Tips Menjual Karya Seni untuk Pemula

Bagi seorang seniman, karya seni mungkin bisa dianggap “anak”. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu juga ada beberapa seniman yang nggak rela melepas karya seninya meskipun dibayar dengan harga mahal, meskipun yang seperti itu nggak banyak. Kebanyakan perupa memang ingin menjual karyanya, tapi, para perupa baru kadang masih bingung harus diberi harga berapa. Mengenai hal ini saya pernah punya pengalaman.

Saya menjual karya pertama kali seumur hidup saya pada tahun 1994. Saya menjual karya tugas studio sesudah beres penilaian, sebuah lukisan still life, cat minyak di atas kanvas katun, ukuran 70×90 cm, seharga Rp. 125.000 pada Mbak Santi, senior saya di kampus. Beliau sedang membutuhkan karya seni untuk mengisi rumah keluarganya yang baru selesai dibangun. Saya sampai sekarang nggak ingat kenapa saya memberi harga segitu tapi untuk ukuran mahasiswa jomblo pada tahun 1994, jumlah itu cukup banyak, lho. Sesudah itu uangnya saya pakai bersenang-senang. Mentraktir teman makan dan nonton film, terus orang serumah dapat hadiah. Papa dapat hadiah korek api Zippo yang bagus.

Nah, itu adalah cara yang nggak bener, teman-teman! Pertama, harga karya itu seharusnya ada hitungannya, bukan “asal tebak” seperti cara saya memberi harga dulu. Kedua, uang hasil pembelian karya itu seharusnya segera dibelikan bahan berkarya lagi, bukan dipakai berfoya-foya. Haha… Tapi, khususnya untuk masalah yang pertama, berapa sebenarnya harga yang harus saya berikan untuk karya saya? Pakai hitungan apa? Jawabannya saya dapat 6 tahun kemudian saat saya ikut residency di Amsterdam.

1350207416-frieze-art-fair-2012-underway-in-london_1515868

Di tempat saya residency dulu, setelah setahun bekerja, diadakanlah Open Atelier. Kampus dibuka selama 6 hari. Hari pertama untuk para duta besar, pejabat pemerintah, boss-boss perusahaan swasta dan VIP lainnya. Hari kedua untuk pers. Hari ketiga untuk alumni. Hari keempat-kelima-keenam untuk publik. Selama 6 hari ini, ada sekitar 10.000 orang yang datang melihat (soalnya kami sebagian dibiayai oleh uang pajak, sisanya dari program CSR perusahaan-perusahaan swasta). Open Atelier adalah sebuah kesempatan bagi perupa untuk bertemu dengan pengelola museum, pemilik galeri, kolektor dan publik lainnya. Pada saat inilah perupa membangun jejaring, mendapatkan tawaran pameran termasuk menjual karya langsung tanpa perantara. Nah, menjelang Open Atelier, dibagikanlah selebaran yang berisi petunjuk untuk memberi harga bila kami bermaksud menjualnya. Ini dilakukan soalnya banyak di antara kami yang masih pemula dan baru mulai menjual karya.

Yang saya ingat, ada dua cara menghitung harga karya. Pertama dengan menghitung biaya material. Misalkan untuk menghasilkan satu karya kita mengeluarkan biaya Rp10.000 untuk material. Setelah itu, kita tambahkan biaya ide, besarnya kalau nggak salah antara 3-5 kali biaya material. Jadi total harga karya kita adalah Rp40.000-60.000. Yang kedua dengan menghitung jam kerja. Seingat saya, dulu kerja paruh waktu rendahan di Amsterdam (seperti cuci piring di restoran) adalah 6-7 gulden/jam (sebelum Euro). Karena kami adalah seniman dengan kecakapan khusus, Rijksakademie kalau nggak salah mempersilakan kami memberi harga 10-12 gulden/jam. Jadi total waktu pembuatan karya dikali 10-12 gulden. Ini sudah mencakup biaya material. Jadi, demikianlah dua jenis penghitungan yang disarankan oleh Rijksakademie. Saya pikir ini cukup masuk akal.

Sebelumnya dibahas lebih lanjut, kita layak bertanya, apa sebenarnya tujuan perupa menjual karya? Saya kira apapun alasannya, inti dari tujuan seorang perupa menjual karya adalah untuk memperpanjang kekaryaannya. Supaya bisa berkarya terus, bisa beli alat dan bahan, bisa bayar sewa studio, bayar listrik & internet, biaya renovasi studio dsb. Pokoknya intinya supaya kita nggak berhenti berkarya. Nah, sekarang kita kembali ke soal penghitungan harga karya seni kita.

Kalau kita menjual karya berupa gambar pensil grafit di atas kertas, biayanya cukup murah sebenarnya. Anggap saja biaya material untuk pensil adalah Rp50.000 dan biaya untuk kertas A3 Rp50.000, total biaya material Rp100.000 (ini sudah taksiran tinggi). Sesudah itu ditambah biaya ide dengan hitungan 3-5 kali, harga karya kita adalah Rp400.000 sampai Rp600.000. Menurut saya ini cukup, nggak kemahalan dan nggak kemurahan. Soalnya dengan dapat uang misalnya Rp400.000 aja kita bisa beli material untuk membuat karya serupa sebanyak tiga kalinya dan masih bisa jajan/nabung sebanyak Rp100.000. Menurut saya, biaya ide kalau dihitung 3 kali biaya material, itu sudah cukup. Kalau mutu karyanya istimewa, itu bisa sampai 5 kali (tapi harus kelihatan secara nyata bahwa mutu karyanya emang top).

