Minggu lalu Kopling sempat memperkenalkan teman-teman dari Baraka Nusantara yang berusaha untuk mengembangkan usaha pertanian di bidang kopi di Pulau Lombok. Kali ini, Kopling mengajak kamu untuk menyimak jerih payah mereka sampai akhirnya kopi Lombok bisa berkualitas sangat baik. Pastikan kamu baca sampai akhir!
***
“Pak..kami bukan perusahaan dan dana kami terbatas,
jika ada pihak lain yang lebih menguntungkan,
silahkan saja Bapak jual kopinya ke mereka”
“Tidak begitu, kita ini ibarat naik kapal di lautan,
jalan bersama…dan begitu mau sampai,
masa saya tinggalkan Mas dan Mba di tengah laut?”
– Reman, Maryam, dan Pak Sawatra (Petani Kopi Sembalun) –
Pak Sawatra, Pak Rudi, Reman, Wathan, dan Maryam sedang berbicara tentang Kopi Sembalun di kebun kopi (sumber: milik penulis)
Masyarakat Desa Sembalun sangat menjunjung tinggi nilai dan norma kehidupan baik antar sesama manusia, maupun manusia dengan alam. Sejak ratusan tahun lalu hingga saat ini, upacara adat seringkali digelar sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas alam yang melimpahkan kekayaannya bagi mereka, khususnya di bidang pertanian. Tradisi ini nggak semata-mata berdimensi vertikal, tapi juga memiliki dimensi yang memupuk rasa kebersamaan, kepercayaan, loyalitas, dan tolong menolong antar sesama. Itulah kesan yang kami rasakan saat kami tinggal bersama mereka.
Terkait dengan kopi, salah satu tradisi masyarakat Sembalun adalah minum kopi yang biasa mereka sebut “gahwa”, istilah untuk menikmati kopi hitam tanpa gula. Kopi merupakan minuman yang wajib tersedia di rumah-rumah mereka, dan hampir setiap rumah ada pohon kopi di pekarangan, nggak dalam jumlah banyak, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau ada tamu yang datang, kopi dan kudapan menjadi suguhan utama yang dipersembahkan.
Letak geografis Sembalun memang ideal untuk menanam kopi. Berada di ketinggian 1200 m di atas permukaan laut, terletak 8˚ garis lintang selatan ekuator, dan curah hujan yang baik menyebabkan pohon kopi di Sembalun terus berbunga sepanjang tahun. Lapisan tanah vulkanik memberi mineral melimpah yang dibutuhkan untuk pohon kopi. Awan tropika dan jenis pepohonan tinggi yang hidup di sana menjadi proteksi natural Kopi Sembalun dari terik matahari yang berlebihan, membuat pohon kopi dapat tumbuh dengan subur.
Dalam kegiatan perkebunan di Desa Sembalun, kopi memang sudah lama ditinggalkan sejak pemerintah orde-baru menggalakkan penanaman bawang putih (lihat cerita 1). Makanya banyak kebun kopi yang menjadi “hutan kopi” saat ini. Tapi, Pak Sawatra merupakan satu dari petani yang masih giat mencari bibit ke hutan dan menanamnya kembali di kebun mereka. Ia yakin kalau suatu saat Sembalun akan dikenal lagi sebagai penghasil kopi.
PR kami selanjutnya adalah membekali petani dengan ilmu pengetahuan yang mumpuni agar mereka bisa meningkatkan kualitas kopinya dengan standard internasional. Pembekalan petani diawali dengan perkenalan kami dengan Bapak Supriatna Dinuri, salah satu petani kopi yang terbilang sukses di Gunung Malabar Jawa Barat. Setelah menyampaikan kondisi Kopi Rinjani kepada Pak Nuri, beliau prihatin, namun semangat, dan secara sukarela bersedia memberikan pelatihan kepada petani kopi di Sembalun.
