Apa ya rasanya mengalami perang dunia sebanyak dua kali seumur hidup? Kalo kita sendiri yang ngalamin, apakah bakal membuat kita semakin kuat, semakin terinspirasi, atau semakin apatis sama yang namanya kehidupan?
Ada seorang seniman perempuan yang dianggap sebagai seniman yang paling penting di Abad 20, yang karya-karyanya dibuat dengan latar belakang hidupnya yang penuh kesedihan, dan di tengah hancurnya puing-puing hatinya.
Perempuan itu bernama Kathe Schmidt, yang lahir di tahun 1867 di Konigsberg, Prussia Timur. Karena bakatnya yang besar di bidang seni, ayahnya lalu mendaftarkan Kathe di sebuah kursus melukis ketika Kathe berusia 12 tahun. Pada usia 16 tahun, karya Kathe sudah banyak memuat orang-orang terpesona.
Karena saat itu di Rusia belum ada sekolah lanjutan untuk perempuan, Kathepun lalu meneruskan sekolah seninya di sebuah sekolah seni khusus untuk perempuan di Berlin, Jerman. Pada usia 17 tahun, Kathe bertunangan dengan seorang mahasiswa kedokteran, Karl Kollwitz, lalu menikah dengan Karl, sehingga namanya berubah menjadi Kathe Kollwitz dan meneruskan karirnya sebagai seorang pelukis dan pematung. Mereka lalu hidup senang? Tidak. Rumah mereka hancur akibatnya pecahnya Perang Dunia II.
Penderitaan keluarga ini tidak berhenti sampai di sini.
Pada tahun 1914, putra mereka, Peter, mati terbunuh di Flanders dalam usia 19 tahun. Kehilangan ini membuat Kathe lalu menjadi seorang simpatisan politis dan sosialis. Karyanyapun lalu jadi bernapaskan perang dan kemiskinan, karena itulah yang terjadi pada saat itu. Hati Kathe sangat terluka, dan tak ada seorangpun yang dapat menyembuhkannya.
Dan Kathe lalu menepati janjinya kepada Peter 18 tahun kemudian. Pada bulan April 1931, Kathe membuat patung yang dipersembahkannya untuk putra tercintanya itu. Karyanya dipamerkan di National Gallery di Berlin, dan lalu dibawa ke Belgia, di dekat makam Peter. Dan sampai hari ini, patung itu masih berada di sana.
Mengapa Kathe memerlukan waktu sampai 18 tahun untuk menyelesaikannya? Karena Kathe mempunyai banyak pergumulan tentang pembuatan patung itu. Peter sering datang ke mimpinya, dan dia banyak menghabiskan waktu sendirian di kamar selama berjam-jam. Menurut Kathe, arwah Peter sendiri yang membantu dan menuntunnya dalam menyelesaikan karya tersebut. Dan lama setelah itupun, Kathe masih sering bercakap-cakap dengan “Peter”…
Kathe merasa bersalah, sebenarnya – karena merasa gagal untuk melindungi Peter sebagai seorang ibu. Kathe mendukung ketika Peter ingin menjadi tentara suka rela, karena memang Kathe sangat menentang kesombongan Jerman ketika itu dan dirinya seorang internasionalis. Dia tahu bahwa putranyapun mewarisi semangatnya, dan mempunyai hati yang bersih dan patriotis. Kathe tak pernah berhenti menangis…
Pada tahun 1932, Kathe diangkat menjadi perempuan pertama yang dipilih oleh Prussian Academy of Arts, tapi lalu di tahun 1933 ketika Hitler berkuasa, Kathe dikeluarkan dari akademi tersebut, bahkan di tahun 1936 karya-karyanya dilarang dipamerkan oleh kaum Nazi, dan dianggap “merendahkan”.
Kathe menjadi janda di tahun 1940 ketika Karl meninggal. Di tahun 1942, cucunya yang juga bernama Peter, kembali mati terbunuh – kali ini di Rusia. Dan di tahun 1943, rumahnya kembali dihancurkan oleh bom Inggris, dan dia dievakuasi dari Berlin ke Moritzburg, dekat Dresden. Dua tahun kemudian, di musim semi 1945, Kathe meninggal sebelum Perang Dunia II berakhir. “Perang,” tulis Kathe dalam buku hariannya, “menemaniku sampai ke akhir hayat.”
Perang memang bukan hal yang menyenangkan untuk dikenang, dan banyak duka yang mengalir dari sana. Tapi sampai hari ini, ketika perang sudah tidak ada lagi, dunia masih saja didera masalah. Manusia masih saja saling menyakiti.
Apakah hidup memang seharusnya seperti itu?