Jadi rumus harga jual: biaya material + (biaya ide: material x 3).
Rumus belanjanya bisa: 75% untuk belanja alat/bahan berkarya, 25% untuk jajan/ditabung.

Tapi kalau pakai cat air bagaimana? Cat air kan lebih mahal daripada pensil. Nah, di sinilah fungsinya si 25% untuk jajan/nabung itu. Kalau lagi nggak ada kebutuhan dan ingin bersenang-senang, silakan pakai 25% uang yang kita terima untuk berfoya-foya. Tapi kalau sedang ingin beli sepatu, beli piringan hitam, termasuk beli cat air yang bagus atau kuas sable yang mahal, uangnya bisa ditabung. Untuk beli kertas cat air 300 gsm yang acid free ukuran A3 itu misalnya Rp100.000 (taksiran tinggi). Kalau karya kita laku dengan harga Rp400.000, kita tetap bisa membeli kertas yang sama tiga lembar jumlahnya, dan sisanya yang Rp100.000 bisa dihitung untuk mengganti satu set cat air yang kita pakai (atau kebalikannya, ditabung untuk beli cat air yang lebih bagus). Jadi misalnya kalau kita menjual 5 karya, cat air atau kuas kita sudah bisa dianggap lunas atau uangnya ngumpul dan kita bisa beli cat air yang lebih oke. Tentu saja ini tergantung merk cat airnya, kalau cat airnya beli yang merk bagus ya otomatis nabungnya jadi lebih lama, tapi intinya seperti itulah. Nggak rumit, kan?

Yang membuat penjualan sebuah karya menjadi rumit sebenarnya bukan hitungan yang kuantitatif seperti ini tapi yang kualitatif. Misalnya, ada karya yang dibuat ketika kita patah hati dan karya itu rasanya sangat bermakna bagi kita. Bikinnya juga sampai berhari-hari dan dihayati banget. Bikinnya sore-sore saat hujan rintik-rintik sambil makan siomay dan nangis Bombay. Nilai emosionalnya tinggi. Perupa kadang-kadang suka aneh, dia tiba-tiba bisa memberi harga tinggi untuk karya itu. “Soalnya saya sayang banget sama karya ini, sebenarnya saya nggak pengen jual tapi karena butuh uang, ya saya mahalin aja harganya.” Wah, nggak bisa gitu. Hehe…

Kalau ada sebuah karya yang rasanya kita sayangi banget: jangan dijual. Simpan saja. Kalau butuh uang ya cari aja dari sumber lain, jangan jual karya kesayangan kita. Ini berlaku bagi semua perupa dari mulai yang pemula sampai yang senior. Ntar nyesel, lho, kalau dijual, semahal apapun harganya. Dan yang terpenting, ini penjualan, bukan penciptaan. Itu dua dunia yang berbeda. Dalam penciptaan, seniman dipersilakan mengungkapkan emosi sebebas-bebasnya tapi dalam penjualan tidak bisa begitu. Kalau ngasih harga harus masuk akal, dong.

Berikutnya adalah soal skill, soal keterampilan yang terlihat mutunya dalam karya. Bagi saya skill itu nggak terlalu penting, yang penting adalah ide dan ekspresinya. Karya itu sebetulnya nggak perlu nyekil yang penting nyeni. Tapi kalau kekaryaan kita memang menuntut skill tingkat tinggi ya apa boleh buat, harus dijabanin tuh belajar keterampilannya. Jangan iri sama temannya yang nggak nyekil tapi harga karyanya sama karena bisa jadi skill memang bukan tuntutan utama dalam kekaryaan teman kita itu. Karya itu susah lho, kalau mau dibanding-bandingkan satu dengan yang lain. Kan tiap karya itu unik, mewakili karakter dan kepribadian senimannya. Lagipula sekali lagi: skill itu nggak menentukan segalanya, yang menentukan segalanya adalah ide, ekspresi dan puisi rupa yang kita buat.

images may not be used without permission from the photographer

Karena itu, lepas dari berapa harga yang kita berikan, karya kita tetap rata-rata harus bagus.  Jangan jual karya yang jelek. Jangan! Malu, kok karya seperti itu dijual? Kalau kita nggak puas dengan sebuah karya, jangan dijual. Juallah karya yang menurut kita memang layak jual, kalau karya itu berada di bawah standar mutu kita: jangan. Kita bisa menyesal nanti soalnya kolektor bisa kehilangan kepercayaan dan nggak mau beli lagi.