Pelatihan budidaya dan pasca panen kopi (sumber: milik penulis)
Kiri: Praktik pemangkasan dan pemetikan
Kanan: Pohon kopi arabika Sembalun yang tidak dirawat (sumber: milik penulis)
Melalui Rumah Belajar Sankabira yang kami cita-citakan sebagai pusat ilmu pengetahuan bagi masyarakat, akhirnya kami dapat menyelenggarakan pelatihan perdana yang kami buka untuk umum. Petani dari desa tetangga juga berdatangan, pemuda-pemudi juga turut perpartisipasi. Nggak cuma mengajarkan teori dan praktek budidaya kopi, Pak Nuri juga menanamkan nilai-nilai filosofis dalam merawat kopi dan merawat alam secara adil demi kelestariannya. Antusiasme peserta membuahkan bukti berupa hasil panen perdana yang dinilai baik.
Di Jakarta, kami coba memperkenalkan Kopi Lombok ke beberapa roaster, pencicip kopi (q-grader), dan pencinta kopi. Menurut para profesional, kopi ini bisa masuk dalam kriteria specialty grade dan sangat potensial jika terus terjaga kualitasnya melalui pelaksanaan budidaya dan proses pasca panen yang baik. Hal positif juga datang dari para penikmat kopi, yang semakin menguatkan semangat kami untuk terus berupaya mengembangkannya.
Kiri: Reman dan Maryam sedang menumbuk Kopi Sembalun natural process
Kanan atas: Penjemuran kopi gabah panen pertama
Kanan bawah: biji kopi Sembalun yang masih mentah (sumber: milik penulis)
Kopi Pahlawan, kami namakan dengan niat agar melalui kopi, petani dapat menjadi pahlawan bagi kemajuan desanya. Dalam memproses Kopi Pahlawan, kami berupaya menjaga nilai-nilai yang adil bagi manusia dan alam. Mungkin terdengar klise, tapi kami mencoba disiplin menerapkan sistem organik, petik merah, upah yang layak, nggak mempekerjakan anak, nggak mengebor air tanah, dan mengolah limbah yang dapat dimanfaatkan kembali. Limbah padat kopi dapat kami manfaatkan sebagai kompos, dan limbah cair kopi yang mengandung polutan Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biological Oxygen Demand (BOD) sedang kami upayakan untuk diolah dengan metode anaerob supaya bisa menghasilkan gas metana yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti gas elpiji.
Akhir bulan Agustus lalu, panen perdana kami telah membuahkan hasil, masyarakat lokal juga sudah menikmati manfaat dari kegiatan ini, karena dari hasil pelatihan, kopi mereka memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
Kopi Pahlawan merupakan kopi jenis Typica yang telah beradaptasi dalam waktu yang lama di dataran Rinjani. Batch pertama Kopi Pahlawan kami goreng dengan tipe medium to dark dan karakter yang tercipta adalah Dark Cocoa, Caramel, dan Herbal (cengkeh) dengan grade specialty. Batch kedua akan siap dalam tiga minggu ke depan dan akan kami goreng dengan tipe yang berbeda agar menghasilkan karakter rasa yang berbeda pula. Tentunya dengan kualitas biji kopi mentah yang lebih baik lagi.
Rencana ke depan gerakan Baraka Nusantara melalui Kopi Pahlawan adalah, terus meningkatkan kualitas produksi kami, dan menyediakan sarana air bersih bagi masyarakat Sembalun yang kekurangan air. Di samping itu, Rumah Belajar Sankabira juga lagi mempersiapkan pembuatan taman baca dan sedang melakukan penggalangan buku dari siapapun yang ingin menyumbang untuk pendidikan desa. Selain dari hasil penjualan kopi, kami juga melakukan penggalangan dana bagi siapapun yang ingin berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat lokal.
Melalui gelap dan pekatnya Kopi Pahlawan, kami ingin membuat masa depan yang cerah bagi masyarakat di kaki Gunung Rinjani!
Cerita dari Reman dan Maryam belum selesai sampai di sini, karena selain membuat Kopi Pahlawan, upaya mereka juga semakin meluas melalui Rumah Belajar Sankabira. Nah, tunggu edisi selanjutnya ya buat cerita lebih lengkap!