Kesabaran vs Kenikmatan Berkarya

shapeimage_1-102

Pernah nggak kamu melihat suatu karya seni yang mengagumkan? Terkadang ada karya-karya tertentu yang kita tau betul betapa rumit, panjang dan lama proses pembuatannya. Kok bisa sabar gitu ya bikinnya? Mengamati karya seperti ini selalu mengundang desah kagum bercampur putus-asa dalam hati saya, mengetahui betapa jauh mutu karya yang saya hasilkan dan betapa tipis kesabaran yang saya miliki. Tak mungkin saya bisa membuat karya sehebat itu dengan kemampuan yang saya miliki saat ini.

Saya pernah bertanya pada pelukis realis senior yang menurut saya benar-benar seorang maestro, yang jelas terlihat kalau karyanya sangat membutuhkan kesabaran tingkat tinggi, ‘Apakah seiring dengan bertambahnya umur, kesabaran seorang pelukis realis seperti Bapak juga meningkat?‘ Beliau bilang tidak. ‘Saya termasuk orang yang nggak sabaran. Dari dulu begitu, sekarang begitu, sampai mati pun akan terus begitu.‘ sanggahnya. Pernyataan Beliau sungguh mengejutkan saya. Saya nggak percaya orang yang ‘nggak sabaran‘ bisa menghasilkan karya seperti itu. Tapi beberapa tahun kemudian saya baru memahaminya.

Logikanya, berkarya memang membutuhkan kesabaran, tapi ketika kita masuk lebih dalam lagi, kesabaran udah nggak ada hubungannya. Maksudnya gini…Saya ini termasuk orang yang nggak sabaran, sehingga mempelajari keterampilan baru bagi saya adalah saat-saat yang menyebalkan. Inginnya sudah mencapai hasil tingkat 10 tetapi saya harus melalui tahapan mulai dari 1, 2, 3 dan seterusnya terlebih dahulu. Masa-masa 1-2-3-4 adalah masa menyebalkan bagi saya dan kesabaran sungguh-sungguh merupakan masalah serius. Kalau saya kurang sabar, hasilnya pasti menyedihkan dan saya pasti berhenti. Tapi ketika tahapan sudah melewati 5-6-7 saya merasakan sebuah perbedaan nyata.

Pada tahapan tersebut, setelah melewati kegagalan demi kegagalan, hasil yang didapat sudah mulai memberikan sedikit kepuasan, sedikit memenuhi harapan dan menambah motivasi. Misteri sedikit terkuak dan tiba-tiba saya merasa, bila saya melangkah beberapa tahap ke depan, saya bisa menemukan sesuatu yang bagus. Pada tahapan ini, kesabaran sudah bukan lagi masalah serius. Rasa kesal karena selalu gagal tiba-tiba hilang dan berganti sebuah motivasi segar bercampur penasaran, pengen lihat akan seperti apa jadinya. Saya kira, pada tahapan 8-9-10, semua jerih-payah akan terbayar. Karya tercipta dengan baik dalam pengertian: pertama, mutunya baik dan kedua, kita memahami prosesnya.

‘Kenapa harus susah-susah gini sih? Kan bisa begitu saja, hasilnya sama.’ atau ‘Oh, seharusnya jangan begini, seharusnya begitu, pasti hasilnya bakal lebih bagus’. Pemahaman-pemahaman seperti itu akan lahir dengan sendirinya, menjawab keraguan atau pertanyaan yang dulu menjadi misteri. Ketika seluruh proses diulangi lagi, tahap 1 sampai 10 dicapai dalam waktu cuma setengahnya untuk hasil yang setara mutunya. Ketika diulang lagi, selain waktunya lebih cepat, kita mulai masuk tahap 11, 12, 13 dan seterusnya. Batasannya hanya langit. Nah, pada tahapan ini, kesabaran sudah nggak ada hubungannya dengan penciptaan karya seni. Yang muncul adalah kenikmatan berkarya. Di tahap ini kita nggak bicara tentang mutu karya, juga nggak bicara tentang penerimaan di mata masyarakat, pameran yang ‘wah’ atau bahkan harganya yang selangit saat terjual. Kita semata-mata bicara tentang kenikmatan yang didapat pada saat mengerjakan karya tersebut, pada momen ‘itu’. Karya yang dihasilkan adalah ‘buahnya’ tapi kenikmatan saat mengerjakannya adalah ‘rasa manis’ dan semua ‘nutrisinya’. Saya kira layak bila disebut bahwa kenikmatan berkarya adalah berkat sekaligus esensi penciptaan karya seni itu sendiri.

Kembali pada karya-karya seni yang mengagumkan, yang melemaskan lutut dan menghantui lamunan itu, kita perlu menyadari kalau karya-karya seperti ini nggak diciptakan dalam kondisi coba-coba penuh keraguan. Karya-karya itu tercipta dalam sebuah jalur penciptaan yang istimewa. Ibarat mobil, kita bukan bicara tentang mobil yang merayap di tengah kemacetan, kita bicara tentang mobil balap Formula1 yang sedang dipacu dalam kecepatan penuh. Kesabaran memang dibutuhkan saat merayap di tengah kemacetan tetapi di jalur balap Formula1 kita bicara tentang fokus, konsentrasi dan flow. Chuck Close sendiri mengatakan, “Saya mengejar suatu tataran kesempurnaan yang cuma dimengerti oleh saya sendiri. Kenikmatan yang terbesar terutama adalah saat mengerjakan setiap detail terkecil dengan sempurna.” Nah, tentu saja pada kondisi seperti itu kesabaran sudah tidak terlalu relevan lagi.

Kenikmatan berkarya, itulah yang membuat seniman mampu menghasilkan mahakarya.

 

Artikel ditulis oleh:
R.E. Hartanto | Twitter: @rehartanto | Instagram: rehartanto | Website: rehartanto.info

About author

Seniman yang bukan Manusia

Siapa bilang istilah “seniman” hanya berlaku untuk manusia? Ada beberapa binatang yang bisa dikategorikan sebagai seniman ngeliat dari hasil karya yang mereka ciptakan, meskipun mereka ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official