Soal mutu ini juga menyangkut pemilihan alat terutama bahan berkarya. Sebisa mungkin pakailah material terbaik untuk berkarya. Pakai material terbaik itu beda. Pertama harganya mahal, jadi kalau gagal kan sayang. Dengan begitu kita berkaryanya nggak sembarangan. Kedua, material yang baik itu tahan lama dan bisa membuat karya kita terlihat bagus sampai bertahun-tahun. Menggunakan material yang terbaik bisa membuat kita lebih punya respect terhadap karya maupun kekaryaan kita secara umum dan kolektor pun senang kalau membeli karya dari kita karena mereka tahu, kita hanya menggunakan material yang terbaik.

Jadi kalau misalnya kita bikin karya cat air, aturannya adalah: mendingan cat airnya biasa aja tapi kertasnya bagus daripada sebaliknya. Kertas cat air ukuran layak (mulai 300gsm ke atas) itu bagus, diberi lapisan khusus supaya pigmen cat air nggak “tenggelam” sepenuhnya ke dalam serat kertas sehingga warna cemerlang bisa tahan sampai bertahun-tahun. Kertas cat air yang bagus juga sudah acid free sehingga kertas nggak akan berubah warna menjadi kekuningan.

Begitu pula dengan kanvas. Kanvas yang terbuat dari kain linen itu lebih bagus daripada kanvas dari kain katun, karena itulah seniman kadang-kadang menulis “oil on linen” dalam keterangan karya, artinya bahannya bukan kain katun yang lebih murah. Karena pintalan serat pohon flax itu lebih kuat daripada pintalan katun, kanvas linen itu lebih bagus dan lebih mahal juga. Katun itu regas, mudah robek, biasanya dipakai oleh mahasiswa seni rupa di kampus untuk tugas studio. Kanvas dari linen biasa dipakai perupa profesional. Tapi bahkan kanvas linen merk Talens sekalipun tetap harus diberi selapis-dua lapis encer gesso tambahan bermutu baik, untuk menghindari sinking dan pudarnya warna. Ini adalah aspek kekaryaan yang memengaruhi “produk” yang dihasilkan seorang perupa, perupa harus tau yang begini-begini supaya karyanya lebih pol.

Jadi kira-kira seperti itulah. Kalau kita sudah mulai jual karya, kita kan senang bisa dapat imbalan uang untuk karya yang kita hasilkan. Tapi konsekuensinya, kita nggak boleh main-main. Ada tanggung jawab lebih daripada sekedar berkarya untuk tugas studio di kampus. Wawasan ini bagus untuk dipahami dan diamalkan sedini mungkin oleh perupa termasuk yang masih kuliah. Dan ada yang lebih penting daripada soal harga karya yakni soal reputasi. Kita harus sadar bahwa begitu kita mulai menjual karya kita, itu artinya kita mulai membangun reputasi karena karya kita mulai beredar di publik dan mulai dicatat, sama seperti karya yang dipamerkan. Bangunlah reputasi sedikit demi sedikit. Melakukan kesalahan itu biasa tapi seyogianya segera disadari dan diperbaiki. Maka, berkaryalah dengan serius, pakai material yang terbaik, perlakukan karya dengan baik karena kita mengerti pengetahuan bahan (investasikan waktu untuk belajar soal bahan sampai ke tahap rinci), kuasai soal pembingkaian (materialnya, harganya, mutu pengerjaannya, dsb), soal pengepakan dan pengiriman dan sebagainya. Kalau sudah menjual karya, kita ibarat vendor sebuah produk. Anggap aja studio kita adalah pabrik mobil Rolls-Royce atau Ferrari, karya yang keluar dari studio kita selalu yang terbaik. Jadi, lakukan yang terbaik dan pelihara reputasi itu sampai kita mati. Ini akan membuat kolektor percaya pada mutu karya kita terutama bila kita melakukannya sejak awal sekali kita berkiprah. Jadi selain soal harga, menjual karya juga adalah soal pengetahuan, wawasan dan pekerti (attitude).

Maka demikianlah, kita menjual karya supaya kita bisa berkarya terus. Nanti, kalau karya kita bertambah banyak dan bertambah bagus, pameran kita sudah diadakan di tempat yang lebih prestisius, kolektor kita bertambah, harga karya akan naik dengan sendirinya. Itu ada hitungannya lagi tapi kalau sudah tataran itu biasanya perupa punya manajemen pemasaran. Itu tugas manajer pemasaran karena merekalah yang paling tahu soal penjualan. Jadi buat kamu, perupa pemula yang baru mulai menjual karya, ingatlah prinsip ini: juallah satu karya supaya kamu bisa membuat seenggaknya tiga buah karya serupa dan gunakan 75% hasil pembelian untuk beli bahan lagi supaya bisa berkarya terus dan sisanya yang 25% bisa untuk jajan/nabung. Semoga bermanfaat dan selamat berkarya!

Tulisan asli oleh: RE Hartanto dari blog pribadinya rehartanto.info, diedit oleh Kopi Keliling.

About author

Bandung Drawing Festival 2017

Ada acara seru banget nih buat kamu yang berdomisili di atau berencana untuk ke Bandung! BANDUNG DRAWING FESTIVAL 2017 20 April – 5 Juni 2017 ...
joker123malaysia pussy88 xe88 mega888official