Papermoon Puppet Theatre

Kalau bulan Juni kemarin Kopling sempet ngulas soal salah satu pertunjukan teater boneka paling mengharukan yang kebetulan waktu itu diadakan di Bandung, sebulan setelahnya Kopling berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol langsung dengan Ria Papermoon, si pencipta teater boneka tersebut yang dikenal dengan nama Papermoon Puppet Theatre. Wooow! Seneng banget!

Nggak cuma itu, kita juga ketemu sama Iwan Effendi yang tak lain adalah perupa dan suami dari Ria Papermoon dan juga bagian dari keluarga Papermoon Puppet Theatre. Yang paling menyenangkan juga, obrolan kita ini diadakan di markasnya Papermoon Puppet Theatre di Yogyakarta, jadi kita puas-puasin deh tuh ngeliat koleksi boneka, perlengkapan, serta alat-alat yang dipakai untuk pertunjukan. Lengkap semuanya ada di sana!

Kamu yang udah pernah nonton pertunjukan Papermoon Puppet Theatre, pasti tau dong kalau pertunjukan ini ditujukan untuk penonton dewasa. Meskipun dikemas ringan dalam pertunjukan boneka, tapi tema yang mereka angkat adalah tema yang cukup serius, yaitu tentang sejarah tahun 1965. Kalau menyebut sejarah tahun 1965 pasti yang terlintas di otak kita adalah tentang PKI kan? Nah, tapi waktu awal-awal berdiri di tahun 2006, sebenarnya Ria dan salah seorang temannya membuat studio ini untuk anak-anak. Waktu itu Iwan Effendi juga belum bergabung dengannya dan baru ikutan membesarkan Papermoon di tahun 2007. Jadi, awalnya Ria ngerasa kalau ada lubang di pendidikan seni rupa dan seni pertunjukan anak-anak, karena itu ia membuat berbagai kelas seni untuk anak-anak, mulai dari kolase, gambar, origami, teater, musik, dan masih banyak lagi. Teater bonekanya pun pada awalnya nggak cuma dibuat dari kertas, tapi bisa dari kaos kaki atau benda-benda bekas lainnya yang disulap menjadi barang-barang lucu.

Sasaran workshop Ria waktu itu adalah anak-anak kampung setempat. Tapi di tahun 2006 pula terjadi gempa di Jogja yang menyentuh hati Ria untuk terjun ke lapangan membantu pemulihan pasca gempa bagi anak-anak yang terkena gempa di wilayah Bantul, yang ternyata disambut dengan baik oleh Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Sejak itu, Ria bersama dengan IVAA membuat proyek di dua kampung selama satu tahun dan mulai diundang oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lain untuk membuat workshop.

Setelah kira-kira setahun Ria berkecimpung di dunia teater boneka untuk anak-anak, ia bertemu dengan dua perusahaan boneka dari Jerman dan Australia di mana salah satu dari mereka pernah memainkan teater boneka Shakespeare di Utan Kayu. Target audiensinya? Tentu saja dewasa. Sejak itulah Ria mulai menjelajah dunia teater boneka untuk penonton dewasa. Ia sempat membuat workshop untuk mahasiswa-mahasiswa di Padang, bahkan untuk para guru. Tapi dia nggak langsung memutuskan untuk membuat semua bonekanya dari kertas lho. Awalnya Papermoon tetap memakai tong sampah, kawat, botol aqua, dan lain-lain. Papermoon mulai membuat boneka dari kertas setelah belajar dari temannya yang tinggal di Australia.

Sejak dua tahun terakhir, Papermoon Puppet Theatre berfokus pada kisah dengan tema sejarah, karena itulah mereka membuat Mwathirika dan Secangkir Kopi dari Playa. Buat kalian yang belum nonton, baca cerita Kopling tentang Mwathirika di sini. Kalau Secangkir Kopi dari Playa sebenarnya bercerita tentang kisah cinta seorang pria yang terpisah dari kekasihnya selama 40 tahun dan terus menunggu kesempatan untuk bisa bertemu dan memenuhi janji untuk menikahi kekasihnya itu. Kenapa nunggunya lama banget sampai 40 tahun? Soalnya waktu itu si pria pergi sekolah ke Rusia dan di tahun 1965 terjadi pergolakan PKI jadi dia nggak bisa balik ke Indonesia karena kewarganegaraannya hilang. Padahal dia udah berjanji untuk menikahi kekasihnya begitu dia pulang. Omong-omong, ini diangkat dari kisah nyata loh. Kisahnya sempet rame banget di dunia maya waktu tahun 2007 kalau nggak salah. Pokoknya mengharukan banget! Barangkali ada yang pernah denger juga?

Yang membuat karya-karya Papermoon Puppet Theatre sangat kuat adalah kisahnya yang selalu orisinal dan personal. Kita yang menonton bisa ikut merasakan apa yang dirasakan para boneka. Ketika ditanya siapa sih inspirasi terbesar mereka dalam berkarya, Iwan Effendi dengan lugas menjawab: Peter Schuman, pencipta Bread & Puppet Theater. Peter Schuman memiliki semangat yang dalam membuat pertunjukan boneka selalu mengedepankan cerita yang ringan dan menyenangkan, namun penuh dengan kritik sosial.

Mempertahankan sebuah visi dan misi dari tahun 2006 hingga sekarang bukanlah sesuatu yang gampang, itu juga yang dialami oleh Ria dan Iwan. Meskipun banyak hambatan dari sana-sini, tapi bantuan dari berbagai pihak selalu mengalir. Kopling juga sempat nanya, energi Ria dan Iwan ini dateng dari mana yah? Kayak nggak ada habisnya. Padahal cuma acara ngobrol santai tapi lincahnya bukan main. Hehe… Ria dan Iwan mengatakan bahwa teman-teman yang datang baik ke pertunjukan maupun ke markas Papermoon selalu menjadi pengisi tenaga mereka.

Dari Papermoon Puppet Theatre, Ria dan Iwan bisa melanglang buana ke luar negeri. Bayangin, di tahun 2009 mereka residensi ke Jepang, lalu sempat residensi di New York selama enam bulan. Di tahun 2011, mereka sempat pergi ke Singapura dan India juga untuk residensi. Untuk tahun ini, mereka udah pergi ke Singapura (lagi), Jepang (lagi), Filipina, dan akan segera berangkat ke Amerika (lagi) bulan September besok. Di akhir tahun 2012, tepatnya tanggal 17-22 Desember, mereka akan mengadakan Biennale Puppet Festival di Yogyakarta! Keren banget yah. Pokoknya kita selalu mendukung Papermoon Puppet Theatre agar sukses terus dalam berkarya dan bisa memperbaiki “kelupaan” masyarakat Indonesia sedikit demi sedikit.

 

Artikel oleh: @Patipatigulipat

About author

Mural di Pemukiman Rawan

Johnston Square, sebuah daerah pemukiman di East Baltimore adalah pemukiman kaum pekerja yang meskipun kumuh tapi tergolong “sehat”. Tapi itu dulu. Sekarang daerah pemukiman itu ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official