain yang lebih penting sudah menyita waktu terlalu banyak. Tapi, pada akhirnya semuanya berada di tangan kita. Selama kita terus berkreasi dan yakin bahwa apa yang kita lakukan benar, pasti akan banyak uluran tangan yang mau membantu kita, baik secara materiil maupun moral dari teman-teman yang apresiatif.
Boneka Mwathirika dan para pemain dari Papermoon Puppet Theater
Ria dan Iwan dengan Kopling “Kick-Ass” Tumblers
Artikel oleh: @Patipatigulipat